KATA "mazhab" berasal dari Bahasa Arab yang makna harfiahnya adalah jalan yang dilewati untuk mencapai tujuan, baik yang berbentuk fisik maupun abstrak. Kata lain yang memiliki makna serupa adalah "manhaj", yang sering diterjemahkan kedalam Bahasa Indonesia menjadi metode atau cara.
Kata "mazhab" dalam Islam sering digunakan untuk mengungkapkan
bentuk pemikiran terkait akidah maupun tata cara beribadah, setelah melalui proses pengkajian mendalam, yang kemudian menjadikannya sebagai pedoman, bahkan tidak jarang kemudian dibakukan oleh sekelompok penganutnya. Karena terkait dengan masalah-masalah agama yang bersifat sakral, dalam perjalanannya istilah ini mengalami sakralisasi.
Sementara istilah "manhaj" berkonotasi lebih profan. Karena lebih sering digunakan untuk organisasi baik organisasi profesional, politik, maupun sosial kemasyarakatan pada umumnya.
Di dalam panganut Islam Sunni, kata "mazhab" dikaitkan dengan pedoman dalam melaksanakan perintah agama yang merujuk pada hasil ijtihad 4 ulama besar: Imam Syafii, Hanafi, Maliki, dan Hambali.
Komunitas NU pada umumnya memantapkan diri secara ketat, baik dalam pemikiran maupun tata cara beribadahnya sebagai pengikut Imam Syafii. Di komunitas Muslim Asia Tenggara, komunitas ini dikenal dengan sebutan Syafiiyah atau pengikut Syafii.
Sementara di komunitas Muhammadiyah, membuat batasan yang lebih longgar dengan berpedoman pada keempatnya. Akan tetapi komunitas ini lebih suka disebut tidak bermazhab. Karena itu, slogannya yang terkenal adalah kembali kepada Al Quran dan Al Hadits.
Di komunitas Islam Syiah serupa dengan Sunni, juga memiliki banyak mazhab. Yang paling dekat dengan faham yang dianut oleh komunitas Sunni adalah pengikut Imam Jafar, yang lazim disebut Jafariyah. Bahkan sebagian komunitas Sunni memasukkannya sebagai mazhab kelima dalam Islam.
Untuk mengenali secara umum dari lima mazhab ini, maka akan diuraikan secara singkat sebagai berikut: Pertama, Madzhab Hanafi. Mazhab ini lahir di Kuffah (bagian dari Irak saat ini). Dinamakan Hanafi, karena pendirinya bernama Imam Abu Hanifah An-Nu’man bin Tsabit. Beliau lahir pada tahun 80 H di Kufah dan wafat pada tahun 150 H. Madzhab ini dikenal sebagai madzhab Ahli Qiyas (mengutamakan akal).
Imam Hanafi sempat menjadi hakim, sehingga mazhabnya dijadikan mazhab negara, pada saat Harun Al-Rasyid menjadi Khalifah Bani Abbasiyah.
Kedua, Madzhab Maliki. Pendirinya adalah Al-Imam Malik bin Anas Al-Ashbahy. Ia dilahirkan di Madinah pada 93 H dan wafat pada 179 H. Sebagai ahli hadits di Madinah, kota di mana Rasulullah SAW hidup, karenanya madzhab ini dikenal dengan madzhab Ahli Hadits.
Bahkan beliau mengutamakan perbuatan ahli Madinah daripada Khabaril Wahid (Hadits yang diriwayatkan oleh perorangan). Karena bagi beliau mustahil warga Madinah akan berbuat sesuatu yang bertentangan dengan perbuatan Rasul.
Imam Malik lebih banyak menitikberatkan kepada hadits, karena menurut beliau perbuatan warga Madinah termasuk bagian dari hadits mutawatir. Madzhab ini lahir di Madinah, kemudian berkembang ke negara lain khususnya Maroko.
Ketiga, Madzhab Syafii. Tokoh utamanya adalah Al-Imam Muhammad bin Idris As-Syafii Al-Quraisyi. Imam Syafii dilahirkan di Ghuzzah, pada 150 H, dan wafat di Mesir pada tahun 204 H.
Beliau belajar kepada Imam Malik yang dikenal dengan madzhabul hadits, kemudian beliau pergi ke Irak dan belajar dari ulama Irak yang dikenal sebagai madzhabul qiyas. Imam Syafii berikhtiar menyatukan madzhab, dengan harapan akan mampu memadukannya, yakni antara madzhab hadits dan madzhab qiyas. Madzhab ini lahir di Mesir kemudian berkembang ke negeri-negeri lain.
Keempat, Madzhab Hanbali. Dinamakan Hanbali, karena pendirinya Al-Imam Ahmad bin Hanbal As-Syaebani, lahir di Baghdad pada 164 H, dan wafat pada 248 H. Beliau adalah murid Imam Syafii yang paling istimewa dan tidak pernah pisah sampai Imam Syafii pergi ke Mesir.
Menurut beliau, hadits dlaif dapat dipergunakan untuk perbuatan-perbuatan yang afdal (fadlailul amal). Beliau tidak mengakui adanya Ijma’ setelah sahabat, karena ulama sangat banyak dan tersebar luas.
Kelima, Mazhab Jafariyah atau Mazhab Dua Belas Imam (Itsna Asyariah), merupakan mazhab dengan penganut yang terbesar dalam kelompok Syiah. Mazhab ini merupakan pengikut Imam ke-6, yaitu Jafar Ash Shadiq bin Muhammad bin Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib. Mazhab ini menjadi mazhab resmi Negara Iran sejak Revolusi Islam tahun 1979, yang dipimpin oleh Ayatollah Khomaini.
Kalau dicermati secara seksama, maka ijtihad para imam yang kemudian melahirkan mazhab dalam beragama, tidak bisa dilepaskan dari kombinasi keilmuwan dan kesalihan personal. Bahkan dalam situasi tertentu, situasi sosial dan politik yang melingkupinya ikut berpengaruh.
Sejalan dengan perkembangan zaman, maka dalam perjalanannya ijtihad tidak lagi hanya dilakukan oleh orang-perorang, akan tetapi dilakukan secara berjamaah, seperti yang terjadi pada NU, Muhammadiyah, maupun A Azhar di Mesir.
Proses sakralisasi mazhab sering juga terjadi akibat kepentingan sosial dan politik di suatu komunitas. Suasana politik nasional Mesir, sebenarnya secara sistemik mendorong Manhaj Azhari berubah menjadi Mazhab Azhari.
Apakah di Indonesia NU dan Muhammadiyah, juga akan mengalami sakralisasi, sehingga pada suatu saat nanti akan berubah dari "manhaj" menjadi "mazhab"? Wallahualam.
Dr. Muhammad NajibPengamat Politik Islam dan Demokrasi