Berita

Peta Laut Natuna Utara/Net

Publika

Tapal Batas Indonesia Menyusut Di Natuna

SABTU, 07 SEPTEMBER 2019 | 19:48 WIB


Oleh: Radhar Tribaskoro

KEMARIN saya memperoleh dokumen yang membikin saya susah tidur setelahnya. Dokumen tersebut berjudul "Fenomena di kolom air ZEE Laut Natuna Kawasan Utara".

Tidak ada identitas apapun pada dokumen itu. Sumber saya mengatakan bahwa dokumen tersebut bersirkulasi di eselon satu Kementerian Koordinasi Bidang Kemaritiman.

Tidak ada identitas apapun pada dokumen itu. Sumber saya mengatakan bahwa dokumen tersebut bersirkulasi di eselon satu Kementerian Koordinasi Bidang Kemaritiman.

Saya tidak tahu seberapa jauh pemikiran di belakang dokumen itu telah dilaksanakan. Mudah-mudahan belum ada. Namun gagasan jahat di dalam dokumen tersebut perlu disampaikan ke publik. Saya tidak berkeberatan untuk melakukannya.

Apa masalahnya? Dari judulnya saja saya sudah bertanya-tanya. Penulis dokumen di atas menyebut kawasan Laut Natuna Utara sebagai Laut Natuna Kawasan Utara. Seperti kita ketahui penamaan Laut Natuna Utara diputuskan oleh Menko Maritim Rizal Ramli.

Nama baru tersebut memberi dampak yang sangat strategis, selain menegaskan kedaulatan negara atas wilayahnya, penamaan tersebut memberi Indonesia posisi tawar terkait persaingan Cina vs AS di kawasan itu. Sungguh hasil brilian yang muncul dari dapur pemikiran out of the box.

Atas kebijakan penamaan itu pemerintah Cina mengirim nota protes resmi. Jokowi menanggapinya dengan mengunjungi kawasan Natuna menggunakan kapal perang, simbol dari kesiapan membela kedaulatan negara. Kemenko Maritim Luhut B. Pandjaitan pada bulan Juli 2017 mendaftarkan nama baru tersebut ke Organisasi Hidrografik Internasional PBB, menunjukkan tekad pemerintah yang tegas dalam hal ini.

Masalah nama ini walau kelihatan sederhana memiliki makna mendalam, yaitu perihal kedaulatan. Maka saya terkejut atas judul di atas, apakah Menko Maritim telah berganti haluan, bersiap mundur dari komitmen sebelumnya?

Ternyata dokumen tersebut memiliki spirit yang berkebalikan. Dokumen itu menyebutkan bahwa "penamaan" tersebut cuma berupa wacana, bukan keputusan resmi pemerintah (padahal pemerintah telah mendaftarkan penaman baru itu ke Organisasi Hidrografik Internasional PBB pada bulan Juli 2017. Apakah langkah ini telah dibatalkan?).

Tetapi lebih jauh dari itu dokumen tersebut mengatakan bahwa "ZEE di Laut Natuna Kawasan Utara hanya klaim sepihak Indonesia saja".

Dikatakan, klaim tersebut telah ditolak oleh Malaysia dan Vietnam. Dokumen tersebut selanjutnya mengatakan bahwa total potensi perikanan di ZEE itu hanya 225 juta ton per tahun. Penulis dokumen itu merekomendasikan supaya Indonesia mau memundurkan batas ZEEnya lebih ke selatan.

Alasannya, demi perdamaian, persahabatan, supaya tidak ada eskalasi clash dan "Indonesia mendapat 45 perses pun atau sekitar 100 juta ton per tahun sudah OK". What?

Untuk pengetahuan bersama ZEE atau Zona Ekonomi Eksklusif adalah zona laut yang berdasarkan Konvensi Hukum Laut PBB 1982, hak-hak pemanfaatan sumberdaya kelautannya secara khusus diberikan kepada negara pantai terkait.

ZEE yang meliputi perairan di Selat Karimata dan Laut Natuna Utara telah ditetapkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan sebagai Wilayah Pengelolaan Perikanan atau WPP 711.

