Berita

TikTok/Net

Dunia

Pakar Informasi: Pengguna TikTok Lebih Rentan Terhadap Tipuan Ketimbang Hoax

RABU, 19 FEBRUARI 2020 | 09:59 WIB | LAPORAN: SARAH MEILIANA GUNAWAN

Aplikasi TikTok tengah diganderungi. Saking menariknya, beberapa tokoh penting pemerintahan juga menggunakan aplikasi tersebut.

TikTok atau juga dikenal dengan Douyin merupakan sebuah platform video pendek. Aplikasi buatan Beijing ByteDance Technology tersebut diluncurkan pada September 2016.

Pada Juli 2018, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) sempat memblokir platform tersebut selama sepekan. Alasannya, di dalam aplikasi tersebut terdapat konten-konten negatif, termasuk SARA, dan pornografi, bahkan hoax.

Beda dulu beda sekarang. Jika dulu dilarang, maka kini Kepala Badan Pembina Ideologi Pancasila (BPIP) Yudian Wahyudi justru berencana melakukan sosialisasi Pancasila menggunakan TikTok. Tujuannya, agar bisa menggaet generasi milenial.

Namun, apakah TikTok benar-benar bisa dimanfaatkan untuk melakukan pekerjaan fundamental tersebut?

Dalam sebuah artikel berjudul "Is Tiktok 2020's New Propaganda Playground?" yang ditulis Kelly Weill dan Will Sommer mengungkapkan, sebenarnya TikTok memiliki beberapa tipuan untuk menyebarkan propaganda. Artikel yang dirilis oleh Daily Beast pada Senin (13/2) tersebut menyebutkan, TikTok memiliki tipuan disinformasi sendiri.

Berbeda dengan Facebook dan Twitter yang memiliki metode yang jelas dalam menyebarkan berita palsu atau hoax melalui "repost" atau "retweet", TikTok justru lebih berbahaya karena lebih tertutup, sehingga sulit dideteksi.

TikTok yang memiliki 1,5 miliar pengguna di seluruh dunia, mengharuskan para penggunanya untuk membuat karya sendiri tanpa bisa memuat ulang karya orang lain. Kecuali jika dipadukan dengan membuat video duet.

Selain itu, pentingnya audio dalam aplikasi ini juga membantu meminimalisir adanya hoax dibandingkan dengan keterangan teks. Kendati begitu, bukan berarti aplikasi tersebut tanpa cela.

Pakar disinformasi, Cameron Hickey mengatakan sifat tertutup dari TikTok justru membuat para pengguna lebih rentan terhadap tipuan, apalagi TikTok tidak terhubung ke sumber lain.

"Semua yang anda alami, anda alami di dalam platform. Di TikTok, dalam arti tertentu, anda terkunci di dalam," ujar Hickey.

Di samping itu, TikTok juga memiliki sistem moderasi konten sendiri, di mana bisa menyaring kata kunci sendiri.

Misalnya ketika mencari kata kunci untuk Atomwaffen (kelompok supremasi kulit putih), yang didapat adalah "frasa ini mungkin terkait dengan perilaku kebencian". Sementara untuk "Hitler", yang muncul adalah "Honkler" yang merupakan meme badut Nazi.

Seorang whistleblower pada November lalu mengungkapkan, TikTok secara diam-diam telah melabeli beberapa video tanpa diketahui. Label tersebut seperti "visible to self" (hanya pengunggah yang dapat melihat video), "not recommended" (tidak direkomendasikan', dan "not for feed" (tidak digunakan untuk umpan).

Ia juga mengatakan bahwa TikTok bisa menghapus sendiri video yang dianggap mempromosikan terorisme dan beberapa teori konspirasi. Misalnya saja "propaganda anti-vaksin", "penolakan Holocaust", dan "prank scare bom palsu".

Dengan struktur ini, Hickey mengatakan pengguna bisa lebih rentan terhadap tipuan daripada hoax. Untuk memverifikasi informasi salah pun, TikTok sulit karena kurangnya data.

"Tidak ada yang benar-benar salah dalam hal ini, tetapi pasti ada pernyataan yang menyesatkan," kata Hickey.

Berdasarkan dokumen yang bocor, dari moderasi ini, pengguna TikTok juga terkadang didorong untuk menghasilkan lebih banyak konten politik demi mendapatkan penonton yang lebih banyak.

Kebijakan-kebijakan itu juga seringkali dianggap sejalan dengan kepentingan pemerintah China. Misalnya pada September, ketika TikTok menyensor video protes di Lapangan Tiananmen 1989.

Dengan adanya tipuan-tipuan seperti ini, TikTok memiliki peran yang besar untuk membentuk kepercayaan politik, khususnya anak muda.

"Ini adalah tempat di mana mereka cenderung membentuk kepercayaan politik mereka (generasi milenial)," kata Hickey.

Semakin besar dan berkembang, TikTok dikatakan bisa menjadi motherload (cara curang) bagi agen disinformasi yang ingin mempengaruhi pemilihan umum.

“Adalah naif untuk mengatakan bahwa aktor jahat tidak akan menemukan kerentanan pada TikTok untuk dieksploitasi,” kata López.

Populer

Pendapatan Telkom Rp9 T dari "Telepon Tidur" Patut Dicurigai

Rabu, 24 April 2024 | 02:12

Polemik Jam Buka Toko Kelontong Madura di Bali

Sabtu, 27 April 2024 | 17:17

Bey Machmudin: Prioritas Penjabat Adalah Kepentingan Rakyat

Sabtu, 20 April 2024 | 19:53

Pj Gubernur Ingin Sumedang Kembali jadi Paradijs van Java

Selasa, 23 April 2024 | 12:42

Jurus Anies dan Prabowo Mengunci Kelicikan Jokowi

Rabu, 24 April 2024 | 19:46

Tim Hukum PDIP Minta Penetapan Prabowo-Gibran Ditunda

Selasa, 23 April 2024 | 19:52

Pj Gubernur Jabar Minta Pemkab Garut Perbaiki Rumah Rusak Terdampak Gempa

Senin, 29 April 2024 | 01:56

UPDATE

SPS Aceh Dinobatkan sebagai SPS Provinsi Terbaik 2024

Rabu, 01 Mei 2024 | 05:53

Hari Ini Nasdem Muara Enim Buka Penjaringan Balon Bupati dan Wabup

Rabu, 01 Mei 2024 | 05:36

Prof Sugianto Janjikan Netralitas ASN pada Pilkada 2024 kalau Ditunjuk jadi Pj Bupati

Rabu, 01 Mei 2024 | 05:14

Teriakan "Ijeck Gubernur" Menggema di Syukuran Kosgoro 1957 Sumut

Rabu, 01 Mei 2024 | 04:58

Dihiasi 2 Penalti, Bayern Vs Madrid Berakhir 2-2

Rabu, 01 Mei 2024 | 04:46

Dai Kondang Ustaz Das'ad Latif Masuk Daftar Kandidat Nasdem untuk Pilwalkot Makassar

Rabu, 01 Mei 2024 | 04:22

Jelang Pilkada, Pj Gubernur Jabar Minta Seluruh ASN Jaga Netralitas

Rabu, 01 Mei 2024 | 03:58

Ekonomi Pakistan Semakin Buruk

Rabu, 01 Mei 2024 | 03:37

Kader PKB Daftar sebagai Bacabup Aceh Besar lewat Demokrat

Rabu, 01 Mei 2024 | 03:29

Ngaku Punya Program Palembang Bebas Banjir, Firmansyah Hadi Daftar di PDIP

Rabu, 01 Mei 2024 | 02:31

Selengkapnya