Penyidik senior KPK, Novel Baswedan/RMOL
Tuntutan 1 tahun penjara yang diberikan kepada para terdakwa kasus penyiraman air keras terhadap penyidik KPK, Novel Baswedan, dianggap terlalu ringan. Tidak sebanding dengan apa yang dialami Novel Baswedan sebagai penegak hukum yang menangani kasus korupsi.
Direktur Legal Culture Institute (LeCI), M. Rizqi Azmi mengatakan, LeCI telah melakukan kajian hukum dan pemantauan sejak penyidikan yang dilakukan oleh Kepolisian.
Bahkan, LeCI juga pernah ikut serta dalam mendesak hadirnya Tim Pencari Fakta Independen yang bukan hanya terdiri dari aparat penegak hukum, Komnas HAM, NGO, Akademisi dan tokoh masyarakat. Melainkan juga Tim Pencari Fakta Internasional atau Lembaga Anti Korupsi Internasional The United Nations Convention Againts Corruption (UNCAC).
"Karena kasus ini merupakan upaya penghalangan dengan kekerasan terhadap petugas penegak kebenaran oleh sesama aparat penegak hukum. Untuk mencari keadilan HAM dalam bungkus penyidik KPK sebagai pemberantas korupsi yang selama ini menyengsarakan rakyat dan menjadi instrumen pelanggaran HAM terbesar," ucap M. Rizqi Azmi melalui keterangan tertulisnya, Jumat (12/6).
Rizqi melanjutkan, sejak awal penyidikan, LeCI menilai ada kesan kasus tersebut tidak menemui konklusi yang jelas dari KPK sendiri dan Polri.
"Dari awal penyidikan memang terkesan kasus ini ditarik ulur dan tidak menemui konklusi yang jelas dari KPK sendiri dan Polri. Mulai dari pembentukan Tim Gabungan Pencari Fakta yang menggiring temuan bahwa ada problema sakit hati pelaku karena Novel Baswedan yang menggunakan kewenangan yang berlebihan," jelas Rizqi.
Padahal, kata Rizqi, hal tersebut tidak relevan, hingga akhirnya Jaksa Penuntut Umum (JPU) memberikan tuntutan yang ringan terhadap kedua pelaku tersebut.
"Yang sebenarnya tidak relevan sampai akhirnya keluar tuntutan jaksa yang sangat minimalis 1 tahun dari ancaman hukum pidana penjara 7 tahun yang jauh dari delik kebenaran apabila," pungkasnya.