PADA Rabu (8/1), Iran untuk pertama kalinya meluncurkan rudal balistik dari wilayahnya yang menghajar dua pangkalan militer Amerika di Irbil Provinsi Kurdistan dan Ain Al Assad di Provinsi Al Anbar, Irak sebagai balasan atas kematian Mayor Jenderal Qassem Soleimani yang ditembak oleh Amerika dengan menggunakan drone jenis Reaper MQ-9.
Serangan ini dilakukan Teheran hanya beberapa jam setelah jenazah almarhum Soleimani dikebumikan.
Boeing jenis 737 dengan nomor penerbangan PS 752 milik Ukrania, beberapa jam kemudian mengudara meninggalkan bandara internasional Imam Khomaini di Teheran, berputar untuk mendapatkan ketinggian yang ideal sebelum diarahkan ke Kiev, Ibukota Ukraina.
Pasukan Garda Revolusi (IRGC) saat itu masih dalam kesiagaan tinggi, mengira pesawat nahas ini sebagai rudal milik musuh yang akan menyasar posisi mereka, sehingga harus segera dirontokkan di udara yang mengakibatkan seluruh penumpang dan awak pesawat yang berjumlah 176 orang tewas seketika.
Seandainya otoritas penerbangan sipil menutup bandara sementara, tentu musibah seperti ini dapat dihindari sebagaimana disesalkan Presiden Ukraina.
Presiden Iran Hassan Rouhani sudah meminta maaf kepada Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskiy melalui telpon, dan dipublikasikan secara luas. Hassan Rouhani atas nama pemerintah Iran, disamping memohon maaf juga berjanji akan meminta pertanggungjawaban mereka yang melakukan kesalahan.
Lebih dari itu, Rouhani juga menyatakan pemerintah Iran siap memberikan kompensasi kepada keluarga korban.
Meskipun Iran sudah melakukan semua hal sebagai bentuk tanggung jawab atas kesalahan tentaranya, para pengamat memperkirakan tekanan terhadap pemerintah di Teheran akan terus berlanjut dan membesar.
Hal ini terlihat dari unjuk rasa Sabtu dan Minggu (11-12) yang melibatkan ribuan demonstran yang melanda sejumlah kota besar seperti Teheran, Shiraz, Isfahan, Hamedan, dan Orumiyeh.
Para demonstran meneriakkan Ayatollah Ali Khameni untuk turun dan menuduhnya sebagai diktator. Sesuatu yang selama ini dianggap tabu, terkait dengan orang nomor satu di Iran tersebut, mengingat posisinya baik secara spiritual bagi penganut Syi'ah maupun dalam struktur politik Iran.
Di samping tekanan dari demonstran, sejumlah media terkemuka juga ikut menambah beban dengan mengkritisi kecerobohan yang dilakukan tentara yang dinilai sangat memalukan ini. Di antara media terkemuka yang ikut mengkritisi antara lain: Jomhuri-ye Eslami, Etemad, Vatan-e Emrouz, dan Hamshahri.
Momentum seperti ini lama dinantikan oleh lawan-lawan politik rezim Ali Khameini baik yang berada di dalam negeri maupun di luar negri.
Sebagaimana diketahui, sejak Revolusi Islam yang dipimpin Ayatullah Khomaini tahun 1979, para pendukung rezim Reza Pahlevi yang tumbang sebagian lari ke luar negri, sementara yang tetap tinggal di dalam negeri lebih banyak tiarap. Momentum seperti ini yang lama dinanti tentu tidak akan disia-siakan.
Selain aktor-aktor internal Iran, yang lebih berbahaya sebenarnya adalah aktor asing, seperti Amerika, Inggris, dan Israel. Jika Amerika dan Inggris bermain di atas permukaan, maka Israel selalu bermain di bawah permukaan.
Ingris, Kanada, dan Australia sejak awal telah menuduh pesawat nahas milik Ukrania tersebut jatuh bukan karena kecelakaan biasa, yang disebabkan oleh karena kerusakan mesin atau kelalaian manusia, akan tetapi karena ditembak.
Dubes Inggris di Teheran Rob Macaire ikut mengompori para demonstran di Teheran, sehingga sempat ditahan di depan Universitas Amir Kabir, meskipun kemudian harus dilepas dengan alasan kekebalan diplomatik yang dimilikinya, dan protes dari Menlu Inggris Dominic Raab.
Sedangkan Presiden Donald Trump, melalui akun Twitternya meskipun berulang-ulang menyatakan tidak memiliki agenda untuk mengganti rezim di Teheran. Akan tetapi, sudah menjadi rahasia umum yang dilakukannya adalah sebaliknya.
Hal ini mengingatkan publik pada operasi intelijen yang dimotori oleh CIA milik Amerika dan M16 milik Inggris, saat penggulingan Perdana Menteri Iran Mosaddegh pada tahun 1953. Washington kemudian menggantinya dengan rezim boneka Reza Pahlevi.
Karena itu menarik untuk terus dicermati, apakah rezim Ali Khamenei yang kini berkuasa di Iran mampu lolos dari ujian berat ini, atau bernasib sama terguling seperti yang dialami Mosaddegh.
Wallahua'lam.
Penulis adalah pengamat politik Islam dan demokrasi