Berita

Presiden Joko Widodo dan Menkeu Sri Mulyani/Net

Publika

Pajak Dan Ilusi Kesejahteraan Rakyat

KAMIS, 27 FEBRUARI 2020 | 03:44 WIB

ENTAH kabar buruk atau kabar baik. Harga beberapa komoditas yang digemari masyarakat Indonesia akan naik.

Minuman berpemanis seperti teh berkemasan, minuman berkarbonasi, kopi konsentrat akan dikenakan cukai. Kantong plastik alias tas keresek yang lazim dipakai untuk wadah belanjaan juga akan dikenakan bea serupa.

Mobil atau sepeda motor, atau kendaraan bermotor apa saja yang menghasilkan emisi karbondioksida (CO2), juga bakal dikenakan bea. Pembayaran cukai akan dibebankan pada pabrikan dan importir --berdasarkan seberapa besar emisi CO2 yang dihasilkan dari produknya-- bukan pada pengguna. Namun, terang saja itu berarti akan membuat harganya akan lebih mahal.


Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati telah mengusulkannya kepada DPR dalam rapat pada Rabu lalu. Parlemen pun, tanpa banyak penentangan, menyetujui rencana itu, meski waktu penerapan dan skema detailnya akan dibahas kemudian. Yang pasti, kalau kebijakan itu diberlakukan, Sri Mulyani memperkirakan penerimaan negara dari ketiga cukai itu lebih dari Rp 22 triliun.

Ia mengusulkan perluasan penerapan cukai pada ketiga komoditas itu dengan tujuan ganda. Pertama, untuk menambah penerimaan negara, terutama dari sektor cukai. Kedua, untuk kepentingan pelestarian lingkungan dan kesehatan masyarakat. (Vivanews.com, Sabtu, 22/2/2020).

Terlepas dari alasan kesehatan masyarakat dan pelestarian lingkungan. Sejatinya penggenjotan pajak pada komoditas di atas lebih terlihat pada upaya meningkatkan pendapatan negara. Sebab, melihat realitas pertumbuhan ekonomi negeri yang tak pernah tembus angka enam pasti menyebabkan sakit kepala yang luar biasa bagi penguasa. Apalagi kini rakyat semakin kritis. Maka PR besar bagi rezim untuk mencari jalan meningkatkan pendapatan agar mampu menaikkan pertumbuhan ekonomi.

Padahal upaya meningkatkan pendapatan negara dengan menggenjot pajak justru akan menyengsarakan rakyat. Mulai dari daya beli masyarakat menurun akibat harga jual dengan pajak meningkat hingga sumber pendapatan masyarakat kecil semisal pedagang asongan yang terancam berkurang drastis.

Maka jelas kebijakan ini berujung menzalimi rakyat. Ketika kebijakan negara menzalimi, lantas untuk siapa peningkatan pendapatan negara?

Mengutip tulisan ustadz Budi Ashari, Lc tentang Negeri Tanpa Pajak, Hanya Islam yang Bisa. Pajak sebenarnya merupakan warisan Romawi dan Persia. Dua negara adidaya itu yang mengajari tentang pajak. Berbagai macam pajak diwajibkan kepada rakyat. Tidak peduli apakah mereka tersiksa atau sekarat. Hidup semakin sulit. Sementara harta terkumpul di istana.

Berdasarkan penjelasan Prof. Dr. Akram Dhiya’ dalam ‘Ashr al Khilafah Ar Rasyidah tentang Romawi, “Adapun keadaan ekonominya, riba dan penimbunan adalah merupakan asas aturannya. Kaisar Heraklius mewajibkan pajak-pajak baru terhadap penduduk wilayah-wilayah yang berada di bawah kekuasaan Romawi, untuk menutup utang besar pembiayaan perang dengan Persia.”

