PERANG Arab-Israel tahun 1967 sangat terkenal, karena hanya berlangsung 6 hari dengan kemenangan mutlak di pihak Israel. Pada saat itu Israel dikeroyok oleh Mesir, Suriah, Yordania, dan Lebanon secara langsung. Sedangkan Irak, Sudan, Saudi Arabia, dan sejumlah negara Arab lain menjadi pendukung.
Menurut para analis militer, walaupun dengan jumlah personil dan mesin perang yang lebih kecil, akan tetapi berkat persiapan yang lebih matang dan dukungan informasi intelijen yang sangat detail dan akurat, menjadi kunci kemenangan Israel.
Eli adalah salah seorang intel yang direkrut Mossad, memberikan konstribusi sangat besar bagi kemenangan negara Zionist ini atas perang yang ketiga kalinya melawan bangsa Arab.
Nama lengkapnya Eliyahu Ben-Shaul Cohen, lahir dari keluarga Yahudi Suriah yang berimigrasi ke Alexandria, Mesir, pada 6 Desember 1924. Ayahnya meninggalkan kota asalnya Aleppo, Suriah, pada 1914. Eli kuliah di Cairo Farouk University dan sempat mendaftar untuk menjadi tentara Mesir, akan tetapi ditolak karena loyalitasnya diragukan.
Keluarganya termasuk komunitas Yahudi pendukung gerakan Zionis yang ingin mendirikan negara Israel di atas tanah Palestina. Eli muda ikut bergabung dalam gerakkan bawah tanah yang beroperasi di Mesir bernama Hacherut. Aktivitasnya ini membuat dirinya sempat dianiaya oleh kelompok Ikhwanul Muslimin (IM).
Tahun 1948 negara Israel dideklarasikan, diikuti oleh perang Arab-Israel yang pertama. Perang terjadi atas inisiatif negara-negara Arab dengan tujuan menggagalkan berdirinya negara Israel, dimana Mesir menjadi pemain utama dan berada di fron terdepan. Ternyata upaya ini gagal.
Tahun 1949, orang tua dan semua saudara Eli hijrah meninggalkan Alexandria menuju dan menetap di Israel. Sementara Eli melanjutkan studinya di bidang teknik elektro. Pada saat bersamaan terlibat dalam organisasi yang mengkampanyekan dan mengatur pengiriman orang-orang Yahudi ke Israel, sebagai bagian dari agenda Mossad yang dikenal dengan program Goshen.
Sampai pada tahun 1950 tidak kurang dari 10.000 warga Yahudi Mesir berhasil diselundupkan ke Israel. Hal ini menimbulkan kemarahan baik rakyat maupun pemerintah Mesir. Para pelaku utamanya dijerat dengan pasal terkait dengan kriminalitas tingkat tinggi, kemudian dijatuhi hukuman mati dengan cara digantung di depan publik. Eli menyaksikan teman-temannya mati di tiang gantungan.
Tahun 1951, sesudah terjadi kudeta yang dilakukan oleh militer yang menggulingkan Raja Farouk, pemerintahan baru meningkatkan kampanye anti Zionis Israel. Tahun 1955, Israel membalas dengan mengirim tim sabotase yang melakukan sejumlah pemboman dengan sasaran kedutaan negara-negara Barat di Kairo, yang bertujuan agar negara-negara Barat memusuhi Mesir. Pemerintah Mesir kemudian mengusir semua orang Yahudi termasuk Eli.
Atas bantuan Jewish Agency, Eli pergi ke Israel. Tahun 1957, Eli bekerja untuk militer Israel dengan tugas sebagai analis informasi intelijen. Eli ingin mendapatkan tugas yang lebih menantang, kemudian mengajukan diri untuk bergabung ke badan intelijen Israel bernama Mossad. Dirinya ditolak karena tidak memenuhi persyaratan yang ditentukan. Eli kemudian bekerja di sebuah perusahan asuransi di Tel Aviv dan menikah dengan seorang gadis Yahudi imigran asal Irak bernama Nadia Majald.
Saat itu pemerintahan di Tel Aviv risau, karena Suriah dengan bantuan para insinyur Uni Soviet berusaha untuk mengalihkan aliran Sungai Yordan yang mensuplai sekitar 30 persen kebutuhan air rakyat Israel. Air sungai Yordan beserta tiga anak sungainya bersumber dari danau Tiberias yang berada di Timur Laut wilayah Israel di sebelah Barat dataran tinggi Golan milik Suriah. Selain itu, dataran tinggi Golan juga sering digunakan pasukan Suriah untuk menembaki rakyat Israel yang hidup sebagai petani di lembahnya.
