Berita

Ilustrasi/Net

Politik

Potensi Aktivis 98 Jadi Menteri, Dari Adian Hingga Tobas

RABU, 03 JULI 2019 | 23:49 WIB | LAPORAN: YELAS KAPARINO

. Label “aktivis 98” tetiba jadi barang yang nilainya berharga saat ini. Bolehlah berharap-harap cemas dapat telpon super penting dari Presiden terpilih Joko Widodo untuk dijadikan pejabat teras di pemerintahan.

Siapapun tokoh politik, ormas, atau profesional independen, yang dalam biografinya tersemat atau menyematkan sejarah aktivisme sebagai mahasiswa pejuang yang ikut menentang dan merobohkan kekuasaan Orde Soeharto pada tahun 1998, patut berharap.

Semoga saja bukan basa-basi. Pasalnya, pada kesempatan halal bi halal aktifis 98 di Jakarta, 16 Juni lalu, Jokowi mengeluarkan pernyataan bahwa aktivis 98 berpotensi menduduki jabatan menteri dan dubes. Sebelumnya, dalam kesempatan terpisah, Presiden juga mengeluarkan pernyataan bahwa sudah saatnya kaum muda diberikan kepercayaan untuk menjadi anggota kabinet pemerintahan.


Tampilnya tokoh muda sebagai menteri, sebetulnya bukanlah hal baru dalam sejarah perjalanan republik. Bahkan, Soekarno saja menjadi Presiden (bukan hanya menteri) di usia 44 tahun, usia rata-rata terendah para (mantan) aktivis 98 saat ini.

Saat Soeharto mulai menjadi Presiden pada akhir 60-an, banyak tokoh dari angkatan 66 juga ia jadikan Menteri di usia muda. Pun demikian di jaman Presiden-Presiden pasca Soeharto. Di masa reformasi, sebagai contoh, Presiden SBY tahun 2009 menunjuk Helmy Faishal Zaini (politisi PKB dan eks aktivis pers mahasiswa cum PMII, kini menjadi Sekjen PBNU) sebagai Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal sewaktu usianya ‘baru’ 37 tahun.

Lantas, siapa saja sih aktivis 98 yang pantas untuk menjadi menteri saat ini? Jawabnya, tentu, banyak yang pantas. Sebab, faktanya, aktivis-aktivis 98 telah menduduki berbagai jabatan politik dan pemerintahan tingkat tinggi, juga tak sedikit yang menunjukkan kiprah menonjol di jalur birokrasi dan bidang-bidang profesional lainnya.

Yang paling sering disebut, bahkan namanya dielu-elukan hadirin dalam acara halal bi halal yang dihadiri Jokowi itu, adalah Adian Napitupulu. Adian bersama jaringan “Pena 98” dan jaringan-jaringan lain yang sekawan mungkin adalah pihak yang paling aktif membawa label “aktivis 98”, termasuk dalam memobilisasi dukungan politik untuk Jokowi.

Adian saat ini adalah politisi PDI Perjuangan dan pimpinan ormas Pospera (Posko Perjuangan Rakyat). Pada musim kampanye Pemilu lalu, alumni Universitas Kristen Indonesia (UKI) dan mantan salah satu pentolan Forkot (Forum Kota) itu bersama kelompoknya menyelenggarakan acara pengerahan massa bertajuk “Rembug Aktivis 98” guna mendeklarasikan dukungan untuk pasangan Jokowi-Ma’ruf.

Agak jauh sebelumnya, di awal 2017, Adian bersama ‘jaringan’ aktivis 98-nya juga disebut-sebut berada di belakang acara jambore mahasiwa di Cibubur yang berakhir dengan demonstrasi di depan rumah mantan Presiden SBY di Kuningan, Jakarta.

Dalam kesempatan itu, sebuah mobil yang penuh nasi bungkus tertinggal di depan rumah SBY. Adian menampik bahwa mobil itu miliknya, walau ia terlibat dalam pemberian materi acara di Cibubur itu. Sayangnya, informasi mengenai kepemilikan mobil yang dianggap mirip dengan mobil Adian itu tetap gelap hingga sekarang.

Harus diakui bahwa dengan berbagai kegiatannya, Adian dkk berhasil melakukan politik persuasi kepada publik dan lingkaran paling dalam di kekuasaan bahwa “aktivis 98” tak boleh diabaikan dan sudah saatnya diberikan mandat yang lebih signifikan dalam pemerintahan.

Meski demikian, terkait nama Adian yang diusulkan sebagai calon menteri oleh para tamu halal bi halal itu, tentu masih menjadi subyek yang perlu diperbincangkan oleh Presiden dengan Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri. Sebab, Adian adalah politisi PDI Perjuangan, dan pembicaraan mengenai wakil-wakil PDI Perjuangan di dalam kabinet tentu harus melibatkan sang Ketua Umum.

Apabila Ibu Mega memberikan lampu hijau pada pencalonan Adian sebagai menteri, mungkin pos jabatan yang pas ditawarkan kepadanya adalah Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Ini sesuai dengan latar belakangnya sebagai pegiat advokasi, eks pengacara publik dan anggota komisi III DPR RI.