Akram juga menjelaskan dampak pajak-pajak yang semakin membuat income negara semakin besar tetapi membuat rakyat semakin sengsara, “Emperium Bizantium mengalami penurunan drastis disebabkan oleh semakin besarnya berbagai pungutan dan pajak. Penurunan pada aktifitas bisnis, diabaikannya sektor pertanian dan semakin berkurangnya bangunan-bangunan.”

Akram menukil tulisan Alfred J. Butler dari bukunya Arab Conquest of Egypt sebagai penguat hal tersebut, “Cukuplah untuk menjelaskan bagaimana Emperium Romawi mengatur wilayah-wilayahnya dengan melihat tulisan Butler tentang pengaturan Mesir. Di mana Romawi di Mesir menetapkan pajak jiwa juga pajak-pajak yang jenisnya banyak sekali."

Dia juga menjelaskan bahwa tidak diragukan lagi, pajak-pajak Romawi di luar kemampuan masyarakatnya. Dijalankan tanpa mempedulikan asas keadilan. Pemerintahan Romawi di Mesir hanya memiliki satu tujuan yaitu mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya dari rakyat untuk pundi-pundi bagi para penguasa.

Dengan demikian, sejatinya banyaknya jenis pajak yang dipungut oleh negara tak akan berkorelasi pada kesejahteraan rakyat. Hal ini tak lain karena pengadopsian sistem kapitalisme. Kapitalisme menjadikan negara hanya berperan sebagai regulator bukan pengurus rakyat yang berkewajiban menjamin kesejahteraan umat.

Maka mencampakkan kapitalisme adalah kunci menghilangkan kezaliman ini. Wallahu a’lam bish shawab.

Djumriah Lina Johan
Praktisi Pendidikan dan Pemerhati Sosial Ekonomi Islam

Populer

Camat Madiun Minta Maaf Usai Bubarkan Bedah Buku ‘Reset Indonesia’

Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16

Adik Kakak di Bekasi Ketiban Rezeki OTT KPK

Senin, 22 Desember 2025 | 17:57

Ketika Kebenaran Nasib Buruh Migran Dianggap Ancaman

Sabtu, 20 Desember 2025 | 12:33

OTT KPK juga Tangkap Haji Kunang Ayah Bupati Bekasi

Jumat, 19 Desember 2025 | 03:10

Uang yang Diamankan dari Rumah Pribadi SF Hariyanto Diduga Hasil Pemerasan

Rabu, 17 Desember 2025 | 08:37

Kajari Bekasi Eddy Sumarman yang Dikaitkan OTT KPK Tak Punya Rumah dan Kendaraan

Sabtu, 20 Desember 2025 | 14:07

Kejagung Ancam Tak Perpanjang Tugas Jaksa di KPK

Sabtu, 20 Desember 2025 | 16:35

UPDATE

Pakar Tawarkan Framework Komunikasi Pemerintah soal Bencana

Kamis, 25 Desember 2025 | 05:32

Gotong Royong Perbaiki Jembatan

Kamis, 25 Desember 2025 | 05:12

UU Perampasan Aset jadi Formula Penghitungan Kerugian Ekologis

Kamis, 25 Desember 2025 | 04:58

Peresmian KRI Prabu Siliwangi-321 Wujudkan Modernisasi Alutsista

Kamis, 25 Desember 2025 | 04:39

IPB University Gandeng Musim Mas Lakukan Perbaikan Infrastruktur

Kamis, 25 Desember 2025 | 04:14

Merger Energi Fusi Perusahaan Donald Trump Libatkan Investor NIHI Rote

Kamis, 25 Desember 2025 | 03:52

Sidang Parlemen Turki Ricuh saat Bahas Anggaran Negara

Kamis, 25 Desember 2025 | 03:30

Tunjuk Uang Sitaan

Kamis, 25 Desember 2025 | 03:14

Ini Pesan SBY Buat Pemerintah soal Rehabilitasi Daerah Bencana

Kamis, 25 Desember 2025 | 02:55

Meneguhkan Kembali Jati Diri Prajurit Penjaga Ibukota

Kamis, 25 Desember 2025 | 02:30

Selengkapnya