SETUMPUK masalah yang ditinggalkan oleh rezim otoriter Gendral Omar Basyir yang digulingkan oleh gerakkan sipil pro-demokrasi tahun lalu, membuat pemerintahan transisi yang mengambil alih kekuasaan di Sudan harus bekerja ekstra keras dan kreatif.
Pemberontakan di dalam negri yang berasal dari berbagai kelompok masyarakat baik yang berbasis kedaerahan maupun ideologi tertentu, ekonomi yang terpuruk, hutang negara yang menumpuk, ditambah embargo dari Amerika dan sejumlah negara Barat dengan berbagai tuduhan, mulai pelanggaran HAM sampai dimasukkannua Sudan dalam daftar negara-negara teroris.
Pemerintahan transisi yang merupakan gabungan dari perwakilan kelompok sipil pro-demokrasi dan kelompok militer, dimana posisi Presiden dijabat oleh Genderal Abdullah Fatah al-Burhan, sedangkan Perdana Mentri dijabat oleh Abdalla Hamdok, harus menyelesaikan semua masalah di atas.
Amerika baru akan mencabut embargo yang diterapkan serta mencabut Sudan dari daftar negara teroris, jika pemerintah Sudan mau menjalin hubungan diplomatik dengan Israel, ditambah dengan membayar sebesar 335 juta dolar AS, sebagai bentuk kompensasi kepada keluarga korban ledaÄ·an bom di Kedutaan Amerika di Kenya dan Tanzania tahun 1998, serta ledakkan kapal USS Cole di lepas pantai Aden tahun 2000.
Amerika menuduh pemerintahan di Khartoum terlibat dan harus bertanggungjawab. Seberapa besar keterlibatannya dan dalam bentuk apa ? Belum ada penyelidikan independen.
Kini negara Sudan ibarat orang yang akan tenggelam, maka bila ada tali yang dilemparkannya, tentu akan digapainya untuk menyelamatkan diri. Tidak peduli lagi dari mana datangnya tali, dan apa konsekwensinya di kemudian hari.
Sudan yang miskin dan menanggung hutang setumpuk, tentu tidak akan memiliki uang sebanyak yang dituntut Washington untuk membayarnya. Lalu datanglah Saudi Arabia yang menawarkan budi baik untuk melunasinya. Publik belum tahu apa kewajiban Sudan terhadap Saudi Arabia sebagai imbalannya.
Bukan mustahil kesediaan Saudi Arabia untuk membayar kompensasi, telah dibicarakan terlebih dahulu dengan Amerika, mengingat hubungan mesra antara Washington dan Riyadh, disamping keduanya punya agenda bersama di kawasan Timur Tengah.
Biasanya Israel selalu berada di belakang kursi Washington saat melakukan berbagai perundingan dengan negara-negara Arab. Hal ini terlihat dari delegasi gabungan Israel-Amerika yang kini berada di Khartoum dan melakukan pembicaraan dengan Gendral Al Burhan.
Presiden Amerika Donald Trump secara resmi pada Jum'at (23/10/2020), mengumumkan bahwa Israel dan Sudan telah setuju melakukan normalisasi hubungan diplomatik. Meskipun normalisasi akan dilakukan secara bertahap, karena itu berbeda dengan apa yang telah dilakukan oleh UEA dan Bahrain.
Langkah awal kesepakatan akan dimulai dari kerjasama ekonomi, pertanian, dan penerbangan. Maskapai Israel sangat berkepentingan untuk bisa melewati wilayah udara Sudan, saat harus menuju negara-negara Afrika yang berada di Selatan atau di Barat Sudan, dan saat menuju Amerika Selatan.
Kesepakatan antara kedua negara ditandai dengan pernyataan resmi pejabat negara lewat daring tiga pihak, Yakni Amerika, Israel, dan Sudan. Amerika diwakili oleh Presiden Donald Trump, Israel diwakili oleh Perdana Mentri Benjamin Netanyahu, sedangkan Sudan diwakili oleh Ketua Dewan Transisi (Presiden) Mayjen Abdel Fattah Al Burhan dan Perdana Mentri Abdalla Hamdok.
Menurut Abdalla Hamdok pemerintahan transisi tidak punya wewenang untuk melakukan hubungan normalisasi dengan Israel, sampai terbentuknya Parlemen yang mewakili rakyat untuk mendapatkan persetujuan. Konsekwensinya, jika nantinya Parlemen menolak maka proses normalisasi tidak bisa dilanjutkan.
Sementara Presiden Gendral Al Burhan yang sangat pro-aktif melakukan komunikasi politik baik kepada Israel, Amerika, Saudi Arabia, maupun UEA, nampaknya akan terus bekerja untuk mewujudkan proses normalisasi yang sedang berjalan.
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa kelompok militer sangat bergairah dengan upaya normalisasi hubungan diplomatik antara Sudan-Israel, sementara kelompok sipil pro-demokrasi nampak ogah-ogahan.
Akan sangat menarik bila dicermati bagaimana perkembangan selanjutnya, karena bola kini berada di Parlemen. Sebagai negara demokratis, maka pemilu akan menjadi medan penentu.
Negara-negara pro-demokrasi seperti Qatar dan Turki tentu tidak akan membiarkan berbagai kelompok sipil pro-demokrasi yang berjuang melalui partai politik untuk menguasai parlemen. Dengan demikian pertarungan Saudi Arabia dan UEA mewakili kelompok anti demokrasi melawan Qatar dan Turki sebagai kekuatan pro demokrasi di kawasan Timur Tengah tidak terhindarkan.
Yang pasti Sudan telah membayar kompensasi kepada Amerika walau dengan kocek Saudi Arabia, maka kapan Amerika akan memberi kompensasi kepada puluhan ribu warga sipil yang meninggal dan cacat sumur hidup akibat perang ilegalnya di Irak.
Penulis adalah pengamat politik Islam dan demokrasi.