Di dalam tubuh PDI Perjuangan sendiri banyak aktivis 98, meskipun rata-rata memiliki gaya politik dan retorika yang berbeda dari Adian.

Ada Budiman Sudjatmiko, eks Ketua Umum Partai Rakyat Demokratik (PRD), organ perlawanan tahun 90-an yang menjadi musuh Orde Soeharto. Budiman bergerak menjadi aktivis jauh sebelum Soeharto berada di ujung tanduk. Jebolan UGM dan Cambridge University, Inggris, ini terlibat dalam pengorganisiran masyarakat korban pembangunan sejak akhir 80-an semasa ia masih duduk di bangku SMA Muhammadiyah I Yogyakarta.

Namun, alih-alih membawa label 98 atau 90-an, Budiman lebih nyaman tampil membawa narasi mengenai “desa” atau “revolusi industri 4.0”. Selama kampanye 2014 dan 2019, ia paling aktif  dicounter kubu Prabowo mengenai ihwal Undang-Undang Desa dan Dana Desa.

Setelah gigih berjuang untuk merebut kursi di Senayan, Budiman mendirikan kumpulan “inovator 4.0” untuk merespon perkembangan terbaru di dunia industri. Dimana kecerdasan buatan dan otomasi menjadi salah satu cirinya. Dengan latar belakang demikian, andai Jokowi dan para pemilik hak suara dalam penyusunan kabinet bersepakat, Budiman layak dinominasikan menjadi Ketua Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf).

Aktivis 98 lain dari kandang banteng yang sepakterjangnya menonjol, meski tampilannya low profile, adalah Masinton Pasaribu. Ia mantan “jenderal lapangan”aksi-aksi demonstrasi tahun 1998 bersama Famred (Front Aksi Mahasiswa untuk Reformasi dan Demokrasi) dan FPPI (Front Perjuangan Pemuda Indonesia).

Bakat kepemimpinannya di kalangan pemuda ia lanjutkan dengan menjadi Ketua Umum Repdem (Relawan Perjuangan Demokrasi, ormas PDI Perjuangan yang mewadahi pemuda aktivis) hingga dua periode.

Sebagai mantan staf khusus Taufik Kiemas (TK) semasa jadi Ketua MPR, anggota Komisi III DPR RI ini mewarisi gaya dan pendekatan TK dalam berpolitik: luwes bergaul dengan semua kalangan dan ringan langkah dalam ‘merajut’ komunikasi secara informal.

Dalam pantauan Kantor Berita RMOL, Masinton adalah satu-satunya politisi teras PDI Perjuangan yang terlihat ikut menjemput jenazah mantan Ibu Negara, Ani Yudhoyono, di bandara Halim Perdana Kusumah, awal Juni lalu.

Dengan keluwesannya berkomunikasi politik serta kemampuan leadership ala TK, akan sangat menarik untuk membayangkan Masinton menjadi Menteri Pemuda dan Olahraga yang salah satu tugas rutinnya adalah menengahi konflik laten di tubuh organisasi kepemudaan di Indonesia. Namun begitu, imajinasi demikian hanya mungkin diwujudkan apabila Masinton beroleh tugas dari partai untuk berkiprah di kabinet.

Aktivis 98 lain dari kubu pro Jokowi yang potensial untuk dicalonkan jadi menteri juga tersebar di parpol-parpol lain. Sebut saja Dita Indahsari dan Faisol Riza dari PKB, meski jalan mereka untuk berolah restu Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar tentu juga tidak mudah.
 
Dita memiliki sejarah panjang sebagai pemimpin buruh serta menjadi staf khusus Menteri Tenaga Kerja di era SBY dan Jokowi. Mantan Ketua Umum FNPBI dan jebolah Fakultas Hukum UI itu sangat layak dipertimbangkan menjadi Ketua Badan Perlindungan dan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (BNP2TKI) menggantikan Nusron Wahid.

Sementara itu, Faisol Riza, salah satu korban penculikan aktivis di tahun 98, dikenal sebagai pembina olahraga yang memiliki kemampuan manajerial jempolan. Ia mengetuai federasi olahraga panjat dinding yang menyumbang hampir setengah lusin medali emas pada Asian Games lalu.

Saat ini duduk pada Komisi Keuangan DPR RI. Keunikan putra Madura ini, meski memiliki latar belakang pendidikan pesantren NU yang kental, ia menamatkan gelar sarjananya pada institusi pendidikan Katholik, yakni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara.

Sosok Faisol pas untuk dinominasikan memimpin Kementerian Agama. Sebab, Kemenag bukan hanya menuntut pemahaman yang baik mengenai agama-agama dan menguasai jaringan para pemimpin lintas kelompok agama, tetapi juga dituntut kemampuan manajerial yang mumpuni mengingat Kementerian Agama selama dua periode terakhir selalu digoncang kasus korupsi.

Karena selama dua periode yang bermasalah itu, Kemenag selalu dipimpin kader NU, maka publik tentu menginginkan agar apabila pos tersebut masih menjadi jatah NU, hendaknya dipimpin kader yang memiliki skill manajerial dan leadership yang jempolan sehingga tak merepotkan NU maupun PKB.

