Berita

Foto:Net

Publika

Catat, Resesi Global Terjadi 2020!

SELASA, 22 OKTOBER 2019 | 14:52 WIB

PERINGATAN resesi global telah terjadi. Hal ini ditunjuki dari perlambatan ekonomi dunia dan kehadiran the inverted yield curve (IYC) yaitu kurva imbal hasil yang terbalik.

Kurva IYC adalah kurva yang menunjukan adanya kerugian  jika investor berinvestasi dijangka waktu panjang 10 tahun dibandingkan investasi jangka pendek 2 tahun.

Kurva IYC menjadi laporan suram ekonomi Amerika pada masa yang akan datang.
 

 
Meski demikian, banyak ekonom tidak setuju menggunakan kurva IYC untuk menunjukan dekatnya waktu resesi.

Kurva IYC dapat diperbaiki jika bank sentral melakukan intervensi yaitu mengembalikan yield investasi jangka panjang 10 tahun dengan cara membeli surat berharga T-Bill dalam harga yang tinggi.

Namun, sampai kapan bank sentral menjadi redemption bagi kelemahan sektor riil, bukankah berbahaya memanipulasi kinerja sektor riil dengan artifisial stimulus moneter oleh bank sentral?

Mengapa Ada Perdebatan


Para ekonomi yang mendukung resesi tidak akan terjadi mengatakan bahwa angka penganguran AS terus membaik, ketegangan US-China dalam perang dagang sudah mereda karena konsesus dagang pada Juli 2019 lalu, geopolitik global pun masih positif yang ditandai lancarnya prosesi brexit di bawah kepemimpinan Boris Johnson meski mereka mengakui adanya perlambatan ekonomi secara global.

Sementara ekonom yang mengatakan resesi datang lebih cepat bercermin dari data siklus bisnis suram dan proteksionisme yang dianut banyak negara termasuk US dan UK.

Gangguan yang disebabkan oleh tarif dan kebijakan proteksionis telah memainkan peran besar dalam rusaknya pertumbuhan ekonomi seiring dengan terjadinya gelembung kredit di Cina.
 
Memerahnya Indikator Saham dan Penurunan Laba Perusahaan

Margin laba bersih S&P 500 untuk kuartal ketiga (September) diprediksi sebesar 11,3 persen di bawah kurtal kedua (11,5 persen) namun lebih baik daripada kuartal pertama 11 persen.

CNBC melaporkan (21/10) menyatakan bahwa ada 9 dari 11 sektor industri yang melaporkan terjadi penurunan laba bersih untuk Q3 2019 dibandingkan Q3 tahun 2018 yaitu penurunan laba sektor energi 5,4 persen versus 8,1 persen, dan sektor teknologi informasi 20,6 persen dari 23 persen.

Indikator sektor perbankan dan keuangan menunjukan terjadinya pelemahan namun kebijakan relaksasi dari Bank Sentral dapat mengurangi pelambatan tersebut.

Tanda resesi yang paling utama dalah jatuhnya keuntungan operasional perusahaan yang diikuti dengan angka pengangguran yang naik tinggi. Kedua hal tersebut meski belum terlihat namun diprediksi akan terjadi tahun 2020.

Tanda lain dari resesi adalah keuntungan perusahan mencapai titik tertingginya sekitar 17 bulan sebelum resesi dan titik pengangguran terendah sekitar 10 bulan sebelum resesi.

Menurut FactSet data, laba untuk S & P 500 mencapai titik tinggi yaitu 12 persen terjadi pada kuartal ketiga (September) 2018, sebelum jatuh ke 11,2 persen dan tinggal menjadi stagnan sejak itu.

Melihat keuntungan perusahan yang terus menurun maka para ekonom sangat alert dan waspada. Keuntungan tertinggi perusahaan di Amerika terjadi pada Kuartal pertama (Maret) 2019 atau 12 bulan yang lalu sehingga prediksi resesi terjadi pada 5 bulan dari sekarang atau sekitar Maret 2020.

Tingkat pengangguran di Amerika turun di level 3.5 persen pada September 2019 yang merupakan tingkat pengangguran terendah sejak 1969. Titik terendah pengangguran tersebut merupakan petanda (symptom) dari 10 bulan sebelum resesi atau sekitar Juli/Agustus 2020.

Menggunakan metode tersebut, resesi Dunia diprediksi terjadi sekitar Maret-Agustus 2020.

Analis dari Ned Davis Research (ndr.com) menulis: Resesi diawali dengan margin keuntungan perusahaan mencapai puncaknya pada 17 bulan sebelumnya dan terjadi titik terendah tingkat pengangguran pada 10 bulan sebelumnya.

