Berita

Prijanto/Net

Publika

Pindah Ibukota: "Duluan Mana Penyiapan Ibukota Baru Dengan UU Pemindahannya?

SELASA, 10 SEPTEMBER 2019 | 11:30 WIB | OLEH: PRIJANTO

"BANYAK yang salah jalan tapi merasa tenang karena banyak teman yang sama-sama salah. Beranilah untuk menjadi benar walau sendirian. Katakan benar jika benar, katakan salah jika salah. Jangan gadaikan pengetahuan anugerah dari Tuhan".

Ilustrasi

Tanggal 26 Agustus 2019, lahir seorang bayi perempuan yang cantik rupawan, Millienka Aishalina Firmansyah. Hari ke-7, suster yang memandikan melihat kulit si bayi sedikit berwarna kuning. Dokter menyimpulkan, bilirubin si bayi tinggi, kurang minum. Alhamdulillah, 2x24 jam disinari dan diberi minum asi dengan sendok, bilirubin sudah normal.

Asi ibunya banyak. Tetapi mengapa si bayi bisa kekurangan minum? Dimana letak persoalannya? Si ibu memeriksakan kepada tiga orang dokter ahli anak, dengan tiga diagnose yang berbeda. Akhirnya, si ibu mengambil keputusan mengikuti diagnose yang lebih komprehensif. Alhamdulillah semua teratasi dengan baik. Berat si bayi naik secara normal.

Ilustrasi di atas memberikan pelajaran dalam banyak hal. Satu hal yang ingin disampaikan, bahwa diagnose atau identifikasi terhadap suatu masalah, walau dari pakar atau ahli yang sama, bisa berbeda satu dengan lainnya. Identifikasi bisa benar juga bisa salah, atau benar tetapi belum sempurna.

Ilustrasi ini kiranya bisa mengilhami kita dalam mencermati video Prof. Dr. Machfud MD tentang pemindahan ibukota. Ada perbedaan identifikasi dengan Dr. Irmanputra Sidin dan Dr. Margarito Kamis, yang semuanya juga pakar hukum tata negara.

Pendapat Prof. Machfud MD

Pendapat Prof. Machfud MD tentang pemindahan ibukota di bawah ini diambil dari video yang beredar di medsos. Kita cuplik, beberapa kalimat kunci yang penting, kurang lebih sebagai berikut:

Pertama; yang jelas menurut hukum tata negara yang mempunyai hak dan wewenang untuk membuat kebijakan dalam hal-hal yang sifatnya opsional seperti berencana memindahkan atau tidak memindahkan ibukota di dalam keadaannya seperti sekarang ini, adalah Presiden.

Kedua; Presiden-lah yang berwenang itu. Tidak ada aturan yang menentukan undang-undang harus dibuat lebih dulu dan kemudian baru dimulai langkah-langkah untuk memindahkan ibukota.

Ketiga; yang penting kalau semua nanti sudah siap, maka barulah pemindahan yang resmi dilakukan dengan pembentukan undang-undang baru atau perubahan terhadap undang-undang yang sudah ada.

Keempat; menurut kami, tidak ada pelanggaran prosedur dalam rencana ini, karena pemindahan resminya secara yuridis nanti, dengan undang-undang memang bisa dilakukan pada saat kita sudah benar-benar akan pindah.

Landasan Berpikir

Pertama, founding fathers and mothers dalam Badan Penyelidik Usaha Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUKI) bersidang menentukan Dasar Negara dan Undang Undang Dasar untuk Indonesia merdeka, sebelum Indonesia merdeka.

Kedua, Dasar Negara dan Undang Undang Dasar 1945 tersebut menjadi dasar dan pedoman bangsa Indonesia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam konteks ini, kita bisa mengambil pembelajaran bahwa undang-undang atau aturan ditetapkan lebih dahulu sebelum kegiatan.

Ketiga, ketatanegaraan Indonesia mengatur hubungan antar lembaga negara dalam UUD 1945. Salah satunya, bagaimana hubungan Presiden dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Meskipun Presiden sebagai Kepala Negara, Presiden tidak bertanggung jawab kepada DPR. Namun demikian, Presiden bukanlah diktaktor yang kekuasaannya tidak tak terbatas.

Kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat adalah kuat. Anggota DPR merangkap sebagai anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat. Oleh karena itu, DPR dapat senantiasa mengawasi tindakan Presiden. Sedangkan Presiden tidak bisa membubarkan DPR.

Keempat, memindahkan ibukota tentu melakukan pembangunan. Pembangunan memerlukan anggaran. Bicara anggaran tahunan harus ditetapkan dengan undang-undang tentang APBN. Agar pembangunan bisa dilaksanakan secara berkelanjutan maka diperlukan payung hukum.

Kelima, ibukota negara Indonesia di Jakarta telah ditetapkan dengan undang-undang. Artinya, pemilihan dan penentuan letak ibukota ada keterlibatan Dewan Perwakilan Rakyat.

Keenam, Ketua Komisi II DPR RI Zainudin Amali: "Rencana pemindahan ibukota bisa diproses di DPR bila pemerintah telah mengajukan naskah akademik dan RUU pemindahan ibukota".

Ketujuh, setelah RUU masuk, pembahasan dilakukan sesuai prosedur dan mekanisme baku, diantaranya ada Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan masyarakat. Jadi, walaupun pemindahan ibukota sudah diumumkan di Rapat Paripurna DPR, tidak otomatis pemindahan ibukota terlaksana.

Analisa, Diskusi dan Rekomendasi

Memang benar, kewenangan kebijakan untuk merencanakan pindah ibukota ada di Presiden atau pemerintah. Kewenangan membuat kebijakan ini sama dengan kebijakan pemerintah ketika akan membangun jalan tol lintas Sumatera dan lain-lain.

Negara Indonesia bukan negara fasisme, tetapi negara yang berkedaulatan rakyat. Oleh karena itu anggaran dan pendapatan belanja itu ditetapkan dengan undang-undang. Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui anggaran yang diusulkan pemerintah, maka pemerintah menjalankan anggaran tahun lalu.

Walaupun rancangan anggaran pendapatan dan belanja wewenang pemerintah, namun dalam hal ini kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat lebih kuat dari pada kedudukan pemerintah. Inilah tanda kedaulatan rakyat. (Pasal 23 UUD 1945).

Sebagai negara yang berkedaulatan rakyat, kewenangan DPR dan rakyat tidak boleh diabaikan. Artinya, rencana pemeritah pindah ibukota harus dibicarakan bersama DPR untuk mendapatkan persetujuan, karena akan menyangkut anggaran.

Dalam hal, narasi proyek-proyek untuk ibukota baru di dalam setiap tahun anggaran secara berkelanjutan, diperlukan payung hukum sebagai pertanggungjawaban. Payung hukum yang dimaksud adalah Undang Undang tentang Pemindahan Ibu Kota, sebagai payung membuat RAPBN oleh pemerintah.

Saat ini DPR menunggu naskah akademik dan RUU Pemindahan Ibukota. Sejak Presiden mengumumkan, berbagai pendapat sudah bergulir, antara setuju ibukota negara pindah atau tidak, dan jika pindah kemana ibukota negara yang baru nantinya.

Di dalam membahas RUU, anggota dewan akan mendengarkan aspirasi masyarakat dalam acara Rapat Dengar Pendapat (RDP). Acara ini memiliki makna bahwa RUU tidak hanya dibahas oleh perwakilan parpol saja, tetapi juga melibatkan rakyat, yang bisa dianalogikan sebagai utusan daerah dan golongan. (Pasal 2 ayat 1 UUD 1945 asli).

Dr. Irmanputra Sidin pakar hukum tata negara telah menyoroti secara gamblang pemindahan ibukota dari perspektif konstitusi, sejarah dan filosofi. (Youtube Chanel UUD TV Pemindahan Ibukota). Sedangkan Hendrajit, Direktur Global Future Institut menyatakan "Secara geopolitik, memindahkan ibukota ke Kalimantan berbahaya".

Pikiran pecinta lingkungan hidup, LIPI, TNI-Polri, tokoh perorangan Prof. Dr. Emil Salim, Dr. Margarito Kamis, purnawirawan TNI dan para pakar lainnya, akan mewarnai RDP. Dengan demikian, keputusan pindah atau tidak, bukan hanya kemauan politik Presiden, parpol tetapi juga rakyat dan sudah melalui kajian yang komprehensif, dan holistik integratif.

