SEORANG sahabat lama, teman sekolah di tingkat menengah pertama yang sudah 47 tahun tidak pernah bertemu hanya berkontak lewat telepon—pun sebatas SMS dan WA—tiba-tiba mengirimkan pertanyaan lewat washapp (WA).
Mengapa kita menjadi bangsa yang tidak tahu malu? Mengapa kita menjadi bangsa yang sangat sulit mengakui kekalahan? Mengapa kita menjadi bangsa yang suka omong kosong? Apakah kamu bisa menjawab pertanyaan-pertanyaanku itu?
Tidak mudah menjawab pertanyaanmu itu. Tetapi, saya mau menulis cerita ini. Begitu jawaban saya kepada sahabat lama itu. Demikianlah ceritanya:
Pada tahun 1970, selama kunjungannya ke Polandia yang waktu itu masih negara komunis, Kanselir Jerman Barat, Willy Brandt, berlutut di depan Monumen Pahlawan Ghetto di Warsawa. Tindakan Willy Brandt tersebut dibaca oleh banyak orang sebagai ekspresi kerendahan hati dan rasa malu Jerman atas kejahatan Nazi yang dilakukan terhadap bangsa Polandia, termasuk jutaan orang Yahudi yang terbunuh dalam Holocaust.
Bertahun-tahun kemudian, permintaan maaf serupa untuk “rasa malu kami†dinyatakan oleh Kanselir Jerman Gerhard Schröeder. Ia menyampaikan permintaan maaf pada Polandia, dalam kasus yang sama. Ini merupakan langkah penting dalam menciptakan hubungan diplomatik yang baik antara kedua negara dan memungkinkan proses penyembuhan bagi para korban.
“Rasa malu politik.†Itu yang ada di dalam diri Willy Brandt dan Gerhard Schröeder. Mengapa Willy Brandt dan Gerhard Schröeder perlu melakukan semua itu? Rasa malu politik, a kind of political shame, meminjam istilahnya Romo Sindhunata, memang perlu bagi pembentukan bangsa. Menjadi bangsa yang tahu malu atau yang tidak tahu malu?
Dalam teori kontemporer tertentu tentang politik rasa malu, rasa malu dianggap sebagai emosi merusak yang perlu dihindari, atau emosi yang bermanfaat yang berfungsi sebagai panduan yang sempurna untuk, pertimbangan demokratis. (Christina Tarnopolsky, 2004).
Baik Willy Brandt maupun Gerhard Schröeder, memilih yang kedua. Rasa malu sekaligus merupakan emosi pribadi dan sosial. Secara internal, rasa malu adalah panduan moral kita—sebuah indikasi tentang apa yang pantas dalam interaksi kita dengan orang lain dan apa yang tidak pantas.
Bagi tradisi Konfusianisme, masyarakat yang tidak tahu malu adalah masyarakat yang sakit, secara harfiah. Budaya kita pun demikian.
Bagi Baruch de Spinoza (1632-1677) dan Friedrich Nietzsche (1844-1900), rasa malu (bersama dengan rasa bersalah) adalah unsur dalam moralitas yang darinya mereka mencoba untuk membebaskan kita. Bagi Jean-Paul Sartre (1905-1980), rasa malu adalah penentang yang menentukan keinginan terdalam kita, keinginan untuk menjadi Tuhan, keinginan individu untuk menjadi pencipta mereka sendiri (dengan tindakan yang mereka ambil) dan pemberi hukum, dengan norma yang mereka pilih (Merold Westphal, 2016).
Maka itu, elite politik di negeri ini tidak hanya seharusnya memiliki rasa malu tetapi harus malu. Karena tidak bisa menahan diri untuk tidak asal ngomong, tidak bisa menyembunyikan nafsu kuasa, tidak bisa mengakui kekalahan, dan tidak bisa mengendalikan diri untuk meluapkan kekecewaan hatinya dengan secara membabi-buta menyerang kiri-kanan, orang-orang yang dianggap telah mengalahkannya, dan orang yang lebih beruntung, lebih sukses dibanding dirinya dalam panggung politik. Dan, tidak malu-malu mencari popularitas dengan cara “recehan†dengan mengatasnamakan demokrasi.