Secara militer dataran tinggi Golan merupakan benteng alami bagi Kota Damaskus dan wilayah Suriah secara keseluruhan, dari ancaman Israel yang berada di seberangnya. Dari dataran tinggi ini, sitiap pojok Kota Damaskus nampak dengan jelas.
Karena banyaknya nilai strategis yang dimilikinya, Tel Aviv kemudian berencana merebut Golan. Saat Meir Amit menjadi orang nomor satu di Mossad, badan intelijen Israel ini memiliki program untuk menginfiltrasi Suriah. Eli dinilainya cocok untuk tugas ini. Eli memiliki kemampuan berbahasa Arab dengan dialek Suriah, disamping fasih berbahasa Inggris, Perancis, dan Spanyol. Dedikasi dan loyalitasnya kepada agenda Zionist Israel tentu juga sangat mendukungnya.
Eli kemudian mengikuti program pelatihan selama enam bulan untuk menguasai berbagai kemampuan sebagai seorang intel: seperti penggunaan alat-alat penyadap, berbagai senjata rahasia, membaca dan mengingat info-info penting tanpa mencatat, sampai pada pengiriman laporan dengan menggunakan sinyal. Ia juga dilatih mempraktikan berbagai bentuk ibadah ummat Islam.
Setelah selesai mengikuti pendidikan, tahun 1961 Eli Cohen diberi paspor Argentina dengan nama Arab: Kamel Amin Thaabit. Ia kemudian diterbangkan ke Argentina dan tinggal di komunitas Arab Suriah di Buenos Aires sebagai seorang pengusaha texstil.
Dipilihnya Argentina tentu tidak bisa dilepaskan dari pertimbangan geografis yang sangat jauh dari wilayah Israel, Suriah, Mesir, dan negara-negara Arab lain, sehingga terhindar dari kemungkinan orang mengenalinya. Argentina juga jauh dari isu politik tarkait Arab- Israel, sehingga luput dari berbagai radar politik maupun militer negara-negara Arab yang menjadi musuhnya.
Disamping akrab dengan masyarakat Suriah di sana, Thaabit demikian biasanya dia dipanggil juga membangun hubungan baik dengan dubes dan para staff Kedutaan Suriah. Tahun 1962, Thaabit meninggalkan Buenos Aires menuju Munchen, lalu terbang lagi ke Genoa. Dari Genoa ia menuju Bairut dengan menggunakan kapal laut kelas bisnis. Di kapal ia bertemu seorang pengusaha terkemuka Suriah bernama Sheikh Magd Al Ard. Dari Bairut sang Sheikh mengantar Thaabit mencarikan apartemen di kompleks elite bernama Abu Rummanah, yang lokasinya berseberangan dengan kantor Departemen Pertahanan di kota Damaskus.
Dari balik jendela apartemennya, dan dengan dibantu dengan kamera khusus, Thaabit bisa memantau berbagai aktivitas di markas militer paling penting di Suriah. Ia bahkan bisa mengetahui para pejabat militer maupun sipil yang datang dan meninggalkan gedung ini.
Dengan berbekal sejumlah nama penting yang direkomendasikan Kedutaan Suriah di Buenos Aires, Thaabit mulai membangun lobi dengan sejumlah perwira di jajaran departemen Pertahanan. Ia juga memperluas pergaulannya dengan para petinggi Partai Baath.
Tahun 1963, terjadi kudeta tak berdarah yang didalangi oleh militer yang bekerjasama dengan Partai Baath. Amin Al Hafez mantan Atase Pertahanan Suriah di Argentina yang menjadi sahabat Thaabit diangkat menjadi Peesiden Suriah, membuat aksesnya ke Departemen Pertahanan semakin besar. Sampai dirinya dipercaya menjadi penasehat Menhan. Ia bahkan sempat dipromosikan menjadi Wakil Menteri Pertahanan Suriah. Sayang kedoknya keburu terbongkar.
Berawal dari keluhan Kedutaan India yang berada di dekat apartemen Thaabit, karena seringkali kesulitan mengirim sinyal radio ke New Delhi. Pihak Suriah lalu menyelidiki dan gagal menemukan penyebabnya. Militer Suriah yang sering mendapat laporan intelijen, bahwa banyak info pentingnya yang bersifat rahasia diketahui Israel, lalu memesan alat tracking sinyal yang lebih canggih ke Uni Soviet.