Untuk pos Menteri Agama, politisi muda Golkar yang juga kader HMI Ace Hasan Syadzily, layak dinominasikan. Setelah citra Nusron Wahid tercederai oleh peristiwa Operasi Tangkap Tangan KPK dalam kasus dugaan money politics Pemilu 2019 di Jawa Tengah, Ace menjadi the rising star Golkar yang paling menjanjikan.

Alumni UIN Syarif Hidayatullah itu layak mendamba restu Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto agar diperbolehkan ikut “membidik” jabatan Menteri Agama. Kelebihan Ace adalah, ia mewakili kutub Islam modernis dan tradisional sekaligus. Meski aktif di HMI dan KAHMI yang dianggap mewakili kubu modernis, juru bicara TKN Jokowi-Ma’ruf itu sesungguhnya merupakan putra ulama NU di Banten.

Dari Partai Nasdem, nama Taufik Basari (Tobas). Eksponen 98 dari Universitas Indonesia, juga layak dinominasikan untuk masuk dalam kabinet mendatang. Eks aktivis KBUI (keluarga Besar UI) ini mengantongi gelar kesarjanaan ganda dari Departemen Filsafat dan Fakultas Hukum UI serta lulus program master dari Northwestern University, Amerika Serikat.

Taufik Basari memiliki jejak kiprah yang menonjol pada LBH (Lembaga Bantuan Hukum) Jakarta dan YLBHI, serta menjadi anggota tim hukum pasangan Jokowi-Ma’ruf. Ia layak ditimbang-timbang oleh Ketua umum Partai Nasdem Surya Paloh untuk menjadi Jaksa Agung menggantikan Prasetyo.

Jika Jokowi pada akhirnya memutuskan bahwa jabatan jaksa Agung seyogyanya dikembalikan sebagai “jatah” jaksa karir atau tokoh non parpol seperti pada jaman Presiden-Presiden sebelumnya, maka Tobas layak pula dinominasikan jadi Menteri Hukum dan HAM.

Di samping aktivis-aktivis 98 yang menjadi pendukung Jokowi-Ma’ruf, banyak pula aktivis-aktivis 98 dari kubu oposisi maupun mereka yang berkiprah sebagai profesional di luar lapangan politik, yang tak kalah layak untuk diperhitungkan sebagai calon-calon menteri pada kabinet mendatang.

Populer

Mantan Jubir KPK Tessa Mahardhika Lolos Tiga Besar Calon Direktur Penyelidikan KPK

Rabu, 24 Desember 2025 | 07:26

Kejagung Copot Kajari Kabupaten Tangerang Afrillyanna Purba, Diganti Fajar Gurindro

Kamis, 25 Desember 2025 | 21:48

Sarjan Diduga Terima Proyek Ratusan Miliar dari Bupati Bekasi Sebelum Ade Kuswara

Jumat, 26 Desember 2025 | 14:06

Mantan Wamenaker Noel Ebenezer Rayakan Natal Bersama Istri di Rutan KPK

Kamis, 25 Desember 2025 | 15:01

8 Jenderal TNI AD Pensiun Jelang Pergantian Tahun 2026, Ini Daftarnya

Rabu, 24 Desember 2025 | 21:17

Camat Madiun Minta Maaf Usai Bubarkan Bedah Buku ‘Reset Indonesia’

Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16

Adik Kakak di Bekasi Ketiban Rezeki OTT KPK

Senin, 22 Desember 2025 | 17:57

UPDATE

KPK Usut Pemberian Rp3 Miliar dari Satori ke Rajiv Nasdem

Selasa, 30 Desember 2025 | 16:08

Rasio Polisi dan Masyarakat Tahun 2025 1:606

Selasa, 30 Desember 2025 | 16:02

Tilang Elektronik Efektif Tekan Pelanggaran dan Pungli Sepanjang 2025

Selasa, 30 Desember 2025 | 15:58

Pimpinan DPR Bakal Bergantian Ngantor di Aceh Kawal Pemulihan

Selasa, 30 Desember 2025 | 15:47

Menag dan Menko PMK Soroti Peran Strategis Pendidikan Islam

Selasa, 30 Desember 2025 | 15:45

Jubir KPK: Tambang Dikelola Swasta Tak Masuk Lingkup Keuangan Negara

Selasa, 30 Desember 2025 | 15:37

Posko Kesehatan BNI Hadir Mendukung Pemulihan Warga Terdampak Banjir Bandang Aceh

Selasa, 30 Desember 2025 | 15:32

Berikut Kesimpulan Rakor Pemulihan Pascabencana DPR dan Pemerintah

Selasa, 30 Desember 2025 | 15:27

SP3 Korupsi IUP Nikel di Konawe Utara Diterbitkan di Era Nawawi Pomolango

Selasa, 30 Desember 2025 | 15:10

Trump ancam Hamas dan Iran usai Bertemu Netanyahu

Selasa, 30 Desember 2025 | 15:04

Selengkapnya