Padahal, kalau mereka—elite politik, para tokoh itu—mau membuka mata dan hatinya, akan bisa melihat dan merasakan bahwa bangsa ini tengah menghadapi masalah yang sangat mendesak untuk ditangani yakni mulai dari mengatasi pandemi Covid-19, integrasi nasional hingga masalah ekonomi.
Akan tetapi, karena urat malu sudah hilang, maka yang diburu hanyalah kepentingan pribadi, nafsu pribadi belaka. Dalam budaya rasa malu, kita tahu bahwa kita baik atau buruk dari apa yang dikatakan komunitas kita tentang kita, apakah itu menghormati atau mengecualikan kita.
Dalam budaya Jawa—sekurang-kurangnya—ada ajaran hidup yang sangat luhur: –Ajining diri saka lathi. Ajaran ini mengandung makna bahwa seseorang dapat dihargai itu berdasarkan ucapannya atau lidahnya. Contohnya adalah orang akan lebih dihargai di masyarakat ketika tidak bersikap sombong, atau dia dapat bertata krama dengan baik. Kalau Anda adalah orang yang berilmu, ya jangan sombong, sebaliknya cobalah menyebarkan ilmu Anda itu dengan bahasa yang santun dan tidak menyinggung perasaan orang lain.
Bisa juga diartikan bahwa dalam setiap kehidupan kita harus selalu menjaga setiap ucapan agar senantiasa berucap benar dan tidak berkata dusta. Ibarat kata jangan “esuk dele, sore tempeâ€, pagi kedele sore tempe, berubah-ubah, ucapannya nggak bisa dipegang. Dengan kata lain hal ini sama dengan integritas, yaitu kesesuaian antara ucapan dan tindakan.
Rasa malu semestinya merupakan budaya yang lazim dianut oleh karakter bangsa-bangsa timur, termasuk Indonesia. Rasa malu memang merupakan rem yang sangat ampuh dalam mengontrol perilaku kita. Tanpa adanya rasa malu, apa yang tidak layak menjadi pantas, dan apa yang terlarang menjadi boleh dan dipandang baik. Bahkan mungkin, berbagai penyimpangan itu dikemas dalam tampilan yang saleh dan agamis. Mengutip pendapat Romo Franz Magnis-Suseno, “…ada orang beragama membawa diri dengan cara yang justru membuat banyak orang merasa, lebih baik tak ber-Tuhan daripada ber-Tuhan seperti mereka itu.â€
Itu semua terjadi karena tiadanya rasa malu. Padahal, rasa malu itu membuat seseorang merasa tidak nyaman dan enggan melakukan perbuatan rendah dan tercela, sebaliknya merasa lega dan nyaman apabila dapat melakukan kebajikan. Seseorang yang memiliki perasaan malu, kalau ia melakukan perbuatan yang tidak patut, rendah dan tercela.
Tetapi, kini yang terjadi justru sebaliknya. Banyak orang, elite politik yang tidak malu-malu, tidak memiliki rasa malu omong kosong di mana-mana (dengan mengatasnamakan demokrasi); menganggap dirinya paling pintar, paling hebat, paling paham, paling mampu, paling berada di jalan yang benar, paling agamis, paling tahu tentang politik karena merasa sudah belajar ilmu politik sampai tingkat paling tinggi, dan serba paling yang lain; sementara orang lain dipandang dan dianggap paling tidak paham, tidak tahu, paling bodoh, paling tidak pantas, paling tak tahu agama, dan paling-paling yang jelek lainnya.
Akibatnya—karena banyak elite kehilangan rasa malu—maka rakyat, masyarakat pun akan kehilangan rasa malu juga, ketularan mereka. Jadi, sahabatku, wajarlah kalau sekarang ini banyak omong kosong, berseliweran di mana-mana, ke sana ke mari. Orang tidak malu-malu lagi—untuk beromong kosong—karena mencontoh para elite, para tokoh masyarakat yang juga paling senang omong kosong. Karena itu, sahabatku, kalau tulisan ini kamu anggap sekadar omong kosong pun, juga tidak masalah.
Tetapi, rasanya, kita perlu memupuk kelahiran kembali rasa malu sebagai kebajikan politik, yang selama ini telah mati atau mungkin malah sengaja dimatikan.
Salam.
Penulis adalah wartawan senior