Direktur Utama PT Karya Citra Nusantara (KCN) Widodo Setiadi menjelaskan perihal permasalahan antara PT Kawasan Berikat Nusantara (KBN) Persero dan PT Karya Tekhnik Utama (KTU) dalam pembangunan proyek pembangunan Pelabuhan Marunda di Jakarta Utara.
Widodo mengatakan, awal mula permasalahan muncul pada 2012 ketika Sattar Taba menjadi Direktur Utama KBN. Direksi KBN saat itu mengundang KCN dan memintanya menjadi pemegang saham minoritas. Namun, KCN menolak permintaan tersebut karena tidak mau ada aliran uang negara di perusahaan tersebut.
Selain itu, KCN tidak ingin proyek ini dipolitisasi dan menganggap perusahaan ini hanya broker yang mencari keuntungan saja dan menjaga nama baik di perbankan.
"Penolakan ini mengakibatkan penutupan akses jalan, sehingga aktivitas bongkar muat tidak bisa berjalan. Kegiatan pembangunan terhenti dan kemudian ada pemeriksaan-pemeriksaan oleh Kejaksaan," ujar Widodo dalam keterangannya, Kamis (29/8).
Menurut Widodo, KBN menunjuk jaksa pengacara negara untuk memediasi, dan akhirnya dicapai kesepakatan komposisi baru pemegang saham, masing-masing 50 persen. Selanjutnya, KBN meminta agar pembayaran diangsur dalam waktu satu tahun, namun tidak berjalan sehingga diperpanjang lagi selama tiga bulan.
Pada 21 Desember 2015, KBN meminta agar komposisi kepemilikan saham kembali ke perjanjian awal, karena Kementerian BUMN tidak menyetujui pembelian saham itu. Saat itu juga Dewan Komisaris KBN meminta diadakan RUPS luar biasa untuk kembali ke kompoisisi awal, dan akhirnya dibuatkan adendum 4.
"Sayangnya sampai saat ini adendum 4 belum ditandatangani oleh KBN dengan alasan masih menunggu pemegang saham," ujar dia.
Widodo menyebut bahwa negara tidak mengeluarkan modal untuk membangun Pelabuhan Marunda. Sebaliknya, negara mendapat privilege berupa goodwill, sebesar 15 persen. Karena dianggap memiki akses jalan, berapapun nilainya, dan sudah berjalan.
Namun, lanjut Widodo, KCN dianggap berinisiatif mengadakan konsesi dengan kementerian, seolah mereka melakukan dengan pihak komersil, pihak ketiga. Padahal hal tersebut merupakan amanat UU 17/2008. Bahwa hirarki pelabuhan ada tiga, yaitu pelabuhan umum, khusus dan khusus untuk kepentingan sendiri.
"PT KCN didakwa melakukan tindak pidana korupsi yang merugikan uang negara. Padahal proyek ini merupakan proyek non APBN dan APBD. Jadi tidak ada uang negara," papar Widodo.
Ditambahkannya, kewajiban KBN adalah mengurus perizinan, sementara KTU menyiapkan pendanaan dan pembangunan pelabuhan. Komposisi kepemilikan saham 85 persen KTU dan 15 persen KBN.
Widodo juga memaparkan sejumlah kajanggalan gugatan KBN. Menurut dia, gugatan diajukan oleh BUMN kepada Kementerian Perhubungan yang mempersoalkan masalah konsesi. Padahal, yang berkompeten mengelola dan mengurus pelabuhan adalah pihak Kemenhub. Sementara yang berhak melakukan konsesi adalah Menhub, KBN tidak berhak.
"Pembangunan pelabuhan dilakukan tanpa seizin PT KBN. Pertanyaannya adalah apakah perairan itu milik KBN? Tidak. Milik KBN itu daratannya sampai bibir pantai sepanjang 1.700 meter bibir pantai. Kementerian Perhubungan berurusan dengan perairannya, dan dikonsesikan. kenapa konsesi? Karena konsesi itu menyatakan bahwa pelabuhan itu milik negara, bukan reklamasi. Kalau reklamasi itu milik swasta," tambahnya.
Masih jelas Widodo, tidak ada kerugian negara dalam perjanjian konsesi, karena negara tidak mengeluarkan dana sepeserpun di lahan ini. Sebaliknya, negara diuntungkan. Apalagi, lahan konsesi tersebut akan menjadi milik negara setelah 70 tahun, dan setiap bulan ada kewajiban yang disetor kepada negara sebesar 5 persen dari pendapatan bruto.
"PT KCN merupakan perusahaan patungan antara KBN dan KTU sebagai wasta, yang sudah berkiprah selama 35 tahun di bisnis maritim di Indonesia. KCN ini asli putra bangsa, lahir di Indonesia. Tidak sedikitpun pihak asing yang memiliki saham di PT KTU," pungkasnya.