Berita

Teheran, Iran/Net

Muhammad Najib

Kolonialisme Baru Di Timur Tengah

KAMIS, 16 JANUARI 2020 | 10:24 WIB | OLEH: DR. MUHAMMAD NAJIB

SEJAK Revolusi Islam yang dipimpin Ayatollah Khomaini tahun 1979, Iran sudah menderita dengan dibekukannya seluruh aset yang dimilikinya di Amerika Serikat.

Sejak saat itu, khususnya pasca peristiwa pendudukan Kedutaan Amerika di Teheran yang diiringi oleh penyanderaan 52 orang Amerika di gedung kedutaan, Iran dengan Amerika sudah tidak memiliki hubungan politik, ekonomi, dan sebagianya.

Akan tetapi berbagai sanksi yang dijatuhkan Washington terhadap Teheran, berimplikasi dan mengikat semua negara yang memiliki hubungan dengan Amerika. Hal inilah yang mengakibatkan semua negara terhalang untuk melakukan hubungan ekonomi secara maksimal dengan Iran.

Meskipun demikian, Iran masih servive dan terus melawan. Itulah sebabnya serangkaian sanksi baru terus ditimpakan, yang semuanya bermuara pada penderitaan rakyat Iran.

Diantara rangkaian sanksi yang bertujuan melumpuhkan ekonomi, politik, maupun militer Iran dikenal dengan nama Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA) yang ditandatangani Presiden Amerika Barack Obama tahun 2015. JCPOA bertujuan untuk membatasi dan mengawasi kemajuan reaktor nuklir Iran, agar jangan sampai memiliki kemampuan membuat bom atau nuklir dijadikan senjata.

Untuk memperkuat perjanjian ini dalam sekala internasional, perjanjian tidak hanya ditandatangani oleh Amerika dan Iran, akan tetapi juga melibatkan negara nuklir lain seperti: Perancis, Inggris, Rusia, China plus German. Itulah sebabnya, negara-negara penandatangan perjanjian ini sering disebut dengan negara-negara yang tergabung dalam (6+1).

Sebagai imbalan, atas kesediaan Teheran menandatangani perjanjian ini, Amerika melonggarkan sebagian sanksi ekonomi yang dijatuhkannya pada Iran.

Dihalangi dalam pengembangan teknologi nuklirnya, Iran mengalihkan perhatiannya pada pengembangan senjata-senjata konvensional, khususnya terkait dengan rudal dan drone.

Menyadari perkembangan kemampuan baru seperti ini, yang berimplikasi pada meningkatnya kekuatan politik maupun militer Iran di kawasan Timur Tengah, Donald Trump tiba-tiba menyatakan keluar dari perjanjian JCPOA, diiringi dengan pemberian sanksi baru terhadap Iran. Diantara sanksi baru yang paling memberatkan adalah dibatasinya penjualan minyak Iran. Padahal tulang-punggung ekonomi negara para mullah ini bertumpu pada minyak.

Teheran yang selama ini merasa tidak pernah melanggar kesepakatan yang dibuat, complain pada negara-negara penandatangan. Bagi Teheran, Amerika yang keluar dari perjanjian tanpa alasan seharusnya yang diberikan sanksi, atau setidaknya negara-negara lain tidak terikat lagi dengan sanksi baru yang dijatuhkan Washington.

Ternyata keberatan Iran ini tidak mendapatkan respon memadai, khususnya dari negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa. Iran kemudian menekan dengan cara mengurangi ketaatannya terhadap perjanjian JCPOA, khususnya dalam hal pengayaan Uranium.

Merespon langkah baru Teheran ini, Inggris, Perancis, dan German malah bersikap sebaliknya, mengancam akan memberikan sanksi baru dengan tuduhan: Iran telah melanggar perjanjian JCPOA yang telah ditandatangani bersama.

Pada saat bersamaan Perdana Mentri Inggris Boris Johnson menyampaikan dukungannya untuk mengganti perjanjian JCPOA dengan perjanjian baru yang diusulkan oleh Presiden Donald Trump. Sebagaimana diketahui, Jika JCPOA hanya membatasi kemampuan Iran dalam hal nuklir, sedangkan perjanjian baru usulan Trump, disamping berisi upaya untuk mencegah Iran membuat senjata nuklir, juga berusaha membatasi kemampuannya dalam mengembangkan rudal, drone, dan senjata lainnya.

Menghadapi tekanan ini, Presiden Iran Hassan Rouhani marah, kemudian mengancam tentara negara-negara Eropa yang kini berada di sejumlah negara di Timur Tengah. "Hari ini, tentara Amerika berada dalam bahaya, besok giliran tentara Eropa", katanya dengan nada lantang.

Kini hanya Rusia dan China yang masih netral, tentu diharapkan keduanya bisa mendinginkan suasana, sekaligus mencarikan solusi yang elegan dan bisa diterima kedua belah pihak.

Penulis adalah pengamat politik Islam dan demokrasi.

Populer

Jaksa Agung Tidak Jujur, Jam Tangan Breitling Limited Edition Tidak Masuk LHKPN

Kamis, 21 November 2024 | 08:14

MUI Imbau Umat Islam Tak Pilih Pemimpin Pendukung Dinasti Politik

Jumat, 22 November 2024 | 09:27

Kejagung Periksa OC Kaligis serta Anak-Istri Zarof Ricar

Selasa, 26 November 2024 | 00:21

Rusia Siap Bombardir Ukraina dengan Rudal Hipersonik Oreshnik, Harga Minyak Langsung Naik

Sabtu, 23 November 2024 | 07:41

Ini Identitas 8 Orang yang Terjaring OTT KPK di Bengkulu

Minggu, 24 November 2024 | 16:14

Sikap Jokowi Munculkan Potensi konflik di Pilkada Jateng dan Jakarta

Senin, 25 November 2024 | 18:57

Legislator PKS Soroti Deindustrialisasi Jadi Mimpi Buruk Industri

Rabu, 20 November 2024 | 13:30

UPDATE

Sukses Amankan Pilkada, DPR Kasih Nilai Sembilan Buat Kapolri

Jumat, 29 November 2024 | 17:50

Telkom Innovillage 2024 Berhasil Libatkan Ribuan Mahasiswa

Jumat, 29 November 2024 | 17:36

DPR Bakal Panggil Kapolres Semarang Imbas Kasus Penembakan

Jumat, 29 November 2024 | 17:18

Pemerintah Janji Setop Impor Garam Konsumsi Tahun Depan

Jumat, 29 November 2024 | 17:06

Korsel Marah, Pesawat Tiongkok dan Rusia Melipir ke Zona Terlarang

Jumat, 29 November 2024 | 17:01

Polri Gelar Upacara Kenaikan Pangkat, Dedi Prasetyo Naik Bintang Tiga

Jumat, 29 November 2024 | 16:59

Dubes Najib Cicipi Menu Restoran Baru Garuda Indonesia Food di Madrid

Jumat, 29 November 2024 | 16:44

KPU Laksanakan Pencoblosan Susulan di 231 TPS

Jumat, 29 November 2024 | 16:28

Kemenkop Bertekad Perbaiki Ekosistem Koperasi Kredit

Jumat, 29 November 2024 | 16:16

KPK Usut Bau Amis Lelang Pengolahan Karet Kementan

Jumat, 29 November 2024 | 16:05

Selengkapnya