Berita

Direktur Sinergi Masyarakat Untuk Demokrasi Indonesia (Sigma), Said Salahudin/Net

Publika

JR UU Cipta Kerja, Kredibilitas Hakim Hingga Asumsi Penghapusan Pasal 59 Ayat 2 Yang Keliru

RABU, 14 OKTOBER 2020 | 02:01 WIB | OLEH: SAID SALAHUDIN

BEBERAPA hari terakhir ini media sosial diramaikan dengan perbincangan seputar keraguan publik terhadap rencana pengujian undang-undang atau judicial review (JR) UU Cipta Kerja ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Belum-belum masyarakat sudah pesimis dan bahkan tidak percaya bahwa MK akan bersedia mengabulkan permohonan JR omnibus law. Dari perspektif sosiologi hukum, hal ini bisa dimaklumi.

Saya pun termasuk yang berpandangan bahwa langkah judicial review ke Mahkamah Konstitusi belum menjadi prioritas. Yang perlu diutamakan sekarang adalah mendorong agar UU Cipta Kerja dibatalkan sendiri oleh DPR dan/atau Presiden melalui proses legislatif reviewatau executive review.

Terkait keraguan publik pada lembaga MK dalam menguji UU Cipta Kerja, saya mencatat setidaknya ada dua alasan utama yang dikemukakan oleh masyarakat di media sosial.

Pertama, terkait kredibilitas Hakim Konstitusi. Masyarakat menilai MK tidak kredibel karena hakimnya mudah disuap. Argumen ini didasari pada pengalaman dua Hakim Konstitusi yang pernah ditangkap oleh KPK karena tersangkut kasus korupsi.

Masyarakat juga meragukan kredibilitas Mahkamah Konstitusi karena secara empirik terdapat sejumlah putusan MK yang dianggap tidak memberikan rasa keadilan kepada masyarakat. Kasus yang dicontohkan di antaranya adalah putusan MK mengenai sengketa hasil Pilpres.

Ada pula argumen yang mengaitkan dengan proses pengisian jabatan Hakim MK yang dipilih oleh DPR dan Presiden sebagai pembentuk UU Cipta Kerja. Hal tersebut menyebabkan masyarakat ragu MK dapat bersikap objektif dalam memutus JR omnibus law.

Terhadap ketiga argumen itu saya berpandangan bahwa dalil-dalil tersebut muncul karena masyarakat masih dalam keadaan emosional, sehingga kurang objektif dalam merespons isu mengenai judicial review.

Jika ketidakpercayaan masyarakat kepada Mahkamah Konstitusi dikaitkan dengan kasus korupsi yang pernah menimpa mantan Hakim Konstitusi Akil Mochtar dan Patrialis Akbar, misalnya, saya kira hal itu kurang tepat. 

Sebab, pada kasus Akil dan Patrialis publik secara transparan sudah melihat sendiri bahwa pengadilan tindak pidana korupsi sama sekali tidak menemukan adanya keterlibatan dari Hakim Konstitusi yang lain. Sehingga, menjadi tidak fair menurut saya, jika publik membuat generalisasi bahwa Hakim Konstitusi mudah disuap.

Lagi pula, sejumlah Hakim Konstitusi yang menjabat pada saat munculnya kasus Akil dan Patrialis sekarang sudah banyak yang pensiun. Begitu pula dengan Hakim yang memutus sengketa hasil Pilpres, terutama di Pilpres 2014, sebagiannya sudah diganti.        

Mengenai Hakim MK yang dipilih oleh DPR dan Presiden pun perlu diluruskan bahwa hal tersebut sudah menjadi ketetapan konstitusi, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 24C ayat (3) UUD 1945. Jadi itu bukan maunya Hakim MK sendiri atau maunya DPR dan Presiden.

Nah, disamping alasan pertama yang terkait dengan kredibilitas Hakim MK di atas, ada pula alasan kedua yang dimunculkan oleh masyarakat yang tidak percaya bahwa MK akan mengabulkan JR UU Cipta Kerja, yaitu terkait persoalan aturan hukum.

Masyarakat coba mengaitkannya dengan terbitnya Undang-Undang 7/2020  Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang 24/2003 Tentang Mahkamah Konstitusi (UU 7/2020), yang diundangkan enam hari sebelum UU Ciptaker disahkan oleh DPR.

Dalam UU tersebut, DPR dan Presiden menghapus ketentuan Pasal 59 ayat (2) yang sebelumnya termuat dalam Undang-Undang 8/2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang 24/2003 Tentang Mahkamah Konstitusi (UU 8/2011).

Pasal 59 ayat (2) pada pokoknya mengatur mengenai kewajiban bagi DPR dan Presiden untuk segera menindaklanjuti Putusan MK yang terkait dengan JR, dalam hal putusan itu mengubah undang-undang yang diuji.