Andaikan sebelum ada keputusan politik ibukota pindah, pemerintah sudah membangun menyiapkan ibukota baru, dengan dalih tidak menggunakan APBN semuanya, tetapi dengan tukar guling, tetap saja ada logika hukum dan prosedur yang dilanggar. Bagaimana rakyat akan hidup dan dari mana didapatnya belanja untuk hidup, semuanya harus diketahui dan ditetapkan rakyat melalui perantara DPR.

Kegiatan penyiapan tersebut atas dasar apa, untuk apa dan dari mana dananya haruslah jelas. Bisa dibayangkan, jika penyiapan ibukota baru mendahului UU pemindahan ibukota, dan ketika pembahasan RUU Pemidahan Ibukota ditolak rakyat, apa yang akan terjadi?

Rekomendasi yang bisa disampaikan adalah "Suka tidak suka, secara nalar, mengingat Indonesia sebagai negara demokrasi yang berkedaulatan rakyat, sistem ketatanegaraan, hubungan antar lembaga dan manajemen umum, UU tentang Pemindahan Ibukota perlu lahir terlebih dahulu sebelum melakukan kegiatan penyiapan ibukota, agar negara dan bangsa Indonesia terhindar dari kesalahan dan kerugian yang fatal.

Artinya, tanpa ada undang-undang yang memayunginya, melakukan kegiatan penyiapan ibukota merupakan kegiatan yang melanggar hukum, prosedur dan norma kepatutan.

Penulis adalah Asisten Teritorial KSAD 2006-2007, pemrakarsa Rumah Kebangkitan Indonesia.

Populer

Bangun PIK 2, ASG Setor Pajak 50 Triliun dan Serap 200 Ribu Tenaga Kerja

Senin, 27 Januari 2025 | 02:16

Gara-gara Tertawa di Samping Gus Miftah, KH Usman Ali Kehilangan 40 Job Ceramah

Minggu, 26 Januari 2025 | 10:03

Viral, Kurs Dolar Anjlok ke Rp8.170, Prabowo Effect?

Sabtu, 01 Februari 2025 | 18:05

KPK Akan Digugat Buntut Mandeknya Penanganan Dugaan Korupsi Jampidsus Febrie Adriansyah

Kamis, 23 Januari 2025 | 20:17

Prabowo Harus Ganti Bahlil hingga Satryo Brodjonegoro

Minggu, 26 Januari 2025 | 09:14

Datangi Bareskrim, Petrus Selestinus Minta Kliennya Segera Dibebaskan

Jumat, 24 Januari 2025 | 16:21

Masyarakat Baru Sadar Jokowi Wariskan Kerusakan Bangsa

Senin, 27 Januari 2025 | 14:00

UPDATE

Karyawan Umbar Kesombongan Ejek Pasien BPJS, PT Timah Minta Maaf

Minggu, 02 Februari 2025 | 15:37

Sugiat Santoso Apresiasi Sikap Tegas Menteri Imipas Pecat Pelaku Pungli WN China

Minggu, 02 Februari 2025 | 15:30

KPK Pastikan Tidak Ada Benturan dengan Kortastipikor Polri dalam Penanganan Korupsi LPEI

Minggu, 02 Februari 2025 | 15:27

Tabung Gas 3 Kg Langka, DPR Kehilangan Suara?

Minggu, 02 Februari 2025 | 15:10

Ken Martin Terpilih Jadi Ketum Partai Demokrat, Siap Lawan Trump

Minggu, 02 Februari 2025 | 14:46

Bukan Main, Indonesia Punya Dua Ibukota Langganan Banjir

Minggu, 02 Februari 2025 | 14:45

Larangan LPG di Pengecer Kebijakan Sangat Tidak Populis

Minggu, 02 Februari 2025 | 14:19

Smart City IKN Selesai di Laptop Mulyono

Minggu, 02 Februari 2025 | 13:59

Salah Memutus Status Lahan Berisiko Besar Buat Rakyat

Minggu, 02 Februari 2025 | 13:45

Hamas Sebut Rencana Relokasi Trump Absurd dan Tidak Penting

Minggu, 02 Februari 2025 | 13:26

Selengkapnya