SETELAH menduduki Gedung Putih, Donald Trump sebagai nakhoda kapal besar bernama Amerika Serikat, mengemudikannya seperti sopir bajaj tanpa leting dan tanpa spion. Belok kiri dan kanan seenaknya bahkan layak disebut ugal-ugalan. Saat menyerempet atau menyodok mobil lain, maka ia yang marah terlebih dahulu, sambil nantang dan petantang-petenteng.
Trump baru saja tersungkur di Parlemen Amerika (House of Representatives) akibat kalah voting dalam sebuah proses pemakzulan yang telah berlangsung sekitar dua bulan, diinisiasi oleh Ketua Parlemen Nancy Pelosi dan didukung oleh Partai Demokrat.
Sang Presiden dipersalahkan karena melanggar dua hal: Pertama, telah menyalahguna kekuasaan (
abuse of power) terhadap kandidat Presiden dari Partai Demokrat, dengan cara menekan Presiden Ukrania untuk melakukan investigasi terhadap putra Joe Biden yang memiliki bisnis di sana.
Joe Biden merupakan mantan Wakil Presiden yang kini menjadi kandidat Partai Demokrat yang akan menantang Trump pada pemilu tahun depan.
Kedua, Trump telah dianggap menghalang-halangi proses penyelidikan yang dilakukan Parlemen terkait kasus di atas, karena sikapnya yang tidak kooperatif dan terus menantang dan mengumbar ancaman lewat berbagai media, khususnya media sosial.
Sebelum dimakzulkan, Trump selalu menimbulkan berbagai kontroversi, mulai kemenangannya dalam pemilu yang pekat dengan aroma tidak
fair, sehingga memaksa otoritas Amerika melakukan penyelidikan yang sampai sekarang masih terus berlangsung.
Trump juga sangat mudah memecat para pejabat teras, kemudian menggantikannya dengan cara mengangkat teman-teman dekatnya walau mungkin tidak kompeten menurut penilaian publik. Karena itu, ia juga dikenal sebagai pemimpin yang sangat nepotis. Hal ini diperkuat dengan cara melibatkan anak dan menantunya yang masih hijau ke dalam urusan negara yang sangat penting dan strategis.
Terhadap negara lain, ia cendrung menggunakan prinsip unilateralisme dibanding multilateralisme sebagaimana lazimnya dalam pergaulan internasional. Ia hanya berfikir kepentingan nasionalnya, bahkan bukan mustahil kepentingan pribadinya, dan pada saat bersamaan mengabaikan kepentingan nasional negara lain.
Lebih dari itu, ia juga sering melanggar ketentuan atau kesepakatan internasional, termasuk yang dibuat oleh negaranya sendiri. Lebih jauh lagi, ia begitu mudah mengumbar sangsi terhadap negara lain.
Apa yang dilakukan Parlemen Amerika menunjukkan bahwa demokrasi masih berjalan di sana, mayoritas wakil rakyat Amerika masih sehat, sehingga mampu melakukan koreksi saat keliru memilih seorang pemimpin.
Akan tetapi, keputusan Parlemen tidak serta-merta membuat Trump dan keluarganya harus meninggalkan Gedung Putih. Keputusan Parlemen sesuai dengan undang-undang yang berlaku dimana Kongres menganut sistem dua kamar, sehingga masih memerlukan persetujuan Senat yang didominasi oleh Partai Republik.
Apalagi persetujuan Kongres memerlukan dukungan 2/3 senator, sehingga tampak akan sulit melaluinya.
Karena itu, berbagai kemungkinan masih bisa terjadi. Pertama, Kongres menolak keputusan Parlemen yang didominasi Partai Demokrat. Bila hal ini terjadi, maka Trump akan bertahan sebagai Presiden.
Selanjutnya ia akan menjadi kandidat Presiden dari Partai Republik untuk kedua kalinya. Dalam kondisi babak-belur seperti saat ini, tentu peluangnya untuk memenangkan pemilu yang akan diselenggarakan tahun depan akan kecil sekali.
Kedua, ia dipaksa oleh publik Amerika untuk turun. Bila hal ini terjadi, maka Partai Republik tidak akan berani membelanya, bahkan bisa berbalik memaksanya untuk mengundurkan demi menyelamatkan partai.
Apapun yang terjadi, kredibilitas Trump baik di dalam maupun di luar negri telah jatuh. Karenanya, baik kawan maupun lawan politiknya akan segera melakukan reposisi demi menyelamatkan kepentingan masing-masing.
Sebagai contoh, Benyamin Netanyahu yang selama ini mendapatkan dukungan penuh Trump dalam melakukan tindakan agresif terhadap lawan-lawan politiknya, tentu akan mengendurkan langkahnya jika tidak ingin ikut terjungkal.
Begitu juga Saudi Arabia yang
de facto dikendalikan oleh Putra Makota Muhammad bin Salman (MBS) yang membangun hubungan mesra dengan Jared Kushner sang menantu Trump, harus segera mengubah haluan jika tidak ingin ikut terkapar.
Begitu juga negara-negara lain seperti Palestina, Turki, Qatar, China, Rusia, serta negara-negara Eropa yang secara tradisional menjadi sekutu Amerika yang selama ini dibingungkan dan dibebani oleh manuver-manuver Donald Trump yang tidak lazim dan sulit diprediksi, akan melakukan kalkulasi dan strategi ulang dalam percaturan politik global yang melibatkan kekuatan ekonomi dan militer secara bersamaan.
Kita tentu berharap konstalasi politik, ekonomi, dan militer kembali normal, sehingga dunia kembali menjadi tempat yang aman dan nyaman bagi seluruh penghuninya.
Penulis adalah Pengamat Politik Islam dan Demokrasi