Penetapan tersebut dilakukan sesuai hukum internasional (standar FAO). Rekomendasi agar ZEE Indonesia "ditarik mundur ke selatan" tentu akan mengubah WPP 711 itu. Yang sangat aneh adalah alasan dari rekomendasi tersebut bahwa "dapat 45 persen saja sudah OK".

Saya tidak paham alasan itu, bukankah tapal batas itu merefleksikan kedaulatan negara? Apakah kedaulatan itu hanya berkenaan dengan nilai ekonomi suatu wilayah saja?

Bukankah tapal batas Negara Republik Indonesia digariskan sesuai peraturan internasional, bukan karena suka-suka sendiri? Apakah suatu pemerintahan lima tahunan boleh memundurkan tapal batas negara? Darimana datang norma, "dapat 45 persen saja sudah OK", memangnya kedaulatan itu proses jual-beli?"

Kita ingin hidup damai berdampingan dengan negara tetangga. Tetapi saya tidak pernah dengar ada negara melepaskan kedaulatannya untuk membeli "perdamaian".

Lucu bagi saya kalau negara sebesar Indonesia takut kalau "nanti kapal Vietnam menabrak KRI". Kalau menabrakkan kapal bisa membikin kita memundurkan tapal batas kita, apa bukannya nanti 100 kapal akan menabrak kita?

Jadi kita bicara soal hak kedaulatan. Maknanya pertama, kita boleh dan berhak menamai suatu tempat di wilayah kedaulatan kita sesuai keinginan kita.

Kedua, kita menorehkan garis tapal batas kita sesuai dengan hukum internasional. Mandat pemerintah adalah mempertahankan tapal batas itu. Bukan memperjual-belikannya.
Radhar Tribaskoro Penulis adalah Pencetus Yayasan Indonesia Bangkit.

Populer

Masih Sibuk di Jogja, Pimpinan KPK Belum Tahu OTT di Lampung Tengah

Selasa, 09 Desember 2025 | 14:21

Pura Jadi Latar Film Porno, Hey Bali: Respons Aparat Dingin

Selasa, 09 Desember 2025 | 21:58

Kebun Sawit Milik POSCO Lebih dari Dua Kali Luas Singapura

Senin, 08 Desember 2025 | 19:12

Mahfud MD soal Bencana Sumatera: Menyuruh Pejabat Mundur Tidak Relevan

Rabu, 10 Desember 2025 | 05:53

Bangun Jembatan Harapan

Minggu, 07 Desember 2025 | 02:46

Distribusi Bantuan di Teluk Bayur

Minggu, 07 Desember 2025 | 04:25

Bahlil Minta Maaf Usai Prank Presiden Prabowo

Selasa, 09 Desember 2025 | 18:00

UPDATE

Kreditur Tak Boleh Cuci Tangan: OJK Perketat Aturan Penagihan Utang Pasca Tragedi Kalibata

Rabu, 17 Desember 2025 | 08:15

Dolar Melemah di Tengah Data Tenaga Kerja AS yang Variatif

Rabu, 17 Desember 2025 | 08:00

Penghormatan 75 Tahun Pengabdian: Memori Kolektif Haji dalam Buku Pamungkas Ditjen PHU

Rabu, 17 Desember 2025 | 07:48

Emas Menguat Didorong Data Pengangguran AS dan Prospek Pemangkasan Suku Bunga Fed

Rabu, 17 Desember 2025 | 07:23

Bursa Eropa Tumbang Dihantam Data Ketenagakerjaan AS dan Kecemasan Global

Rabu, 17 Desember 2025 | 07:01

Pembatasan Truk saat Nataru Bisa Picu Kenaikan Biaya Logistik

Rabu, 17 Desember 2025 | 06:46

Dokter Tifa Kecewa Penyidik Perlihatkan Ijazah Jokowi cuma 10 Menit

Rabu, 17 Desember 2025 | 06:35

Lompatan Cara Belajar

Rabu, 17 Desember 2025 | 06:22

Jakarta Hasilkan Bahan Bakar Alternatif dari RDF Plant Rorotan

Rabu, 17 Desember 2025 | 06:11

Dedi Mulyadi Larang Angkot di Puncak Beroperasi selama Nataru

Rabu, 17 Desember 2025 | 05:48

Selengkapnya