Berita

Hifdzil Alim/Net

Publika

Multitafsir PP PSBB Covid-19

JUMAT, 03 APRIL 2020 | 15:56 WIB

PEMERINTAH telah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2020 untuk menerapkan tindakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) sebagai dampak penyebaran Covid-19. Peraturan Pemerintah tersebut sejatinya bertujuan untuk mencegah penyebaran eksponesial virus korona.

Hanya, perlu diperhatikan, terdapat inkonsistensi norma dalam Peraturan Pemerintah itu. Sekali lagi, ini bukan sedang mempersoalkan langkah pemerintah dalam pencegahan penyebaran Covid-19, melainkan untuk memastikan bahwa perintah dalam peraturan tersebut tidak menimbulkan multitafsir�"atau bahkan salah tafsir�"sehingga memperlambat kebijakan pencegahan penyebaran virus korona.

Bertolak-belakang

Jika dibaca lebih teliti, muncul norma yang bertolak-belakang dalam PP 21 Tahun 2020. Pasal 2 ayat (1) menyatakan, “Dengan persetujuan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan, Pemerintah Daerah dapat melakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar atau pembatasan terhadap pergerakan orang dan barang untuk satu provinsi atau kabupaten/kota tertentu.”

Tafsir atas Pasal 2 ayat (1) tersebut adalah bersifat opsional. Pemda dapat mengajukan atau tidak mengajukan tindakan kekarantinaan kesehatan berupa pembatasan sosial berskala besar (PSBB) untuk merespon penyebaran Covid-19.

Hal ini juga berarti, inisiatif pemberlakuan tindakan PSBB bersifat botton-up atau berasal dari Pemda ke pemerintah pusat�"c.q. Menteri Kesehatan (Menkes). Sepanjang Menkes menyetujui usulan tindakan PSBB yang diajukan Pemda, maka Pemda dapat menerapkan tindakan PSBB. Bagaimana jika Menkes tidak menyetujui?

Selanjutnya, dalam Pasal 5 ayat (1) disebutkan, “Dalam hal Pembatasan Sosial Berskala Besar telah ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan, Pemerintah Daerah wajib melaksanakan dan memperhatikan ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.”

Tafsir atas pasal ini adalah bersifat mandatory. Apabila pemerintah pusat telah tetapkan tindakan PSBB, semua Pemda wajib turut-serta menerapkan tindakan PSBB. Penetapan tindakan PSBB bersifat top-down, dari pusat ke daerah.
Bertolak-belakangnya Pasal 2 ayat (1) dengan Pasal 5 ayat (1) itu terjadi, misalnya, dalam simulasi seperti ini: Pemda A�"dengan berbagai pertimbangan�"merasa tidak perlu menerapkan tindakan PSBB berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1).

Tetapi kemudian, pusat membuat kebijakan tindakan PSBB menyeluruh di mana Pemda A, berdasarkan Pasal 5 ayat (1), wajib dan harus mematuhi perintah pusat tersebut. Padahal, Pemda A sudah mengantisipasi penyebaran Covid-19 tanpa harus menerapkan tindakan PSBB�"dan berhasil.

Apakah Pemda A harus mengikuti perintah pusat (sesuai dengan perintah Pasal 5 ayat (1) PP 21 Tahun 2020) atau tetap berpegang teguh pada pengetahuan kedaerahan dan wilayahnya untuk tidak mengikuti perintah pusat atas penetapan tindakan PSBB (mengacu pada Pasal 2 ayat (1) PP 21 Tahun 2020)?

Peraturan Lainnya

Untuk mengatasi potensi bertolak-belakangnya pelaksanaan norma dalam PP 21 Tahun 2020, harus dibaca peraturan yang menjadi dasar pembentukan peraturan pemerintah itu. Salah satu dasar hukum yang menjadi basis legal pembentukan PP 21 Tahun 2020 adalah UU 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.

Dalam Pasal 59 ayat (1) UU 6 Tahun 2018 diatur, “Pembatasan Sosial Berskala Besar merupakan bagian dari respons Kedaruratan Kesehatan Masyarakat.” Status kedaruratan kesehatan masyarakat (KKM) Covid-19 telah ditetapkan oleh Presiden melalui Keputusan Nomor 11 Tahun 2020 pada tanggal 31 Maret 2020. Artinya, kebijakan tindakan PSBB ditetapkan setelah ditetapkannya status KKM.