Dengan peralatan barunya, militer mulai memonitor ke segenap pojok kota dengan menggunakan mobil khusus yang dilengkapi pemancar. Ternyata ada sinyal sangat kuat di dekat kantor Departemen Pertahanan. Temuan ini kemudian memandu militer untuk melakukan operasi khusus di sekitar lokasi sinyal, dengan cara mematikan gardu listrik yang mensuplai aliran listrik di kompleks sekitar Dephan.
Ternyata ditemukan satu sinyal asing yang tidak terdaftar yang berasal dari apartemen Thaabit. Karena listrik mati, Thaabit kemudian menggunakan baterai untuk membuat laporan rutinnya yang dikirim melalui pemancar radio. Tentara Lalu menggrebek apartemen Thaabit.
Saat Thaabit tertangkap basah, ditemukan sejumlah alat bukti seperti alat pengiriman laporan melalui radio pemancar, juga sarana untuk mengirim info dalam bentuk micro film, bahan peledak berbahan plastik, kamera khusus, dan berbagai bentuk peralatan intelijen lainnya.
Thaabit kemudian dijebloskan ke penjara. Saat diinterogasi dirinya sama sekali tidak mau buka mulut, sehingga info apa saja yang dikirimnya selama dirinya di Damaskus tetap tidak terungkap. Thaabit lalu dijatuhi hukuman mati dengan cara digantung.
Tel Aviv sempat meminta bantuan Amerika, Vatikan, dan sejumlah negara Eropa untuk menyelamatkan nyawanya. Akan tetapi semua itu gagal untuk melunakkan pemerintah di Damaskus.
Tahun 1967 pecah perang Arab-Israel, hanya dalam waktu 2 hari Suriah dihancur-leburkan, dan dataran tinggi Golan pindah ke tangan Israel. Belakangan baru diketahui laporan intelijen yang dikirim Thaabit sangat menentukan kemenangan Israel.
Diantara info penting yang diterima Mossad dari Thaabit antara lain: Berbagai rencana militer Suriah untuk melumpuhkan Israel. Berbagai peralatan militer yang dibeli dari Uni Soviet. Hubungan Suriah dengan pejuang Palestina PLO dan berbagai operasi PLO yang menyasar Israel.
Yang sangat terkait dengan perang 1967 adalah peta kekuatan militer Suriah di Golan, lengkap dengan jumlah dan posisi bunker, serta jenis peralatan militer yang melengkapinya. Lebih dari itu, Thaabit sempat memberi saran agar setiap bunker ditanami pohon minyak kayu putih, dengan alasan untuk melindunginya dari terik matahari di musim panas, sekaligus untuk kamuflase dari pantauan udara. Karena itu, Angkatan Udara Israel saat menggempur berbagai sasaran di Golan seakan dipandu oleh pohon-pohon ini, sehingga sangat akurat saat membidik sasaran.
Thaabit disamping dikenal sebagai pengusaha sukses, ia juga dikenal royal dan suka menjamu teman-temannya di tempat tinggalnya. Diantara teman akrabnya adalah Jenderal Abdul Karem Zaher Eldin, yang menjabat Kepala Staff Angkatan Bersenjata; George Seif yang menjadi pemimpin siaran radio propaganda; Kolonel Salim Hatoum sebagai kepala pasukan terjun payung; dan Letnan Maazi Zaher Eldin, keponakan kepala staf angkatan bersenjata. Nama terakhir inilah yang mengantar Thaabit beberapa kali mengunjungi fasilitas militer Suriah di Golan yang terlarang bagi siapapun, kecuali yang bertugas.
Selama beroperasi di Damaskus, Thaabit sempat beberapa kali pulang ke Israel melalui rute German-Swiss-Tel Aviv. Disamping dengan tujuan menjenguk keluarga, ia juga harus melapor dan berdiskusi dengan bosnya di Mossad. Thaabit disamping meninggalkan seorang istri, ia juga meninggalkan tiga orang anak.
Israel pasti punya Eli-Eli lain yang ditempatkan di Kairo, Amman, Beirut, serta negara-negara Arab lain yang luput dari pandangan publik, karena berhasil menjalankan tugasnya dengan baik. Eli Cohen sekiranya tidak tertangkap, maka ia tidak akan dikenal publik dan tentu juga tidak akan mendapatkan penghargaan sebagai pahlawan. Wallahua'lam.
Penulis adalah Pengamat Politik Islam dan Demokrasi