DULU minyak menjadi sumber berkah bagi rakyat Libya. Semua sekolah gratis mulai TK sampai universitas. Rumah Sakit gratis, apapun penyakitnya. Bahkan setiap pasangan yang baru menikah, berhak mendapatkan rumah dari negara. Tidak ada pajak atau iuran warga untuk keperluan pembangunan infratruktur ataupun fasilitas umum.
Kini situasinya berbalik 180 derajat. Sejak pemerintahan yang dipimpin Muammar Khadafi runtuh pada tahun 2011 terkena badai Musim Semi Arab, Lybia terus bergolak akibat perebutan kekuasaan yang tidak kunjung selesai. Suku-suku atau kabilah-kabilah terus bersaing. Penggunaan senjata tidak terhindarkan lagi.
Sulitnya ekonomi dan hilangnya rasa aman, menyebabkan tidak sedikit rakyat sipil yang memutuskan untuk meninggalkan negrinya, lalu menyebrang ke Utara menuju negara-negara Eropa dengan status sebagai pengungsi. Yang mampu menggunakan pesawat, sementara yang tidak mampu harus menyebrangi Laut Mediterania dengan perahu seadanya. Akibatnya, tidak sedikit yang menemui ajalnya, terkubur tanpa jejak di dasar laut.
Empat tahun situasi seperti ini dialami rakyat Libya. Berkat bantuan sejumlah negara termasuk PBB sebagai mediator antara kelompok yang bertikai, mereka berhasil membentuk pemerintahan yang dikenal dengan nama: Pemerintahan Kesepakatan Nasional (Government of National Accord, GNA) yang kini dipimpin oleh Perdana Mentri Fayez al-Sarraj.
Khalifa Haftar seorang jenderal purnawirawan komandan Tentara Nasional Libya (LNA) tidak puas dengan GNA, kemudian memberontak dan secara de facto menguasai wilayah Timur Libya yang kaya minyak berbatasan dengan Mesir.
Dalam perkembangannya LNA yang dipimpin Haftar beroperasi sebagai pemerintahan tandingan yang dikendalikan dari Kota Tobruk. Haftar mendapatkan dukungan dari Mesir, dan sejumlah negara kaya Teluk seperti Saudi Arabia dan Uni Emirat Arab (UAE).
LNA semakin hari semakin kuat karena dukungan dan keterlibatan negara-negara super power seperti Perancis, China, dan Rusia. Dikabarkan LNA kini diperkuat dengan drone dan pesawat tempur. Lebih dari itu tentara bayaran asing yang dikerahkan oleh Wagner sebuah perusahan keamanan yang beroperasi di Rusia ikut memperkuatnya.
Fakta ini tentu menimbulkan kecemasan pemerintahan resmi GNA. Apalagi Haftar dan pasukannya berulangkali berusaha merebut ibukota Tripoli. Hal ini kemudian mendorong Perdana Fayez mengunjungi Turki. Kesepakatan kerjasama antara dua negara kemudian ditandatangani. Kerjasama meliputi banyak hal termasuk masalah keamanan.
Kesepakatan ini kemudian menjadi landasan yuridis Tripoli untuk mengundang tentara Turki, tentu dengan maksud mengimbangi kekuatan LNA yang semakin mengancam.
Presiden Erdogan telah menyetujui perminaan Perdana Mentri Fayez, dan kini hanya menunggu persetujuan Parlemen. Karena itu kehadiran pasukan Turki ke wilayah Libya tampaknya hanya dalam hitungan hari.
Jika pertempuran antara dua kelompok ini pecah, bisa dibayangkan bagaimana kehancuran Libya alam waktu dekat. Bukan mustahil penderitaan yang akan dialami rakyatnya seperti yang dialami Suriah saat ini. Ratusan ribu rakyat Suriah meninggal, dan jutaan menjadi pengungsi di negara lain.
Pertanyaannya, jika di Suriah pemerintah Rusia dan China membantu pemerintahan legal yang ada, kenapa di Libya mereka membantu pemberontak ? Jika Libya tidak memiliki minyak, apakah orang-orang asing itu akan datang? Sampai kapan para pemimpin Arab terus dipermainkan seperti ini, atau berapa banyak korban lagi yang diperlukan untuk menyadarkannya?