Berita

Ilustrasi perebutkan kursi kekuasaan daerah/Net

Publika

Negeri Para Cukong?

JUMAT, 18 SEPTEMBER 2020 | 04:43 WIB | OLEH: YUDHI HERTANTO

MEMPRIHATINKAN. Pernyataan itu jelas mengagetkan. Terlebih angka yang disebut terbilang mutlak, 92 persen keterpilihan mayoritas calon kepala daerah melibatkan peran cukong.

Penyampai pesan tersebut bukan sembarang orang, melainkan Menko Polhukam Mahfud MD. Pasti bukan sekadar main-main, tentu ada dasar argumentasi yang sahih.

Sejatinya, proses kontestasi politik telah jamak diketahui sebagai ruang transaksi. Proses tukar tambah dan barter terjadi, untuk dan atas nama kekuasaan.

Tidak ada yang bisa memastikan seberapa dominan itu terjadi, karena praktiknya berlangsung di ruang gelap bursa politik.

Maka pernyataan tentang angka yang hampir mutlak itu jelas sangat mengkhawatirkan bagi masa depan demokrasi.

Sebagai sebuah istilah, cukong bertindak sebagai penyedia modal yang mempersiapkan dana. Berlaku sebagai bandar, yang memiliki tugas mengatur aliran, dalam saluran pertukaran kepentingan.

Sudah sejak lama aktivitas seperti ini terjadi, simbiosis mutualisme terjadi antara para aktor di wilayah ekonomi dan ruang politik. Perilaku ini dikenal sebagai upaya perburuan rente, menciptakan relasi balas budi.

Logika transaksinya mudah ditebak. Pelaku politik membutuhkan sumber daya finansial yang cukup dalam kapasitas membeli suara -vote buying guna memenangkan kontestasi.

Bagi para cukong, situasi tersebut menjadi peluang untuk membawa kepentingan bisnis ke dalam regulasi, layaknya sebuah instrumen investasi. Terjadi pertemuan kepentingan.

Selera dan Pilihan Cukong

Dalam sebuah diskusi daring LP3ES, Didik J Rachbini menyebut ada dua diksi terpisah antara "Public Choice dengan Pilihan Cukong". Hal itu menarik, karena pasar politik beririsan dengan pasar ekonomi, lantas terjadi kesetimbangan supply-demand.

Interaksi lapangan politik dengan pertautan kepentingan ekonomi para bandar, membuat pertukaran berlangsung timpang bagi upaya memuat kepentingan publik secara lebih luas.

Kompleksitas relasi yang terjadi, sarat dengan kepentingan pada tema memperoleh serta mempertahankan kekuasaan. Dengan begitu, isu sentral demokrasi terkait aspek kesetaraan, keadilan dan kemanusiaan menjadi marjinal.

Dalam bahasa yang lain, Ward Berenschot dari University of Amsterdam, yang bersama dengan Edward Aspinall merilis hasil penelitian terkait politik uang di Indonesia dalam buku Democracy for Sale, 2019, menyampaikan perlunya reformasi dalam proses politik elektoral.

Temuan dari kajian Berenschot, memperlihatkan bila ongkos politik di Indonesia terbilang besar. Mulai sejak proses kandidasi, proses pencalonan melalui partai politik akan terkait dengan mahar politik, mudah dibaca bila kemudian ukuran kualitas dan kompetensi kemudian terpinggirkan untuk diberikan kepada penawar tertinggi.

Tidak berhenti disitu, bahkan dimulai dari titik penentuan kandidat, sumber daya finansial semakin massif dipergunakan.

Hal ini terhitung secara akumulatif, seperti kebutuhan dana kampanye, persiapan bagi tim pemenangan, biaya saksi hingga mengawal suara hingga putusan final.

Bahkan bukan tidak mungkin, termasuk mempersiapkan dana tambahan untuk bisa menang melalui sengketa pemilihan.

Dengan alur kerja yang sedemikian, maka peran cukong menjadi begitu signifikan.

Pada akhirnya, para aktor politik yang terpilih, tidak bisa melepaskan diri dari pilihan pengambilan kebijakan yang akan memberikan keuntungan dalam regulasi bagi kepentingan cukong.

Bahkan memberikan barter imbalan proyek, secara langsung dari rencana pembangunan daerah.

Demokrasi tanpa Publik

Sekurangnya, ada hal penting yang dapat dibaca dari argumen sederhana atas keterlibatan para cukong dalam sistem elektoral, yakni ruang politik kehilangan ruh demokrasi tentang hajat publik, menjadi wilayah pertarungan jangka pendek segelintir elite. Oligarki berkuasa.

