Berita

Presiden Jokowi/Net

Politik

Indonesia Gunakan QE Tutup Defisit Anggaran, Salamuddin Daeng: Pemerintah Jokowi Main Api!

SELASA, 15 SEPTEMBER 2020 | 04:04 WIB | LAPORAN: AHMAD SATRYO

Cara yang dipilih Indonesia untuk meringankan beban utang negara atau biasa disebut defisit anggaran untuk pengananganan pandemi Covid-19 adalah melalui program monetisasi utang atau pelonggaran kuantitatif (Quantitative Easing/QE).

Program ini merupakan hasil kesepakatan pemangku kebijakan fiskal, dalam hal ini pemerintahan Presiden Joko Widodo, dengan Bank Indonesia (BI) selaku pemangku kebijakan moneter di dalam negeri.

Melalui kebijakan tersebut, BI nantinya bakal membeli Surat Berharga Negara (SBN) yang dikeluarkan pemerintah dengan turut menanggung beban utang yang sesuai dengan suku bunga acuan atau BI 7-day (Reverse) Repo Rate.


Meski SBN yang akan dibeli seluruhnya oleh BI hanya yang berkaitan dengan belanja pemerintah untuk public goods atau belanja bagi masyarakat yang nilainya Rp 397 triliun dari total anggaran penanganan Covid-19 Rp 695,2 triliun, bukan berarti kebijakan ini luput dari kritikan.

Salah satu yang kurang sepakat dengan kebijakan tersebut adalah Pengamat Ekonomi Politik dari Universitas Bung Karno, Salamuddin Daeng.

Dia menilai Presiden Joko Widodo telah bermain api karena menggunakan QE sebagai cara menutupi defisit anggaran yang diperkirakan melebar menjadi Rp 1.093,2 triliun atau 6,34 persen dari PDB gegara Pandemi Corona jenis baru itu.

Daeng menyebut, Program QE yang bukan hanya digunakan oleh Indonesia, tetapi juga Polandia dan negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Eropa, bisa berujung kepada melemahnya nilai mata uang yang digunakan di negara tersebut.

Karena, untuk melaksanakan program QE bank sentral mesti meningkatkan jumlah uang yang beredar dengan membeli obligasi pemerintah dan sekuritas lainnya. Meningkatkan suplai uang sama dengan meningkatkan suplai aset lainnya. Otomatis, biaya uang yang lebih rendah berarti suku bunga juga lebih rendah, dan bank dapat meminjamkan dengan persyaratan yang lebih mudah.

Bahkan, jika QE kehilangan efektivitasnya, kebijakan fiskal dapat digunakan untuk lebih memperluas pasokan uang, dan juga dapat mengaburkan batas antara kebijakan moneter dan kebijakan fiskal, jika aset yang dibeli terdiri dari obligasi pemerintah jangka panjang yang dikeluarkan untuk membiayai pengeluaran defisit.

"Pemerintah Jokowi Bermain Api. Untuk negara-negara ini (Indonesia dan juga Polandia) mungkin ada godaan untuk meringankan beban utang mata uang lokal mereka yang meningkat hanya dengan menggembungkannya," ujar Daeng kepada Kantor Berita Politik RMOL, Senin (14/9).

"Dalam konteks ini, program QE di Indonesia dan Polandia telah menimbulkan kekhawatiran bahwa bank sentral mungkin benar-benar memonetisasi utang negara di luar batas (defisit anggaran) yang sesuai," sambungnya.

Masing-masing Bank Sentral Indonesia dan Polandia, dicatatan Daeng, memborong obligasi pemerintah yang nilainya cukup tinggi. Yakni, untuk Indonesia mencapai 6,8 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), dan sedangkan Polandia 4,6 persen dari PDB dari Maret hingga Agustus.

"Rasio tertinggi di antara 16 negara berkembang," ungkapnya.

