PEMILU di Israel yang berlangsung pada bulan April, meskipun menempatkan Partai Likud yang dipimpin Benyamin Netanyahu dan koalisinya yang mengusung dirinya sebagai calon Perdana Mentri kembali muncul sebagai pemenang. Akan tetapi Bibi panggilan akrabnya gagal dalam membentuk kabinet.
Kegagalannya disebabkan partai Yisrael Beiteinu yang dipimpin Avigdor Liberman yang menjadi sekutunya, menolak bergabung dalam pemerintahan. Partai Liberman ini sebenarnya kecil, akan tetapi sangat menentukan jumlah minimal untuk menjadi mayoritas di Kneseset sesuai Undang-undang Pemilu di Israel. Penolakan Liberman ini disebabkan sejumlah syarat yang dimintanya tidak disetujui oleh Bibi.
Sesuai dengan Undang-undang yang berlaku di Israel, ketika sampai tenggat waktu yang ditetapkan, Kabinet belum juga berhasil dibentuk oleh pemenang, maka dilakukan pemilu ulang.
17 September , bulan depan pemilu ulang akan dilaksanakan. Menurut sejumlah jejak pendapat, tidak akan banyak perubahan perolehan kursi di Kneseset (Parlemen) dibanding pemilu empat bulan lalu.
Bigitu juga situasinya dengan kandidat Perdana Mentri, Benyamin Netanyahu calon dari Likud dan koalisinya, masih mengungguli Benjamin Gantz yang diusung oleh koalisi Biru-Putih.
Dalam kampanyenya Bibi selalu menekankan tiga hal: Menolak berdirinya negara Palestina; Aneksasi Tepi Barat; dan menempatkan Iran sebagai ancaman utama negara Zionis tersebut.
Sementara itu, Benjamin Gantz yang menjadi lawannya dalam kampanyenya menolak aneksasi Tepi Barat, mengambang dalam masalah negara Palestina, dan selalu mendengungkan kelemahan lawannya sebagai petahana, yang dimata publik Israel dituduhnya sebagai korup dan pembohong. Bagian terakhir ini sebenarnya yang menjadi daya tarik paling kuat dari sang penantang.
Bibi sebagai petahana yang berhasil menjadi Perdana Mentri Israel terlama, tampaknya tetap menggunakan jurus klasiknya, yakni dengan mengeksploitasi perasaan terkepung dan terancam rakyatnya. Dirinya kemudian tampil sebagai pemimpin yang kuat dan pemberani yang siap melindungi mereka dengan carenghajar siapa saja yang dianggap sebagai ancaman.
Implikasi dari strategi ini adalah rangkaian kekerasan selalu muncul setiap menjelang pemilu. Bedanya, jika sebelumnya rakyat Palestina baik di Tepi Barat maupun Gaza yang jadi sasaran, atau Rakyat Lebanon, atau Rakyat Suriah, maka kali ini milisia-milisia sekutu Iran yang jadi sasaran, baik yang berada di Irak, Lebanon, Yaman, maupun Suriah.
Selain untuk keperluan jangka pendek kampanyenya dalam rangka pemilu, Bibi juga memanfaatkan kelemahan musuh-musuh Israel, akibat kurangnya suplai logistik akibat embargo yang dijatuhkan Amerika terhadap Iran.
Bagi Hizbullah di Lebanon, Al Hashd Al Shaabi di Irak, Houthi di Yaman, dan berbagai milisia Syiah yang beroperasi di Suriah, serangan-serangan Israel kali ini menguji ketahanan dan ketangguhan mereka menghadapi negara Zionis saat dukungan logistik dari Teheran sangat minim akibat embargo.
Mampukah mereka bertahan, atau malah semakin kuat? Hal ini tentu sangat ditentukan oleh militansi dan semangat mereka di medan tempur.
Penulis adalah pengamat politik Islam dan demokrasi.