Berita

Ilustrasi Pancasila/Net

Publika

Pancasila: Spirit Gotong Royong Membangun Indonesia

KAMIS, 04 JUNI 2020 | 00:27 WIB

SUDAH 75 tahun kita berpancasila. Namun masalah-masalah yang dihadapi bangsa ini kian kompleks. Pemahaman tentang konsensus kebangsaan kita tak semua warga negara memahaminya. Di bangku Sekolah Dasar (SD), kita mengenal mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PKN).

Namun hal ini tak cukup untuk menanamkan Pancasila sebagai pegangan berbangsa dan bernegara. Hal ini dipicu karena Pancasila hanya dipahami sebagai sebuah konsensus kebangsaan yang sifatnya elitis.

Pancasila adalah hembusan nafas bagi seluruh warga negara Indonesia. Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, Musyawarah dan Keadilan seperti menjadi sebuah perjalanan gelap di bangsa ini.


Tak ayal jika segelintir orang tumbuh, berkembang dan menolak Pancasila. Di fase ini, klaim sejarah (history) tentang lahirnya Pancasila pada 1 Juni 1945 telah kita baca. Kita tidak ingin literatur-literatur tentang Pancasila menjadi sampah dan basi di tengkorak kepala.

Pancasila adalah hembusan nafas bangsa ini, ia lahir seiring sejalan dengan tindakan warga bangsa dalam kesehariannya. Sejak Pancasila lahir pada 1 Juni 1945, namun bangsa kita menjadikan hari Pancasila sebagai sebuah momentum.

Kita dapat saksikan di layar media sosial, foto dan video mengisi ruang-ruang beranda media sosial. Institusi pendidikan, institusi negara dan swasta turut merayakan hari lahir Pancasila. Namun, sampai di situkah kita berpancasila? Bagi penulis tidak, Pancasila tak boleh ditafsir hanya sebagai sebuah simbol dan momentum semata.

Sebab, jika hal itu terjadi laku hidup kita berpancasila sebagai konsensus kebangsaan nyata tereduksi. Salah satu tugas dan fungsi dari Pancasila adalah mencerdaskan kehidupan bangsa bagi seluruh rakyat Indonesia sesuai yang termaktub dalam pembukaan Undang undang Dasar 1945.

Namun cerdas apa yang dimaksud? Jika cerdas yang dimaksud adalah kecerdasan individual sehingga lupa akan masalah-masalah kebangsaan kita hari ini, maka Pancasila akan dianggap sebagai selembar kertas putih yang kusam. Jika cerdas yang dimaksud adalah cerdas membodoh-bodohi rakyat, maka Pancasila sedang tersesat.

Jika cerdas yang dimaksud menindas dan merampas hak-hak masyarakat, maka Pancasila tak ubahnya seperti baliho yang terpampang saat menyambut pesta demokrasi. Politik elektoral biasa orang menyebut.

Tahun 2018 yang lalu, Lingkaran Survei Indonesia (LSI) melakukan survei analisis pro-Pancasila. Hasilnya Pada tahun 2005, publik yang pro-Pancasila angkanya mencapai 85,2 persen, lima tahun kemudian, tahun 2010, angkanya menjadi 81,7 persen. Tahun 2015 angkanya menjadi 79,4 persen dan tahun 2018 menjadi 75,3 persen. Dalam waktu 13 tahun, publik yang pro-Pancasila menurun 10 persen.

Artinya, kepercayaan masyarakat terhadap Pancasila kian menurun. Salah satu penyebabnya adalah pemahaman warga negara tentang Pancasila masih minim. Ini tentu memprihatinkan, mengapa? Karena Pancasila hanya dipahami sebagai sebuah simbol bukan substansi.

Konsensus nasional yang selama ini menjadi nilai dasar dalam penanaman, penumbuhan, dan pengembangan rasa, jiwa dan semangat kebangsaan mengalami degradasi. Pancasila sebagai panduan, tuntunan dan pedoman bagi bangsa Indonesia dalam memperjuangkan cita-cita nasionalnya masih "jauh panggang daripada api".

Degradasi rasa, jiwa dan semangat kebangsaan itu masih nyata terlihat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Indikasi terdegradasinya Pancasila terlihat dari semakin menipisnya kesadaran dan kurang dihayatinya tata kehidupan berbangsa yang merepresentasikan keluhuran 5 sila bangsa Indonesia itu. Fakta ini merata hampir menjangkiti seluruh generasi bangsa.

Kecenderungan mengadopsi nilai-nilai budaya asing, melemahnya idealisme, patriotisme, serta mengendapnya spirit of nation menjadi pemandangan sehari-hari. Bukti lainnya, sikap pragmatisme dan hedonisme lebih digandrungi oleh generasi muda. Bahkan pedoman Pancasila semakin kabur dengan sikap acuh tak acuh terhadap ajaran agama.