Penurunan keuntungan perusahaan menjadi pendahulu untuk terjadinya PHK besar-besaran. Biasanya saat perusahaan mencapai tahap akhir dari ekspansi bisnis, mereka sering memotong lebih dahulu biaya tenaga kerja untuk menjaga pertumbuhan pendapatan. Pengurangan tenaga kerja tersebut menjadi energi negatif yang mempercepat terjadinya resesi.

Analis Credit Suisse juga telah mewaspadai penurunan terbesar yang datang untuk perusahaan energi dan beberapa perusahaan teknologi dan komunikasi, seperti alfabet, Amazon, Apple dan Facebook.

Credit Suisse mengatakan ada konsensus jika terjadi penurunan laba Amazon mencapai 50% maka pertumbuhan laba perusahan dalam listing S&P 500 hanya mencapai 0,3 persen.

Tahun 2020 diperdiksi akan terjadi penurunan laba perusahaan lebih lanjut karena tiga penyebab pertama adalah efek residu dari perang Dagang, kedua adalah biaya regulasi untuk perusahaan media sosial dan ketiga dalah turunnya harga minyak global sehingga 2020 diprediksi penurunan laba lebih besar terjadi pada sektor energi dan sektor teknologi.

Meski demikian, ada optimisme dari sebagian pelaku pasar dan akademisi. Mereka melihat stagnannya laba S&P 500 menjadi tanda keuntungan masih eksis.

Secara data, kenyataannya terjadi penurunan laba emiten pada dua sektor terbesar pada Oktober 2019 yaitu industri teknologi (-40 bps) dan industri keuangan (-80 BPS). Penurunan laba tersebut sebagian diimbangi oleh peningkatan laba untuk Industri umum (+ 30 BPS) dan Industri layanan kesehatan Health Care (+ 30 BPS). Jika laba operasi S&P 500 jatuh di atas 40 bps dari puncaknya, maka resesi ekonomi dunia akan berguncang lebih cepat lagi.
 
Hidayat Matnoer MPP
Pengamat kebijakan ekonomi publik dan Co-Founder Crisis Research Institute (CRI).

Populer

Mantan Jubir KPK Tessa Mahardhika Lolos Tiga Besar Calon Direktur Penyelidikan KPK

Rabu, 24 Desember 2025 | 07:26

Kejagung Copot Kajari Kabupaten Tangerang Afrillyanna Purba, Diganti Fajar Gurindro

Kamis, 25 Desember 2025 | 21:48

Sarjan Diduga Terima Proyek Ratusan Miliar dari Bupati Bekasi Sebelum Ade Kuswara

Jumat, 26 Desember 2025 | 14:06

Mantan Wamenaker Noel Ebenezer Rayakan Natal Bersama Istri di Rutan KPK

Kamis, 25 Desember 2025 | 15:01

8 Jenderal TNI AD Pensiun Jelang Pergantian Tahun 2026, Ini Daftarnya

Rabu, 24 Desember 2025 | 21:17

Camat Madiun Minta Maaf Usai Bubarkan Bedah Buku ‘Reset Indonesia’

Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16

Adik Kakak di Bekasi Ketiban Rezeki OTT KPK

Senin, 22 Desember 2025 | 17:57

UPDATE

Kades Diminta Tetap Tenang Sikapi Penyesuaian Dana Desa

Rabu, 31 Desember 2025 | 12:10

Demokrat Bongkar Operasi Fitnah SBY Tentang Isu Ijazah Palsu Jokowi

Rabu, 31 Desember 2025 | 12:08

KPK Dalami Dugaan Pemerasan dan Penyalahgunaan Anggaran Mantan Kajari HSU

Rabu, 31 Desember 2025 | 12:01

INDEF: MBG sebuah Revolusi Haluan Ekonomi dari Infrastruktur ke Manusia

Rabu, 31 Desember 2025 | 11:48

Pesan Tahun Baru Kanselir Friedrich Merz: Jerman Siap Bangkit Hadapi Perang dan Krisis Global

Rabu, 31 Desember 2025 | 11:40

Prabowo Dijadwalkan Kunjungi Aceh Tamiang 1 Januari 2026

Rabu, 31 Desember 2025 | 11:38

Emas Antam Mandek di Akhir Tahun, Termurah Rp1,3 Juta

Rabu, 31 Desember 2025 | 11:26

Harga Minyak Datar saat Tensi Timteng Naik

Rabu, 31 Desember 2025 | 11:21

Keuangan Solid, Rukun Raharja (RAJA) Putuskan Bagi Dividen Rp105,68 Miliar

Rabu, 31 Desember 2025 | 11:16

Wacana Pilkada Lewat DPRD Salah Sasaran dan Ancam Hak Rakyat

Rabu, 31 Desember 2025 | 11:02

Selengkapnya