PADA 29 Maret 2020 media memberitakan, bahwa dalam menghadapi pandemik yang disebabkan oleh virus corona (Covid-19), Presiden akan menggunakan Perppu Tentang Darurat Sipil. Ini merujuk kepada Perppu No 23 tahun 1959.
Sementara sebagian masyarakat mengusulkan, agar dalam menangani pandemik virus corona, pemerintah menjalankan Undang-Undang Republik Indonesia Tentang Kekarantinaan Kesehatan (Lembaran Negara RI Tahun 2018 No 128), yang ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo pada 7 Agustus 2018.
Kelihatannya Presiden mendapat masukan dari para pembantu dan penasihatnya. Namun apakah presiden juga diberitahu mengenai latar belakang sejarah diterbitkannya Perppu No 23 tahun 1959?
Nama Perppu tersebut juga bukan Perppu Tentang Darurat Sipil. Judul lengkapnya adalah PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG TENTANG PENCABUTAN UU NO 74 TAHUN 1957 (LEMBARAN NEGARA NO 160) DAN MENETAPKAN KEADAAN BAHAYA. Tentang Darurat Sipil adalah bagian dari Perppu ini
Pada UUD 45 Asli dilampirkan penjelasan yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari UUD 45. Penjelasan ini dihapus di UUD RI yang disahkan tahun 2002.
Dalam Penjelasan UUD 45 Asli disebut antara lain:
“Undang-undang Dasar Negara manapun tidak dapat dimengerti, kalau hanya dibaca teksnya saja. Untuk mengerti sungguh-sungguh maksudnya Undang-undang Dasar dari suatu Negara, kita harus mempelajari juga bagaimana terjadinya teks itu, harus diketahui, keterangan-keterangannya dan juga harus diketahui dalam suasana apa teks itu dibikin. Dengan demikian kita dapat mengerti apa maksudnya Undang-undang yang kita pelajari aliran pikiran apa yang menjadi dasar Undang-undang itu.â€
Hal ini juga berlaku untuk semua UU dan produk hukum, yaitu harus mengetahui latar belakang sejarah diterbitkannya Undang-undang, Peraturan, Perppu, dll. Harus diketahui, dalam kaitan apa UU atau Perppu tersebut diterbitkan.
Di sini pentingnya pengetahuan sejarah para pembantu dan penasihat presiden, untuk mengetahui latar belakang sejarah diterbitkannya suatu Undang-Undang atau Perppu, agar tidak sembarangan menggunakan produk Undang-Undang dari masa lalu, seperti Perppu No 23 Tahun 1959. Tanpa mengetahui sejarah dan rangkaian peristiwa-peristiwa yang mendasari diterbitkannya Perppu tersebut.
Hal pertama yang perlu diketahui adalah, Perppu No 23 Tahun 1959 diterbitkan tanggal 16 Desember 1959, setelah Indonesia kembali ke UUD 45 melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Perppu ini diterbitkan untuk menggantikan UU No 74 Tahun 1957.
Undang-Undang No 74 Tahun 1957 itu sendiri diterbitkan untuk mencabut
REGELING OP DE STAAT VAN OORLOG EN VAN BELEG (STAATSBLAD 1939 NO. 582) dan UNDANG-UNDANG NO 6 TAHUN 1946 TENTANG KEADAAN BAHAYA.
Regeling op de staat van oorlog en van beleg (Peraturan Negara dalam keadaan perang dan pengepungan), dikenal sebagai SOB, adalah UU No 32 Tahun 1939 warisan dari pemerintah Nederlands Indie (Hindia-Belanda). Undang-Undang ini diberlakukan di Indonesia oleh Pemerintah RIS (Republik Indonesia Serikat) tahun 1950. Untuk itu, perlu diketahui latar belakang diterbitkannya UU No 32 tahun 1939 oleh pemerintah Hindia-Belanda.
Situasi Tahun 1939 Di Nederlands Indie (Hindia-Belanda)
Perang Dunia II di Eropa pecah pada 1 September 1939, yang diawali dengan penyerbuan tentara Jerman ke Polandia. Di Asia Timur dan Asia Tenggara, negara-negara Eropa yang merupakan penjajah, bersiap-siap menghadapi agresi militer Jepang, yang kemudian dilancarkan pada 7 Desember 1941. Perang Pasifik diawali dengan penyerangan terhadap pangkalan militer Amerika Serikat di Pearl Harbor, Hawaii.
Setelah pecah Perang Dunia II di Eropa dan menghadapi agresi militer Jepang, pemerintah Hindia-Belanda menerbitkan Undang-Undang No 32 tahun 1939 yang ditandatangani pada 13 September tahun 1939 oleh Gubernur Jenderal Nederlands Indie ke-64, dan yang terakhir, 1936-1942, Jonkheer Alidius Warmoldus Lambertus Tjarda van Starckenborgh-Stachouwer.
Ternyata Belanda dan sekutunya yang tergabung dalam Abdacom (American, British, Dutch, Australian Command) tidak sanggup mengadang agresi militer Jepang. Belanda resmi menyerah tanpa syarat kepada Jepang pada 9 Maret 1942. Negara Hindia-Belanda hilang. Penjajahan Belanda di Asia tenggara resmi berakhir.
Situasi Tahun 1946 Di Republik Indonesia
Pada 15 Agustus 1945 Jepang menyatakan menyerah tanpa syarat kepada Sekutu, namun dokumen menyerah tanpa syarat baru ditandatangani di atas Kapal Perang Amerika Serikat pada 2 September 1945.
