Berita

Joko Widodo dan Maruf Amin/Net

Politik

Mewujudkan Kabinet Ahli

SABTU, 13 JULI 2019 | 04:59 WIB | OLEH: PANGI SYARWI CHANIAGO

POWER sharing begitu sulit, gampang-gampang susah seperti habis memenangkan perang, sulit membagi harta rampasan perang. Akan banyak pahlawan kesiangan yang ngaku-ngaku paling berkeringat. Dalam situasi seperti ini bagaimana membagi kue kekuasaan?

Dalam politik bicara apa, mendapat apa, siapa dan bagaimana? Logika politik semacam ini akan membuat banyak kepentingan politik memberikan tekanan untuk memaksimalkan sumber daya yang akan mereka raih. Sehingga kompromi politik dan langkah akomodatif akan selalu menjadi jalan tengah yang akan diambil presiden terpilih untuk “mengamankan” posisinya dan untuk meredam gejolak politik.

Partai politik sebagai salah satu instrumen utama dalam sistem demokrasi memainkan peranan yang sangat penting dalam hiruk-pikuk perebutan kekuasaan. Di tengah sistem politik hybrid (campuran) yang kita anut memungkinkan partai politik mengabaikan etika dan fatsun politik sehingga tidak akan malu-malu meminta jatah lebih atas kursi menteri yang sedang diperebutkan.


Belajar dari pengalaman yang sudah-sudah, partai politik akan selalu mendominasi kursi menteri. Sehingga mengabaikan partai politik adalah suatu hal yang mustahil.

Ada partai yang malu-malu kucing, ada partai yang mengonggong dari pagar rumah, minta tulang ke majikannya. Partai yang langsung tanpa pakai basa-basi minta 10 kursi menteri dari unsur partai, ada partai yang minta jatah ormas dengan partai dipisah.

Ada partai yang diam saja, merasa enggak pantas meminta kursi menteri demi menjaga fatsun politik, bicara konteks asas kepatutan, apakah ada yang salah? Kalau hanya sebatas usulan. Apakah hal ini lumrah atau wajar meminta dan menyodorkan nama menteri? Saya mahfum melihat partai yang sudah berjuang memenangkan calon presidennya meminta jatah kursi menteri.

Tak ada makan siang gratis, Jokowi harus merepresentasikan unsur partai, ormas, tim sukses dan relawan yang sudah berkeringat dan berdarah darah. Wajar ormas yang memainkan peran kecil sekalipun tak ketinggalan meminta jabatan menteri.

Namun jauh lebih penting Jokowi memilih tidak hanya soal sebatas memenuhi representasi partai, ormas, profesional, tim sukses dan relawan, namun benar-benar mewujudkan kabinet ahli, menteri ahli di bidangnya, kalau tidak tunggu saja kehancuran. Menteri yang bisa bekerja cepat, disiplin, mau bersabar, laten terhadap kerja-kerja teknis dan detail, mampu mengimbangi kerja cepat presiden, punya terobosan dan narasi besar memajukan bangsa dan negara.

Apakah masih relevan bicara unsur profesional dan unsur partai, menurut saya sudah enggak relevan, jauh lebih penting dari kader partai namun profesional dan betul-betul ahli. Dengan kata lain dikotomi antara profesional dan kader partai sudah harus ditinggalkan. Partai politik harus memastikan kader yang mereka kirim adalah profesional, berkemampuan dan ahli di bidangnya.

Tantangan Pak Jokowi sangat berat kedepannya, dengan kata lain, salah mengambil menteri, maka sama saja bunuh diri bagi pemerintahan Jokowi. Jokowi harus penuh "kehati-hatian” dalam merekrut pembantunya, sudah saatnya pemerintahan Jokowi periode kedua ini lebih fokus pada kinerja ketimbang citra untuk dapat meninggalkan legacy yang dapat dikenang dan menjadi sejarah di kemudian hari.

Oleh karena itu, semangat “demokrasi deleberatif” penting dalam memilih, memilih menteri dengan semangat penuh kehati-hatian. Jangan an-sich mengakomodir, merepresentasikan kepentingan politik bagi-bagi kue kekuasaan semata.  

Jangan sampai nanti karena salah memilih menteri, Jokowi disibukkan dengan reshuffle berkali-kali, akibat salah memilih pembantunya. Gonta-ganti menteri berkali kali dapat memperlambat akselarasi kerja kementerian itu sendiri, menteri baru harus beradaptasi kembali dan mulai dari nol lagi.

Terakhir, apakah calon menteri perlu diumumkan ke masyarakat? Calon menteri yang sudah di rekomendasikan partai ke saku presiden. Menurut saya, sangat penting disosialisasikan ke masyarakat agar tidak salah, melibatkan rakyat langsung mengawasi proses rekrutmen bagian dari partisipasi politik.

Pangi Syarwi Chaniago
Analis Politik sekaligus Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting

Populer

Mantan Jubir KPK Tessa Mahardhika Lolos Tiga Besar Calon Direktur Penyelidikan KPK

Rabu, 24 Desember 2025 | 07:26

Mantan Wamenaker Noel Ebenezer Rayakan Natal Bersama Istri di Rutan KPK

Kamis, 25 Desember 2025 | 15:01

Sarjan Diduga Terima Proyek Ratusan Miliar dari Bupati Bekasi Sebelum Ade Kuswara

Jumat, 26 Desember 2025 | 14:06

Kejagung Copot Kajari Kabupaten Tangerang Afrillyanna Purba, Diganti Fajar Gurindro

Kamis, 25 Desember 2025 | 21:48

Camat Madiun Minta Maaf Usai Bubarkan Bedah Buku ‘Reset Indonesia’

Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16

8 Jenderal TNI AD Pensiun Jelang Pergantian Tahun 2026, Ini Daftarnya

Rabu, 24 Desember 2025 | 21:17

Adik Kakak di Bekasi Ketiban Rezeki OTT KPK

Senin, 22 Desember 2025 | 17:57

UPDATE

Investigasi Kecelakaan Jeju Air Mandek, Keluarga Korban Geram ? ?

Sabtu, 27 Desember 2025 | 17:52

Legislator Nasdem Dukung Pengembalian Dana Korupsi untuk Kesejahteraan Rakyat

Sabtu, 27 Desember 2025 | 17:43

Ledakan Masjid di Suriah Tuai Kecaman PBB

Sabtu, 27 Desember 2025 | 16:32

Presiden Partai Buruh: Tidak Mungkin Biaya Hidup Jakarta Lebih Rendah dari Karawang

Sabtu, 27 Desember 2025 | 16:13

Dunia Usaha Diharapkan Terapkan Upah Sesuai Produktivitas

Sabtu, 27 Desember 2025 | 15:26

Rehabilitasi Hutan: Strategi Mitigasi Bencana di Sumatera dan Wilayah Lain

Sabtu, 27 Desember 2025 | 15:07

Pergub dan Perda APBD DKI 2026 Disahkan, Ini Alokasinya

Sabtu, 27 Desember 2025 | 14:52

Gebrakan Sony-Honda: Ciptakan Mobil untuk Main PlayStation

Sabtu, 27 Desember 2025 | 14:24

Kebijakan Purbaya Tak Jauh Beda dengan Sri Mulyani, Reshuffle Menkeu Hanya Ganti Figur

Sabtu, 27 Desember 2025 | 14:07

PAN Dorong Perlindungan dan Kesejahteraan Tenaga Administratif Sekolah

Sabtu, 27 Desember 2025 | 13:41

Selengkapnya