Hanya saja, kebijakan tindakan PSBB yang diatur dalam Pasal 59 ayat (1) tidak disebutkan apakah bersifat mandatory (wajib) atau alternatif-opsional. Pasal tersebut hanya menyatakan bahwa tindakan PSBB merupakan respon dari status KKM.

Jika menggunakan penasfiran sistematis dan saling keterkaitan antara norma hukum, semestinya aturan tentang tindakan PSBB (undang-undang, peraturan pemerintah, serta keputusan presiden) harus dibaca sebagai berikut: pertama, tindakan PSBB wajib diterapkan setelah ditetapkannya status KKM.

Kedua, Menteri Kesehatan segera menetapkan kebijakan tindakan PSBB. Ketiga, Pemda wajib mematuhi kebijakan tindakan PSBB yang bersifat mandatory. Tidak ada lagi sifat opsional.

Perihal multi-tafsirnya norma dalam PP 21 Tahun 2020 jangan sampai menjadi bola politik yang menggelinding menghantam kebijakan pemerintah dalam upaya mencegah penyebaran Covid-19.

Bau-bau politik ini sudah tercium, misalnya, pernyataan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan yang akan mengirimkan surat ke Menkes untuk penetapan tindakan PSBB bagi DKI Jakarta (02/04/2020). Tampak ada nuansa disharmonisasi antara pemerintah pusat dan Pemda.

Padahal, jika mengacu ke Pasal 2 ayat (1) PP 21 Tahun 2020, Gubernur Anies mengajukan surat penetapan tindakan PSBB khusus untuk DKI Jakarta saja. Surat usulan itu dijawab oleh Menkes yang berisi persetujuan atau penolakan.

Case closed. Perlu dijaga betul, jangan sampai urusan penanganan Covid-19 menjadi berantakan hanya gara-gara multi-tafsir norma hukumnya. Seperti halnya pepatah Jawa mengatakan, “mburu uceng kelangan dheleg”, berkelit-kelindan di hal kecil (politik), tetapi kehilangan hal besar (pencegahan Covid-19).
Hifdzil Alim
Penulis adalah Direktur HICON Law & Policy Strategies

Populer

Pendapatan Telkom Rp9 T dari "Telepon Tidur" Patut Dicurigai

Rabu, 24 April 2024 | 02:12

Polemik Jam Buka Toko Kelontong Madura di Bali

Sabtu, 27 April 2024 | 17:17

Pj Gubernur Ingin Sumedang Kembali jadi Paradijs van Java

Selasa, 23 April 2024 | 12:42

Jurus Anies dan Prabowo Mengunci Kelicikan Jokowi

Rabu, 24 April 2024 | 19:46

Tim Hukum PDIP Minta Penetapan Prabowo-Gibran Ditunda

Selasa, 23 April 2024 | 19:52

Pj Gubernur Jabar Minta Pemkab Garut Perbaiki Rumah Rusak Terdampak Gempa

Senin, 29 April 2024 | 01:56

Bocah Open BO Jadi Eksperimen

Sabtu, 27 April 2024 | 14:54

UPDATE

Bentuk Unit Khusus Pidana Ketenagakerjaan, Lemkapi sebut Kapolri Visioner

Kamis, 02 Mei 2024 | 22:05

KPK Sita Bakal Pabrik Sawit Diduga Milik Bupati Labuhanbatu

Kamis, 02 Mei 2024 | 21:24

Rakor POM TNI-Polri

Kamis, 02 Mei 2024 | 20:57

Semarak Hari Kartini, Srikandi BUMN Gelar Edukasi Investasi Properti

Kamis, 02 Mei 2024 | 20:50

KPK Sita Kantor Nasdem Imbas Kasus Bupati Labuhanbatu

Kamis, 02 Mei 2024 | 20:46

Sesuai UU Otsus, OAP adalah Pribumi Pemilik Pulau Papua

Kamis, 02 Mei 2024 | 20:33

Danone Indonesia Raih 3 Penghargaan pada Global CSR dan ESG Summit 2024

Kamis, 02 Mei 2024 | 20:21

Pabrik Narkoba di Bogor Terungkap, Polisi Tetapkan 5 Tersangka

Kamis, 02 Mei 2024 | 20:15

Ahmed Zaki Harap Bisa Bermitra dengan PKB di Pilgub Jakarta

Kamis, 02 Mei 2024 | 19:50

PP Pemuda Muhammadiyah Gelar Tasyakuran Milad Songsong Indonesia Emas

Kamis, 02 Mei 2024 | 19:36

Selengkapnya