Kapal fregat Courbet Prancis/Net
Klaim Prancis yang menuduh kapal perang Turki melakukan perilaku agresif di laut Mediterania telah meningkatkan ketegangan antara sekutu NATO.
Di sela-sela kunjungan kerjanya di Berlin, Menteri Luar Negeri Turki Mevlut Cavusoglu, pada Kamis (2/7) mengatakan bahwa Prancis harus meminta maaf atas klaim palsunya itu.
“Ketika Prancis membuat klaim palsu dan bekerja melawan Turki, itu tidak bisa diterima. Kami mengharapkan Prancis untuk meminta maaf tanpa syarat,†katanya, seperti dikutip dari Sputnik, Kamis (2/7).
Peristiwa itu berawal saat Prancis menuduh kapal perang Turki melakukan perilaku agresif setelah kapal perangnya mencoba memeriksa kapal yang diduga melanggar embargo senjata PBB di Libya pada Juni lalu.
Prancis mengatakan, fregat Courbet menyala tiga kali oleh radar penargetan angkatan laut Turki pada 10 Juni ketika mencoba mendekati kapal sipil berbendera Tanzania yang diduga terlibat dalam perdagangan senjata. Kapal itu dikawal oleh tiga kapal perang Turki. Courbet akhirnya mundur setelah konfrontasi terjadi.
Pada saat itu, fregat Perancis adalah bagian dari misi Sea Guardian, yang membantu memberikan keamanan maritim di Mediterania. Prancis mengatakan pihaknya bertindak berdasarkan informasi NATO dan bahwa di bawah aturan keterlibatan aliansi, tindakan semacam itu dianggap tindakan bermusuhan.
Sementara itu, Turki membantah telah melecehkan Courbet.
“Prancis belum mengatakan yang sebenarnya ke UE atau NATO,†ungkap Cavusoglu.
“Klaim bahwa kapal kami mengunci (kapal Prancis) tidak benar. Kami telah membuktikan ini dengan laporan dan dokumen dan memberikannya kepada NATO. NATO melihat kebenaran,†tegasnya.
NATO hanya mengonfirmasi bahwa penyelidik telah menyerahkan laporan mereka ke dalam insiden tersebut, tetapi mereka mengatakan itu rahasia dan menolak untuk memberikan info lebih jauh.
“Alih-alih terlibat dalam kegiatan anti-Turki dan kecenderungan semacam itu, Prancis perlu membuat pengakuan yang tulus. Harapan kami dari Perancis saat ini adalah untuk meminta maaf dengan cara yang jelas, tanpa jika atau tetapi, karena tidak memberikan informasi yang benar,†kata Cavusoglu.
Sementara itu, pemerintah Perancis mengirim surat kepada NATO pada hari Selasa (28/6) yang mengatakan bahwa pihaknya menghentikan keikutsertaannya di Sea Guardian untuk sementara waktu.
Dalam kesempatan yang sama, Cavusoglu juga menegaskan kembali dukungan Turki kepada Pemerintah Kesepakatan Nasional (GNA) yang diakui oleh PBB dan menambahkan bahwa Turki siap bekerjasama dengan para aktor internasional, termasuk Prancis, untuk solusi politik di Libya.
“Kami menginginkan gencatan senjata permanen dan solusi politik di Libya. Kami mengatakan bahwa satu-satunya solusi adalah solusi politik. Sampai hari ini kami telah melihat (putschist Jenderal Khalifa) Haftar yang belum mendukung inisiatif gencatan senjata meskipun ada upaya kami,†katanya.