PRESIDEN Amerika Donald Trump, Perdana Mentri Israel Benjamin Netanyahu, dan Raja Bahrain Hamad bin Isa Al Khalifa, membuat pernyataan bersama pada Jumat (11/9), bahwa antara Bahrain dan Israel segera akan melakukan normalisasi hubungan diplomatik.
Dengan demikian, apa yang dilakukan Bahrain dapat dikatakan mengikuti langkah Uni Emirat Arab hanya dalam rentang waktu sekitar satu bulan.
Meskipun mungkin mengejutkan masyarakat awam, akan tetapi bagi mereka yang memahami peta politik di Timur Tengah, dan mengikuti perkembangannya secara saksama, apalagi didukung oleh berbagai isyarat yang diberikan oleh Washington dan Tel Aviv pascanormalisasi hubungan diplomatik antara UEA-Israel, maka apa yang terjadi saat ini sudah bisa diprediksi.
Bahrain akan diwakili oleh Menlu Abdullatif Al Zayani bersama Menlu UEA, Abdullah bin Zayed Al Nahyan, diharapkan akan hadir bersama Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu untuk menandatangani kesepakatan normalisasi hubungan diplomatik pada 15 September mendatang di Gedung Putih, Washington, yang akan disaksikan oleh Presiden Amerika Donald Trump.
Bahrain merupakan salah satu negara Arab di kawasan Teluk yang kaya, yang menjadi tetangga UEA maupun Arab Saudi. Lebih dari itu negara pulau ini memiliki hubungan politik, ekonomi, dan pertahanan, secara istimewa dengan Arab Saudi.
Apalagi secara fisik kedua negara dihubungkan oleh jembatan yang memudahkan pergerakan orang dan barang antarkedua negara, sehingga sejumlah pengamat menyebutnya bahwa Bahrain tidak ubahnya seperti salah satu provinsi dari Arab Saudi.
Pada 2011, Bahrain terkena imbas gelombang Arab Spring yang melanda kawasan Middle East and North Africa (MENA). Komunitas Syiah menuntut demokratisasi sekaligus perubahan politik di negara mini ini. Jumlah penduduk Syiah yang lebih besar dibanding penganut Sunni merasa kurang mendapatkan hak-hak nya secara memadai, dari penguasa yang bermazhab Suni.
Karena Kerajaan kewalahan menghadapi berbagai demonstrasi massa yang tidak jarang diikuti oleh kekerasan dan kerusakan fasilitas umum, akhirnya Kerajaan meminta bantuan Arab Saudi. Pasukan Arab Saudi segera dikirim untuk memadamkan gejolak politik yang konon mendapatkan dukungan dari Iran.
Karena itu, Zaha Hassan dari Carnagie Endowment for Internastional Peace menyebut, normalisasi hubungan diplomatik antara Bahrain-Israel mustahil tanpa persetujuan Arab Saudi.
Hassan menyebutkan bahwa normalisasi hubungan diplomatik antara Bahrain-Israel merupakan hadiah dari Arab Saudi kepada Donald Trump yang terus menerus menekan Arab Saudi untuk segera mengikuti jejak UEA. Hal senada juga dikatakan oleh Khalil Jahsan yang menjabat executive director di Arab Center of Washington.
Pertanyaannya kemudian, mengapa hubungan kait-mengait yang rumit seperti ini bisa terjadi? Untuk menjelaskannya, maka akan dipetakan berdasarkan alasan pragmatis setiap penguasa politik yang terlibat, di samping tujuan strategis yang ingin dicapai terkait kepentingan nasional masing-masing negara.
Hal-hal yang terkait tujuan pragmatis para penguasa, antara lain: Pertama, bagi Donald Trump yang kini sedang berkampanye sebagai petahana mewakili Partai Republik melawan penantangnya Joe Biden dari Partai Demokrat, maka upaya mendamaikan sejumlah negara-negara Arab dengan Israel sesuai skema dan strategi serta taktik Israel, merupakan cara efektif untuk mendapatkan dukungan kelompok Kristen Evangelis dan Yahudi di Amerika yang menguasai media, ekonomi, dan berbagai kekuatan politik, serta mengendalikan banyak tokoh politik berpengaruh.
Kedua, bagi Benjamin Netanyahu semakin banyak negara Arab yang mau berdamai dengan Israel, maka semakin kecil tekanan dari luar yang memperlemah daya tawar politik bangsa Palestina dalam negosiasi dengan Israel terkait dengan tuntutan akan hak-haknya, termasuk di dalamnya masalah kemerdekaan negaranya.