Sejak Indonesia mengumumkan program QE bulan Juli lalu, rupiah tercatat telah kehilangan lebih dari 2 persen nilainya terhadap dolar Amerika Serikat. Bahkan, sepanjang tahun ini rupiah mengalami pelemahan 6 persen terhadap dollar AS dan menjadi mata uang berkinerja terburuk di Asia.

Karena itu, Daeng menilai kebijakan yang diterapkan Indonesia ini bakal memperluas basis moneter yang berujung pada pelemahan mata uang yang lebih dalam dan membuat investor khawatir.

"Bank sentral Indonesia hingga saat ini merupakan satu-satunya bank yang juga melakukan pembelian langsung di pasar perdana, sebuah langkah yang biasanya dianggap 'tabu', meskipun pasar selama ini bersikap lunak," terangnya.

Begitupun dengan kebijakan yang diambil oleh Bank Sentral Polandia.

"Dan mengenai Polandia, ada kekhawatiran bahwa jika pembelian dilanjutkan pada kecepatan saat ini hingga akhir 2020, bank sentral akan membiayai secara kasar seluruh defisit fiskal tahun ini, yang diproyeksikan sekitar -8% dari PDB," demikian Salamuddin Daeng.

Populer

Mantan Jubir KPK Tessa Mahardhika Lolos Tiga Besar Calon Direktur Penyelidikan KPK

Rabu, 24 Desember 2025 | 07:26

Mantan Wamenaker Noel Ebenezer Rayakan Natal Bersama Istri di Rutan KPK

Kamis, 25 Desember 2025 | 15:01

Sarjan Diduga Terima Proyek Ratusan Miliar dari Bupati Bekasi Sebelum Ade Kuswara

Jumat, 26 Desember 2025 | 14:06

Kejagung Copot Kajari Kabupaten Tangerang Afrillyanna Purba, Diganti Fajar Gurindro

Kamis, 25 Desember 2025 | 21:48

Camat Madiun Minta Maaf Usai Bubarkan Bedah Buku ‘Reset Indonesia’

Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16

8 Jenderal TNI AD Pensiun Jelang Pergantian Tahun 2026, Ini Daftarnya

Rabu, 24 Desember 2025 | 21:17

Adik Kakak di Bekasi Ketiban Rezeki OTT KPK

Senin, 22 Desember 2025 | 17:57

UPDATE

Investigasi Kecelakaan Jeju Air Mandek, Keluarga Korban Geram ? ?

Sabtu, 27 Desember 2025 | 17:52

Legislator Nasdem Dukung Pengembalian Dana Korupsi untuk Kesejahteraan Rakyat

Sabtu, 27 Desember 2025 | 17:43

Ledakan Masjid di Suriah Tuai Kecaman PBB

Sabtu, 27 Desember 2025 | 16:32

Presiden Partai Buruh: Tidak Mungkin Biaya Hidup Jakarta Lebih Rendah dari Karawang

Sabtu, 27 Desember 2025 | 16:13

Dunia Usaha Diharapkan Terapkan Upah Sesuai Produktivitas

Sabtu, 27 Desember 2025 | 15:26

Rehabilitasi Hutan: Strategi Mitigasi Bencana di Sumatera dan Wilayah Lain

Sabtu, 27 Desember 2025 | 15:07

Pergub dan Perda APBD DKI 2026 Disahkan, Ini Alokasinya

Sabtu, 27 Desember 2025 | 14:52

Gebrakan Sony-Honda: Ciptakan Mobil untuk Main PlayStation

Sabtu, 27 Desember 2025 | 14:24

Kebijakan Purbaya Tak Jauh Beda dengan Sri Mulyani, Reshuffle Menkeu Hanya Ganti Figur

Sabtu, 27 Desember 2025 | 14:07

PAN Dorong Perlindungan dan Kesejahteraan Tenaga Administratif Sekolah

Sabtu, 27 Desember 2025 | 13:41

Selengkapnya