Pada 17 Agustus 1945 bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaan dan mendirikan Negara Bangsa (Nation State) Indonesia. Belanda tidak mau mengakui kemerdekaan Republik Indonesia (sampai sekarang, April 2020).
Dengan bantuan 3 Divisi tentara Inggris dan 2 Divisi tentara Australia, Belanda berhasil masuk ke wilayah Republik Indonesia. Tentara Inggris membantu Belanda di Sumatera dan Jawa, sedangkan tentara Australia ditugaskan untuk “membersihkan“ kekuatan bersenjata pendukung Republik Indonesia di wilayah Indonesia bagian timur, dari mulai Kalimantan, Sulawesi, Bali sampai ke Papua.
Pada 15 Juli 1946 Australia “menyerahkan†seluruh wilayah Indonesia bagian timur kepada Belanda. Kemudian dengan politik Divide et Impera, dan melancarkan Agresi Militer I dan II, Belanda berhasil menduduki sebagian besar wilayah Republik Indonesia.
Kemudian, 6 Juni 1946, Presiden Soekarno dan Menteri Pertahanan Amir Syarifuddin menandatangani UU No 6 Tahun 1946 tentang Keadaan Bahaya. Dengan demikian, UU No 6 tahun 1946 ini diterbitkan dalam situasi perang mempertahankan kemerdekaan terhadap agresi militer Belanda dan sekutu serta antek-anteknya.
Situasi Setelah Tahun 1950
Sebagai hasil Konferensi Meja Bundar (KMB), pada 27 Desember 1949 dibentuk negara Republik Indonesia Serikat (RIS), yang terdiri dari 16 Negara Bagian. Di antaranya adalah Republik Indonesia dengan Ibukota Yogyakarta.
Sejak berdirinya Republik Indonesia Serikat (RIS), pihak Belanda dan kakitangannya terus berusaha memecah-belah Indonesia, dalam hal ini RIS. Dimulai dengan percobaan Kudeta APRA-nya Westerling pada 23 Januari 1950, di mana 90 tentara Indonesia yang tidak bersenjata dari Divisi Siliwangi dibunuh oleh anak buah Westerling.
Kemudian menyusul pemberontakan Republik Maluku Selatan pada 25 April 1950. Pemberontakan ini berlangsung selama lebih dari 15 tahun. RMS dapat ditumpas tahun 1966. Kemudian ada pemberontakan Andi Azis, mantan tentara KNIL di Sulawesi Selatan.
Selain itu timbul gerakan-gerakan bersenjata DI/TII di Jawa Barat, Aceh, Kalimantan, dan Sulawesi Selatan. Gerakan DI/TII berakhir awal 1960-an.
Pada 1957 timbul gerakan PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia) di Sumatera dan Permesta (Perjuangan Rakyat Semesta) di Sulawesi. Gerakan-gerakan yang menimbulkan konflik bersenjata dengan pemerintah Republik Indonsia ini, baru berakhir awal 1960-an.
Juga pada 1957 timbul konflik antara Republik Indonesia dengan Kerajaan Belanda. Pemerintah Indonesia secara sepihak membatalkan hasil KMB dan menghilangkan Uni Indonesia-Belanda yang dipimpin oleh Ratu Belanda.
Dalam rangka merebut Provinsi Irian Barat dari kekuasaan Belanda, Indonesia melancarkan konfrontasi terhadap Belanda, antara lain melakukan nasionalisasi semua perusahaan-perusahaan Belanda yang ada di Indonesia.
Tepat 17 Agustus 1960, pemerintah Indonesia memutus hubungan diplomatik dengan Belanda. Semua warga negara Belanda pulang ke negara mereka. Perang Indonesia melawan Belanda tanpa pernyataan perang dimulai. Dapat diperkirakan, pemerintah Belanda menyusupkan agen-agen/mata-matanya ke pihak Indonesia. Oleh karena itu perlu adanya Undang-Undang Keamanan Nasional.
Untuk menghadapi semua permasalahan tersebut, yaitu perang, pemberontakan, konflik dan gerakan-gerakan bersenjata, sampai 1957 Pemerintah Indonesia masih menggunakan UU SOB, yaitu UU Hindia-Belanda No 32 tahun 1939 dan dan UU No 6 tahun 1946.
Oleh karena itu, dengan semakin meningkatnya persiapan konfrontasi melawan Belanda, mengatasi pemberontakan, konflik dan gerakan bersenjata, Pemerintah Indonesia menerbitkan Undang-Undang No 74 Tahun 1957 untuk mengganti UU No 32 warisan Belanda dan UU No 6 Tahun 1946.
Sejak 1960-an, semua pemberontakan telah berakhir. RMS dan DI/TII sudah ditumpas. PRRI dan Permesta telah berakhir. Konfrontasi dengan Belanda telah berakhir, Irian barat berhasil direbut oleh Indonesia.
Dengan demikian, seharusnya UU No 74 Tahun 1959 sudah tidak diperlukan lagi, dan dapat diganti dengan Undang-Undang Keamanan Nasional.
Menjadi pertanyaan, apakah Perppu yang berlatarbelakang perang, pemberontakan, konflik besenjata, layak diterapkan dalam kondisi damai untuk menangani pandemik penyakit yang ditimbulkan oleh virus corona (Covid-19)?
Tentu akan lebih bijak, untuk menangani masalah yang sehubungan dengan kesehatan rakyat Indonesia, pemerintah menggunakan UU No 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan, yang ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo pada 7 Agustus 2028.
Batara R. Hutagalung