Hal ini bisa diklaim sebagai keberhasilan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu sebagai cara untuk menyelamatkan dirinya dari jeratan hukum terkait tuduhan penyalahgunaan kekuasaan, korupsi, dan tindakannya yang dinilai sebagai kebohongan publik.
Ketiga, bagi Raja Bahrain Hamad bin Isa Al Khalifa, normalisasi hubungan diplomatik dengan Israel merupakan cara praktis untuk membalas budi sekaligus terus berharap perlindungan dari Arab Saudi dan Amerika dalam mengamankan singgasananya. Apalagi Amerika telah membangun salah satu basis angkatan lautnya sekaligus pusat komando Armada kelimanya di negara pulau ini.
Keempat, bagi Arab Saudi, menyodorkan Bahrain kepada Amerika dan Israel, merupakan cara menyenangkan kedua negara ini yang terus menekannya untuk menjalin hubungan formal dengan Israel.
Meskipun publik telah mengetahui bahwa beberapa tahun terakhir Saudi Arabia telah menjalin hubungan politik dan keamanan secara diam-diam, akan tetapi jika hubungan dilakukan secara formal saat ini, maka dapat menimbulkan gejolak politik di dalam negri, dan memberikan jalan bagi keluarga Kerajaan untuk menentang Raja Salman.
Hal ini dapat mengganggu suksesi kepada anaknya, Muhammad bin Salman (MBS), yang kini menjabat sebagai Putra Mahkota. Lebih dari itu, Arab Saudi yang menjadi motor inisiatif perdamaian Arab-Israel yang disodorkan mendiang Raja Abdullah pada 2002, dengan kompensasi kemerdekaan Palestina dengan batas-batas wilayah sebelum Perang 1967, bisa dituduh sebagai pihak yang mengkhianati sekaligus mengaborsi inisiatifnya sendiri oleh negara-negara Arab, khususnya Palestina.
Sementara terkait dengan agenda jangka panjang kepentingan strategis negara masing-masing antara lain: Pertama, Amerika tidak berani menghadapi Iran sendirian. Karena itu, ia memerlukan dukungan intelijen dan militer Israel serta dukungan finansial negara-negara Teluk yang kaya.
Lebih dari itu, negara-negara Teluk ini memiliki perbatasan laut secara langsung dengan Iran. Karena itu, wilayah negara-negara Teluk ini cukup ideal jika digunakan sebagai pijakan untuk menyerang wilayah Iran yang jaraknya hanya beberapa puluh kilometer saja.
Apabila skenario ini berjalan, maka untuk menaklukkan Iran, Amerika tidak perlu mengambil resiko kehilangan tentaranya ataupun kerugian mesin perangnya baik yang berupa kapal laut, pesawat tempur, maupun dronenya.
Lebih dari itu, Amerika dapat menikmati keuntungan finansial dengan cara menjual peralatan militernya kepada negara-negara Arab yang bertikai dengan Iran.
Kedua, bagi Israel yang kewalahan menghadapi tentara Iran di Suriah dan gerilyawan Hizbullah yang didukung Iran di Lebanon, berusaha untuk menaklukkan induk-semangnya secara langsung.
Israel yang berpengalaman menggunakan taktik
hit and run (tembak-lari) dengan menggunakan pesawat tempur atau drone, akan mendapatkan pijakan yang ideal di UEA dan Bahrain untuk melancarkan aksinya di wilayah Iran. Dengan demikian, Israel menggunakan cara yang sama sebagaimana Iran menggunakan Lebanon dan Suriah untuk menginfiltrasi Israel.
Ketiga, bagi Arab Saudi yang menempatkan Iran sebagai ancaman utamanya, akan menggunakan dukungan Israel dan Amerika untuk menjinakkannya. Hal ini terlihat dari bagaimana koalisi Arab yang dimotori Arab Saudi dan UEA kewalahan menghadapi gerilyawan Houthi yang didukung Iran dan beroperasi di Yaman.
Dengan alasan pragmatis dan strategis di atas, maka dapat disimpulkan skenario ini akan berlanjut jika Donald Trump terpilih kembali untuk kedua kalinya.
Akan tetapi jika ia kalah, maka Joe Biden yang berasal dari partai yang berbeda tentu akan memilih cara lain yang lebih elegan dan diplomatis untuk menyelesaikan masalah Arab-Israel, sebagaimana langgam yang biasanya dimainkan oleh para presiden Amerika yang berasal dari Partai Demokrat.
Dr. Muhammad Najib
Pengamat Politik Islam dan Demokrasi