Berita

Ilustrasi ekspor impor/Net

Publika

Halusinasi Negeri Mandiri

SENIN, 27 APRIL 2020 | 00:06 WIB

PRESIDEN Joko Widodo menerbitkan peraturan guna menata dan menyederhanakan izin impor untuk kebutuhan bahan pangan pokok, cadangan pangan pemerintah, serta bahan baku dan penolong. Ketentuan tersebut termuat dalam Peraturan Presiden Nomor 58 Tahun 2020 yang diteken pada 8 April 2020.

Dalam aturan tersebut, pemerintah menetapkan penataan dan penyederhanaan izin impor barang dan bahan baku untuk pencegahan atau penanganan bencana. Selain itu, penataan dan penyederhanaan izin impor guna pemenuhan kebutuhan lainnya yang ditetapkan pemerintah.

Penataan dan penyederhanaan izin ini dilakukan untuk mempercepat impor. Ini dilakukan demi menjaga ketersediaan barang konsumsi kebutuhan masyarakat yang terjangkau.

"Dan untuk menjaga keberlangsungan proses produksi industri yang memerlukan bahan baku dan/atau bahan penolong," tulis Perpres Nomor 58 Tahun 2020 tersebut. (Katadata.co.id, Kamis, 23 April)

Luar biasa adalah kata yang sangat pas untuk disandingkan dengan pemberitaan penerbitan Perpres di atas.

Baru saja beberapa hari yang lalu, presiden melalui Menteri BUMN memerintahkan untuk tegas kepada mafia impor alat kesehatan dan obat-obatan yang menekan Indonesia. Sekarang kita justru dikejutkan dengan pengesahan regulasi untuk menyederhanakan impor. Entah di mana korelasinya.

Sejatinya negara ini sudah kehilangan harga diri di hadapan dunia. Karena terlalu bergantung kepada impor dan tidak mau berusaha untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri sendiri. Padahal siapa yang tidak pernah mendengar kesohoran Indonesia yang kaya akan sumber daya alam?

Mulai dari isi laut hingga perut bumi. Maka kemudahan impor lebih seperti memudahkan maling masuk ke rumah yang berlimpah harta benda.

Tentu hal ini tidak dapat dibiarkan. Kesemena-menaan regulasi yang dibuat pemerintah akan berimbas pada ketidakmandirian Indonesia sebagai negara berdaulat. Apalagi di tengah pandemik seperti sekarang.

Ketergantungan impor akan menyebabkan negeri ini bangkrut dan hancur dari dalam tanpa musuh bersusah payah melontarkan senjata nuklir jarak jauh. Cukup menghentikan kesepakatan impor, maka negara ini akan kalang kabut mencari pemenuhan kebutuhan rakyat dalam negeri.

Inilah efek pengadopsian konsep kapitalisme. Negara hanya bertindak sebagai mediator semata. Bukan sebagai pelayan dan pengurus urusan rakyatnya.

Upaya menyederhanakan impor malah menyiarkan hubungan gelap penguasa dengan pengusaha. Sebab, hanya kemaslahatan korporat yang nyata terpenuhi bukan masyarakat.

Perbedaan yang mencolok dalam hal pengayoman kebutuhan umat antara kapitalisme dengan Islam ini, menegaskan akan keniscayaan penerapan hukum syariah di tengah-tengah kita. Karena hanya dengan berpegang pada aturan yang berasal dari Al Quran dan Assunnah-lah penduduk negeri ini akan terbebas dari kezaliman demi kezaliman rezim berkuasa.

Rasulullah SAW bersabda, "Imam adalah ibarat penggembala dan hanya dialah yang bertanggung jawab terhadap gembalaannya (rakyatnya)”. (HR. Muslim).

Dengan demikian, seharusnya pemimpin negeri ini wajib bertanggung jawab atas nasib penduduknya. Tentu yang dimaksud tanggung jawab di sini bukan dengan jalan memberi kemudahan impor. Tetapi berusaha mengelola harta kepemilikan umum dan negara dengan maksimal.

Ketika kondisi wabah seperti sekarang yang berpotensi krisis pangan, maka penguasa akan berpikir bagaimana caranya memenuhi kebutuhan pangan tersebut. Mulai dari berupaya mengembangkan teknik pengawetan pangan, sistem sirkulasi, standar bangunan penyimpanan pangan, hingga pengaturan gaya hidup dan konsumsi masyarakat. Hal ini dilakukan sebagai upaya mewujudkan ketahanan pangan negara.

Selain itu, amirul mukminin wajib menutup akses para kapitalis untuk menguasai harta milik umum semisal sumber daya alam. Sehingga negara akan berdaulat penuh secara de jure dan de facto. Hal ini merupakan realisasi dari firman Allah SWT dalam surat An Nisa ayat 141 yang artinya, “… Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman”.

Jeratan impor sama dengan penjajahan gaya baru. Negara tidak mandiri dan terus menerus bergantung pada pasokan negara lain. Maka sebagai kaum muslimin yang memahami kewajiban mengoreksi kebijakan penguasa yang ceroboh.

Sudah saatnya kita bersuara!

Djumriah Lina Johan
Praktisi Pendidikan dan Pemerhati Sosial Ekonomi Islam

Populer

Pendapatan Telkom Rp9 T dari "Telepon Tidur" Patut Dicurigai

Rabu, 24 April 2024 | 02:12

Polemik Jam Buka Toko Kelontong Madura di Bali

Sabtu, 27 April 2024 | 17:17

Pj Gubernur Ingin Sumedang Kembali jadi Paradijs van Java

Selasa, 23 April 2024 | 12:42

Bey Pastikan Kesiapan Pelaksanaan Haji Jawa Barat

Rabu, 01 Mei 2024 | 08:43

Jurus Anies dan Prabowo Mengunci Kelicikan Jokowi

Rabu, 24 April 2024 | 19:46

Kaki Kanan Aktor Senior Dorman Borisman Dikubur di Halaman Rumah

Kamis, 02 Mei 2024 | 13:53

Tim Hukum PDIP Minta Penetapan Prabowo-Gibran Ditunda

Selasa, 23 April 2024 | 19:52

UPDATE

Pengukuhan Petugas Haji

Sabtu, 04 Mei 2024 | 04:04

Chili Siap Jadi Mitra Ekonomi Strategis Indonesia di Amerika Selatan

Sabtu, 04 Mei 2024 | 04:02

Basri Baco: Sekolah Gratis Bisa Jadi Kado Indah Heru Budi

Sabtu, 04 Mei 2024 | 03:42

Pemprov DKI Tak Ingin Polusi Udara Buruk 2023 Terulang

Sabtu, 04 Mei 2024 | 03:24

Catat, Ganjil Genap di Jakarta Ditiadakan 9-10 Mei

Sabtu, 04 Mei 2024 | 03:22

BMKG Prediksi Juni Puncak Musim Kemarau di Jakarta

Sabtu, 04 Mei 2024 | 02:27

Patuhi Telegram Kabareskrim, Rio Reifan Tak akan Direhabilitasi

Sabtu, 04 Mei 2024 | 02:05

Airlangga dan Menteri Ekonomi Jepang Sepakat Jalankan 3 Proyek Prioritas Transisi Energi

Sabtu, 04 Mei 2024 | 02:00

Zaki Tolak Bocorkan soal Koalisi Pilkada Jakarta

Sabtu, 04 Mei 2024 | 01:35

Bertemu Wakil PM Belanda, Airlangga Bicara soal Kerja Sama Giant Sea Wall

Sabtu, 04 Mei 2024 | 01:22

Selengkapnya