NAMA aslinya adalah Sayyid Jamaluddin bin Sayyid Shafdar Al-Huasaini, dilahirkan pada 1839 M/1254 H, di Asdabad.
Ternyata ada dua tempat yang memiliki nama yang sama, sebagian sejarawan menyebut Asdabad yang dimaksud adalah desa yang berlokasi di dekat Hamedan, Iran. Sementara yang lainnya menyebut Asdabad yang berada di Distrik Konar, dekat ibukota Kabul, Afghanistan.
Karena itu, di Iran namanya lebih sering dipanggil sebagai Jamaluddin Asdabadi, sehingga terasosiasi dengan Iran. Sementara ia sendiri lebih suka menyebut Al-Afghani di belakang namanya, sehingga terasosiasi dengan Afghanistan.
Sikap Al Afghani seperti tidak bisa dilepaskan dari semangatnya untuk mempersatukan Suni dengan Syi'ah, dan pada kenyataannya wilayah-wilayah yang dikunjunginya untuk mensosialisasikan gagasan pembaharuannya mayoritas bermazhab Suni.
Sejak kecil Al-Afghani sudah sangat haus ilmu. Ia belajar theologi di Teheran (Iran), kemudian melanjutkan studinya ke Najad (Irak). Pada usia antara 17-18 tahun, sekitar tahun 1855-1856, ia belajar ke India yang saat itu dalam cengkraman penjajah Inggris.
Di India selain mendalami ilmu-ilmu ke-Islaman seperti fiqih dan Bahasa Arab, ia juga mendalami ilmu-ilmu modern seperti matematika, filsafat, dan sejarah. Selain sekolah, selama di India ia juga terlibat aktifitas politik menentang penjajah Inggris.
Ia ikut pada berbagai kegiatan terkait dengan upaya memobilisasi kekuatan politik umat Islam. Al Afghani juga menawarkan gagasan persatuan antara umat Islam dan umat Hindu untuk melawan penjajah Inggris. Muaranya pada saat pergolakan melanda seluruh India, Al-Afghani ikut bergabung dalam perang kemerdekaan India melawan penjajah pada tahun 1857.
Dari India, Al Afghani menunaikan haji ke Makkah, kemudian kembali ke Afghanistan dan tinggal berpindah-pindah dari kota Qandahar, Ghazni, lalu Kabul. Di ibukota Afghanistan ini, ia disambut oleh penguasa setempat, Emir Dost Muhammad Khan, yang kemudian memberikan kepercayaan untuk menduduki posisi penting dalam pemerintahannya. Ketika Muhammad Azam Khan menjadi Emir Afghanistan, Al-Afghani dipercaya sebagai menteri.
Azam Khan kemudian digulingkan oleh adiknya sendiri Sir Ali Khan yang dibantu kolonial Inggris. Afghani kemudian memutuskan meninggalkan Afghanistan pada 1869, dan ia memilih kembali ke India.
Selama di India, ia mendapatkan pengawasan ketat pemerintah kolonial Inggris. Ia kemudian memutuskan meninggalkan India menuju Kairo, Mesir, pada 1871.
Pemerintah kolonial Inggris mengalami dilema menghadapi Al Afghani. Di satu sisi Afghani disukai, karena ia sangat bersemangat mensosialisasikan ilmu-ilmu modern Barat di dunia Islam. Akan tetapi di sisi lain, apa yang dilakukannya dikhawatirkan akan mengganggu keberlangsungan kolonialisme Inggris, khususnya di dunia Islam.
Selama di Kairo, ia melanjutkan aktifitas politiknya dengan menggalang kelompok muda terpelajar. Disinilah dirinya bertemu dengan Muhammad Abduh, seorang cendekiawan muda cerdas dan berbakat yang kemudian menjadi murid sekaligus pendukung setianya.
Disini pula ia menemukan gagasan politiknya yang bila disederhanakan dapat dikristalkan menjadi dua: Pertama, nasionalisme yang dimaknai sebagai semangat untuk mangusir penjajah dari negara-negara muslim. Kedua, pan-islamisme, yaitu semangat untuk mempersatukan dunia Islam.
Ia kemudian berpindah-pindah dari satu negara ke negara lain untuk mensosialisasikan gagasannya untuk mendapatkan dukungan politik dari dunia Islam. Ia mengunjungi Asia Tengah, wilayah Kaukasus, Tbilisi, Istanbul, London, Moscow, St.Petersburg, Munich, kemudian menetap di Paris.
Di Paris pada 1884, ia dibantu Muhammad Abduh menerbitkan surat kabar berbahasa Arab dengan nama
al-Urwah al-Wuthqa sebagai sarana untuk mensosialisasikan dan mengkampanyekan gagasan-gagasannya.
Lewat media inilah ia mengungkapkan pandangannya tentang Eropa dan dunia Islam dalam kalimat yang sangat terkenal, dengan ungkapan bahwa di dunia Islam, nilai-nilai Islam hanya dibicarakan, sementara di Barat nilai-nilai Islam dipraktikan.
Kalimat lain yang sering dikutip oleh para mubalig sampai sekarang adalah "Barat maju karena meninggalkan agamanya, sementara umat Islam tertinggal karena meninggalkan agamanya".
Maksudnya adalah Islam yang rasional ditinggalkan oleh umat Islam, sementara budaya mitos, khurafat, dan klenik baik karena pengaruh keyakinan lokal maupun pengaruh ajaran agama lain sebelum Islam.
Di Dunia Arab gagasan Al Afghani diteruskan oleh Hasan Albana di Mesir, dengan mengubah Ikhwanul Muslimin (IM) dari organisasi dakwah yang bergerak di bidang sosial menjadi partai politik. Sampai kini IM terus tumbuh walau menghadapi tantangan yang tidak ringan dari sejumlah penguasa setempat yang berkolaborasi dengan negara-negara kolonialis yang terus mencengkram dunia Islam.
Gagasan politik Al Afghani bergaung ke hampir seluruh dunia Islam termasuk Indonesia. Tjokroaminoto mengubah Sarikat Dagang Islam (SDI) yang dibentuk Haji Samanhudi menjadi Sarikat Islam (SI) saat ia menjadi ketuanya, merupakan bentuk nyata pengaruh Afghani di Indonesia.
Pengaruh gagasan Al Afghani terhadap Tjokroaminoto ini dapat dibaca pada buku berjudul:
Tokoh-tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20, karangan: Herry Muhammad, 2006 (hal 31-32).
Semangat menggunakan spirit Islam untuk melawan penjajah kemudian diteruskan oleh Nahdatul Ulama (NU) dan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Bagaimana perkembangannya kini, tentu setiap kita berhak untuk menilainya.
Penulis adalah pengamat politik Islam dan demokrasi.