Masalah degradasi Pancasila semakin kompleks ketika pemerintah kurang mensosialisasikan aturan terhadap masyarakat. Dampaknya, masyarakat kemudian mengalami distrust yang pada akhirnya muncul kurangnya ketaatan hukum.

Dalam konteks politik kenegaraan, penting untuk mengidentifikasi tentang bagaimana nilai-nilai demokrasi dan ketaatan hukum sebagai asas dalam membangun kesadaran bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Nilai-nilai demokrasi yang berdasarkan prinsip-prinsip pancasila merupakan usaha sadar dari para pendiri bangsa untuk melakukan apa yang disebut Putnam “making democracy work”, atau yang disebut Saward  “mengakar” (to take root), dalam konteks ke-Indonesia-an.

Dalam ungkapan Soekarno: demokrasi yang harus kita jalankan adalah demokrasi Indonesia, membawa kepribadian Indonesia sendiri. Jika tidak bisa berpikir demikian itu, kita nanti tidak dapat menyelenggarakan apa yang menjadi amanat penderitaan rakyat itu. (Soekarno, 1958; Rahardjo dan Gusmian, 2002: 208).

Telah lama kita berpancasila, fenomena hilang spirit gotong royong terlihat begitu jelas. Dulu, hampir semua warga di negeri ini membangun rumah yang terbuat bahan kayu dan jika mereka ingin berpindah rumah, hampir semua warga di tempat tersebut ikut membantu untuk mengangkat rumahnya.

Namun hari ini, fenomena itu hampir tak lagi kita temukan. Sebab rumah warga hari ini telah disulap menjadi rumah yang terbuat dari bahan batu dan benda-benda keras lainnya.

Artinya, tantangan kita sebagai warga negara dalam menghadapi zaman terkini adalah menghadirkan kembali spirit budaya yang hampir punah yaitu gotong royong. Begitu pula dalam proses pembangunan tata kelola hukum, politik, sosial dan budaya akan maksimal jika dibarengi spirit gotong royong dalam satu tujuan memajukan bangsa dan negaranya.

Derita rakyat adalah derita kita semua. Hari ini, Pancasila tak boleh dibiarkan berjalan tanpa arah dan tujuan. Kita sebagai generasi bangsa, para penikmat kemerdekaan harus melanjutkan cita-cita para pendiri bangsa ini. Karena, gotong royong adalah sikap untuk menggapai negara yang paripurna.

Fathullah Syahrul
Penulis Mahasiswa Jurusan Ilmu Politik di Universitas Padjadjaran, Bandung

Populer

Masih Sibuk di Jogja, Pimpinan KPK Belum Tahu OTT di Lampung Tengah

Selasa, 09 Desember 2025 | 14:21

Pura Jadi Latar Film Porno, Hey Bali: Respons Aparat Dingin

Selasa, 09 Desember 2025 | 21:58

Mahfud MD soal Bencana Sumatera: Menyuruh Pejabat Mundur Tidak Relevan

Rabu, 10 Desember 2025 | 05:53

Uang yang Diamankan dari Rumah Pribadi SF Hariyanto Diduga Hasil Pemerasan

Rabu, 17 Desember 2025 | 08:37

OTT KPK juga Tangkap Haji Kunang Ayah Bupati Bekasi

Jumat, 19 Desember 2025 | 03:10

OTT Beruntun! Giliran Jaksa di Bekasi Ditangkap KPK

Kamis, 18 Desember 2025 | 20:29

Ini Susunan Lengkap Direksi dan Komisaris bank bjb

Selasa, 09 Desember 2025 | 17:12

UPDATE

Tiga Jaksa di Banten Diberhentikan Usai jadi Tersangka Dugaan Pemerasan

Sabtu, 20 Desember 2025 | 05:59

Bakamla Kukuhkan Pengawak HSC 32-05 Tingkatkan Keamanan Maritim

Sabtu, 20 Desember 2025 | 05:45

Ketum HAPPI: Tata Kelola Sempadan Harus Pantai Kuat dan Berkeadilan

Sabtu, 20 Desember 2025 | 05:05

11 Pejabat Baru Pemprov DKI Dituntut Bekerja Cepat

Sabtu, 20 Desember 2025 | 04:51

Koperasi dan Sistem Ekonomi Alternatif

Sabtu, 20 Desember 2025 | 04:24

KN Pulau Dana-323 Bawa 92,2 Ton Bantuan ke Sumatera

Sabtu, 20 Desember 2025 | 03:50

Mutu Pangan SPPG Wongkaditi Barat Jawab Keraguan Publik

Sabtu, 20 Desember 2025 | 03:25

Korban Bencana yang Ogah Tinggal di Huntara Bakal Dikasih Duit Segini

Sabtu, 20 Desember 2025 | 02:59

Relawan Pertamina Jemput Bola

Sabtu, 20 Desember 2025 | 02:42

Pramono dan Bang Doel Doakan Persija Kembali Juara

Sabtu, 20 Desember 2025 | 02:25

Selengkapnya