Nah, penghapusan pasal itu banyak dikira orang merupakan skenario dari DPR dan Presiden untuk menihilkan putusan MK. Mereka pikir dengan demikian, maka DPR dan Presiden tidak lagi memiliki kewajiban untuk menindaklanjuti putusan MK.

Sehingga, terbangunlah asumsi di masyarakat bahwa seandainya pun UU Cipta Kerja dibatalkan, baik sebagian atau seluruhnya oleh MK, maka hal itu akan sia-sia sebab UU tersebut tetap bisa diberlakukan oleh DPR dan Presiden. Padahal ini asumsi yang keliru.

Perlu diketahui, penghapusan Pasal 59 ayat (2) UU 8/2011 melalui UU 7/2020 bukanlah kemauan DPR dan Presiden, melainkan pasal itu dihapus justru karena diperintahkan oleh MK.

Ketentuan Pasal 59 ayat (2) UU 8/2011 sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi sejak sembilan tahun yang lalu melalui putusan 49/PUU-IX/2011, tanggal 18 Oktober 2011. Jadi, memang sudah seharusnya Pasal 59 ayat (2) itu dihapus dalam UU 7/2020.

Penghapusan pasal tersebut sama sekali tidak memengaruhi sifat putusan MK yang memiliki kekuatan hukum terakhir dan mengikat (final and binding), sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945.

Penghapusan Pasal 59 ayat (2) juga tidak menyebabkan Putusan MK bisa dikesampingkan oleh DPR dan Presiden, sebab dalam pengujian undang-undang kedudukan Putusan MK dipersamakan juga dengan undang-undang.   

Dalam pembentukan undang-undang, DPR dan Presiden merupakan postitif legislator, sedangkan MK diposisikan sebagai negatif legislator. Teori hukumnya begitu.

Jadi, sekalipun Pasal 59 ayat (2) telah dihapus oleh UU 7/2020, dalam hal JR UU Cipta Kerja dikabulkan dan UU tersebut, misalnya, dibatalkan oleh MK, maka tidak ada tafsir lain lagi: good bye omnibus law.

Penulis adalah Pemerhati Hukum Tata Negara/Direktur Sinergi Masyarakat Untuk Demokrasi Indonesia (Sigma)

Populer

KPK Kembali Periksa Pramugari Jet Pribadi

Jumat, 28 Februari 2025 | 14:59

Sesuai Perintah Prabowo, KPK Harus Usut Mafia Bawang Putih

Minggu, 02 Maret 2025 | 17:41

Digugat CMNP, Hary Tanoe dan MNC Holding Terancam Bangkrut?

Selasa, 04 Maret 2025 | 01:51

Lolos Seleksi TNI AD Secara Gratis, Puluhan Warga Datangi Kodim Banjarnegara

Minggu, 02 Maret 2025 | 05:18

CMNP Minta Pengadilan Sita Jaminan Harta Hary Tanoe

Selasa, 04 Maret 2025 | 03:55

KPK Terus Didesak Periksa Ganjar Pranowo dan Agun Gunandjar

Jumat, 28 Februari 2025 | 17:13

Bos Sritex Ungkap Permendag 8/2024 Bikin Industri Tekstil Mati

Senin, 03 Maret 2025 | 21:17

UPDATE

BRI Salurkan KUR Rp27,72 Triliun dalam 2 Bulan

Senin, 10 Maret 2025 | 11:38

Badai Alfred Mengamuk di Queensland, Ribuan Rumah Gelap Gulita

Senin, 10 Maret 2025 | 11:38

DPR Cek Kesiapan Anggaran PSU Pilkada 2025

Senin, 10 Maret 2025 | 11:36

Rupiah Loyo ke Rp16.300 Hari Ini

Senin, 10 Maret 2025 | 11:24

Elon Musk: AS Harus Keluar dari NATO Supaya Berhenti Biayai Keamanan Eropa

Senin, 10 Maret 2025 | 11:22

Presiden Prabowo Diharapkan Jamu 38 Bhikkhu Thudong

Senin, 10 Maret 2025 | 11:19

Harga Emas Antam Merangkak Naik, Cek Daftar Lengkapnya

Senin, 10 Maret 2025 | 11:16

Polisi Harus Usut Tuntas Korupsi Isi MinyaKita

Senin, 10 Maret 2025 | 11:08

Pasar Minyak Masih Terdampak Kebijakan Tarif AS, Harga Turun di Senin Pagi

Senin, 10 Maret 2025 | 11:06

Lebaran di Jakarta Tetap Seru Meski Ditinggal Pemudik

Senin, 10 Maret 2025 | 10:50

Selengkapnya