Ranah politik yang lekat dengan pola transaksional ini, membuat pengambil.kebijakan menjadi berbagai persoalan publik.

Rasionalitas investasi lebih mengemuka, kalkulasi untung rugi, dan yang terutama dalam menjamin keuntungan serta posisi strategis kelompok kekuasaan.

Tata kelola kehidupan demokrasi harus segera diperbaiki, bila kita masih berharap akan masa depan. Setidaknya ada tiga hal yang saling terkait dan perlu pembenahan secara bersamaan.

Pertama: penguatan regulasi, sebagai akibat dari lemahnya mekanisme aturan dalam upaya mengeliminir potensi politik berbiaya tinggi.

Termasuk melakukan penegakan hukum, bagi pihak yang melanggar ketentuan terkait politik uang pada setiap level proses elektoral.

Kedua: pengembalian peran partai politik dalam makna agregasi dan kanalisasi kepentingan publik.

Kehendak untuk terlibat dalam politik kepartaian merupakan upaya dalam menciptakan wadah aktualisasi bagi dampak kebermanfaatan, dibandingkan memanfaatkan ruang politik guna mencari pemenuhan kebutuhan dasar. Etika dan moralitas menjadi pemandunya.

Ketiga: edukasi dan literasi politik publik, tentang upaya membangun kesadaran untuk tidak masuk dalam ruang perangkap dari para aktor politik yang lancung memainkan praktik politik uang, karena pada akhirnya harus diakui ada relasi dialektik antara praktik politik dan budaya sosial.

Di titik ini kita berbicara tentang persinggungan kebudayaan dan peradaban.

Momentum pernyataan petinggi negeri tersebut, harus melecut evaluasi bagi banyak pihak, kita sedang berpikir dan bertindak untuk generasi masa depan dan kehidupan mendatang.

Statement itu akan menjadi hampa, tanpa adanya koreksi bersama.


Penulis adalah Program Doktoral Ilmu Komunikasi Universitas Sahid

Populer

Pendapatan Telkom Rp9 T dari "Telepon Tidur" Patut Dicurigai

Rabu, 24 April 2024 | 02:12

Polemik Jam Buka Toko Kelontong Madura di Bali

Sabtu, 27 April 2024 | 17:17

Pj Gubernur Ingin Sumedang Kembali jadi Paradijs van Java

Selasa, 23 April 2024 | 12:42

Bey Pastikan Kesiapan Pelaksanaan Haji Jawa Barat

Rabu, 01 Mei 2024 | 08:43

Jurus Anies dan Prabowo Mengunci Kelicikan Jokowi

Rabu, 24 April 2024 | 19:46

Tim Hukum PDIP Minta Penetapan Prabowo-Gibran Ditunda

Selasa, 23 April 2024 | 19:52

Pj Gubernur Jabar Minta Pemkab Garut Perbaiki Rumah Rusak Terdampak Gempa

Senin, 29 April 2024 | 01:56

UPDATE

Prabowo-Gibran Perlu Buat Kabinet Zaken

Jumat, 03 Mei 2024 | 18:00

Dahnil Jamin Pemerintahan Prabowo Jaga Kebebasan Pers

Jumat, 03 Mei 2024 | 17:57

Dibantu China, Pakistan Sukses Luncurkan Misi Bulan Pertama

Jumat, 03 Mei 2024 | 17:46

Prajurit Marinir Bersama Warga di Sebatik Gotong Royong Renovasi Gereja

Jumat, 03 Mei 2024 | 17:36

Sakit Hati Usai Berkencan Jadi Motif Pembunuhan Wanita Dalam Koper

Jumat, 03 Mei 2024 | 17:26

Pemerintah: Internet Garapan Elon Musk Menjangkau Titik Buta

Jumat, 03 Mei 2024 | 17:26

Bamsoet Minta Pemerintah Transparan Soal Vaksin AstraZeneca

Jumat, 03 Mei 2024 | 17:16

DPR Imbau Masyarakat Tak Tergiur Investasi Bunga Besar

Jumat, 03 Mei 2024 | 17:06

Hakim MK Singgung Kekalahan Timnas U-23 dalam Sidang Sengketa Pileg

Jumat, 03 Mei 2024 | 16:53

Polisi Tangkap 2.100 Demonstran Pro-Palestina di Kampus-kampus AS

Jumat, 03 Mei 2024 | 16:19

Selengkapnya