Donald Trump dan Hassan Rouhani/Net
Presiden Perancis Emmanuel Macron menjamu tamu-tamunya dari 6 negara maju yang tergabung dalam kelompok negara-negara G-7, sebagai tuan rumah Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) yang diselenggarakan di kota Biarritz, Perancis.
Sebelum acara dibuka secara resmi, pada Senin (26/8) di tempat diselenggarakannya KTT Macron menerima Menlu Iran Mohammad Javad Zarif. Dikabarkan Macron dan Zarif berbicara lebih dari tiga jam.
Pada saat memberikan sambutan penutupan, Macron menyampaikan bahwa dirinya sedang mempersiapkan pertemuan antara Presiden Amerika Donald Trump dengan Presiden Iran Hassan Rouhani.
Pertemuan diharapkan akan dilakukan dalam beberapa pekan ke depan, untuk menemukan penyelesaian atas ketegangan yang terjadi antara kedua negara, akibat keluarnya Amerika dari Joint Comprehensive Plant of Action (JCPOA) yang berujung pada sangsi yang diderita oleh Iran.
Seluruh kepala negara anggota G-7 hadir dalam pertemuan ini, termasuk Presiden Amerika Donald Trump. Dikabarkan Trump tidak menyukai kehadiran Zarif, akan tetapi ia tidak kuasa menolaknya.
Paling tidak ada dua pesan penting yang perlu ditangkap dari manuver politik yang dilakukan oleh Presiden Perancis dalam perhelatan yang amat penting tersebut.
Pertama, Perancis dan sekutu-sekutunya paling tidak yang tergabung dalam Uni Eropa, tidak begitu saja mengikuti kemauan Amerika dalam masalah nuklir Iran. Jika Amerika tidak segera mengubah langkah keras yang diambilnya, apalagi sampai menggunakan kekuatan militer, maka Perancis dan sekutu Eropanya akan mengambil jalan sendiri.
Kedua, Perancis dan sekutu-sekutunya mencoba menekan Amerika untuk mengubah pendekatan yang digunakan, dengan lebih mengedepankan pendekatan non militer. Dengan kata lain, Perancis mendorong Washington untuk menyelesaikannya dengan cara diplomatik, dan Paris siap menjadi mediator.
Dalam kontek pertarungan diplomatik antara Washington vs Teheran, tampaknya Teheran berhasil memanfaatkan momentum yang amat penting ini dengan cerdik. Atau mungkin saja akibat Washington yang ke lewat jumawa, sehingga kecolongan di panggung politik besar dan bergengsi yang seharusnya menjadi miliknya, mengingat yang hadir adalah sekutu Amerika sendiri.
Jika pertemuan antara Trump dengan Rouhani tidak terjadi, maka Iran akan mendapatkan satu poin kemenangan. Penolakan Amerika akan dimaknai sebagai penolakan atas inisiatif Perancis ini.
Sedangkan bila pertemuan antara orang nomor satu Amerika dengan orang nomor satu Iran terwujud, maka Iran akan mendapatkan dua poin kemenangan. Hal ini disebabkan digelarnya pasukan Amerika secara besar-besaran yang bertujuan menekan dan menggertak Iran ternyata gagal.
Meskipun demikian, jika kemungkinan kedua yang terjadi diperkirakan perundingan tidak akan mudah, mengingat Washington tidak hanya akan berusaha mengendalikan kemampuan nuklir Iran, sebagaimana dilakukan pada JCPOA yang ditandatangani tahun 2015, akan tetapi juga akan menambah klausul baru terkait upayanya untuk juga mengendalikan kemampuan rudal Iran yang berkembang dengan pesat.
Di sisi lain Teheran menegaskan perundingan dengan Amerika baru bisa dimulai, jika sangsi ekonomi terhadap Teheran dicabut terlebih dahulu. Selain itu, Ayatullah Ali Khameni sebagai pemimpin spiritual tertinggi yang memiliki hak veto dalam masalah ini, telah menegaskan bahwa program rudal Iran tidak untuk dinegosiasikan.
Menurut Reuters sampai bulan lalu, akibat embargo Amerika, ekspor minyak Iran terus menurun sampai sekitar 300.000 ribu barrel perhari. Padahal pihak Iran menginginkan bisa mengekspor minimal 700.000 barrel perhari. Dan Iran menginginkan bisa terus meningkatkan ekspor minyaknya, sampai 1,5 juta barrel pe rhari, sesuai kemampuan produksi maksimalnya.
September mendatang Majelis Umum PBB di New York, akan mengadakan sidang. Diperkirakan Trump dan Rouhani akan hadir pada hajatan akbar ini. Kita tunggu, apakah inisiatif Presiden Perancis kali ini akan berhasil atau tidak.
Penulis adalah pengamat politik Islam dan demokrasi