Berita

Prabowo Subianto dan Joko Widodo/Net

Publika

Dilema Prabowo Dan Jokowi

RABU, 12 JUNI 2019 | 09:31 WIB

JOKOWI menang. Itu versi quick count dan KPU. Legitimasinya? Nunggu ketetapan Mahkamah Konstitusi (MK). Mungkinkah bisa berubah? Mungkin! Apa yang tak bisa berubah dalam politik?

Seandainya Jokowi menang? Masalah belum selesai. Isu kecurangan membuat Jokowi diprediksi sulit mendapatkan legitimasi (pengakuan) dari rakyat. Terutama mereka yang hidup di wilayah di mana Prabowo-Sandi menang di atas 70-80 persen.

Aceh yang ingin referendum, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, NTB, Sulawesi Selatan dimana suara Jokowi di bawah 30 atau 20 persen akan jadi beban sosial dan politik. Belum lagi delapan nyawa melayang saat demo menuntut Jokowi didiskualifikasi. Itu angka resmi dari Rumah Sakit DKI. Angka tak resmi? Simpang siur. Dan lebih dari 700 petugas pemilu meninggal dengan menyisakan banyak pertanyaan.

Siapapun presidennya, tragedi Pilpres kali ini secara normal akan menjadi beban sejarah. Itupun jika Jokowi juga menganggap itu bagian dari tragedi. Anggaplah iya, tentu ini tak akan mudah bagi Jokowi jika terpaksa harus menjalankan roda pemerintahan ke depan dengan minus kepercayaan rakyat yang cukup besar jumlahnya. Isu rush money dan mogok pajak harus jadi pekerjaan nasional, kendati belum terbukti.

Dalam situasi "tegang" seperti sekarang, mungkinkah Jokowi akan mengalah, lalu mundur? Mengalah demi rakyat dan bangsa. Mengalah untuk keutuhan NKRI. Mengalah sebagai seorang negarawan sejati yang lebih mementingkan rakyatnya dari pada ambisi pribadi.
Sekali lagi, tak ada yang tak mungkin dalam politik. Setiap keputusan memungkinkan untuk diambil, kendati tak populer dan mendapat banyak penolakan dari para pendukung. Segala pertimbangan tentu akan dikalkulasi dengan matang.

Boleh jadi Jokowi siap mengalah dan mundur. Tapi, apakah orang-orang yang berada di sekitar Jokowi siap? Apakah mereka bersedia pensiun dini dan istirahat menikmati masa tuanya? Apakah mereka siap kehilangan pundi-pundi kekayaan yang mengalir dari bisnis politik dan kekuasaan? Terutama bagi parpol pengusung, siap tak dapat jatah kabinet?

Ini yang jadi dilema bagi Jokowi. Maju salah, mundur kena. Ini analisis normatif, berkaitan dengan psikologi manusia normal.

Tak hanya Jokowi, dilema juga dialami Prabowo. "No point of return". Tak ada pilihan mundur. Itulah kalimat yang berulangkali keluar dari lidah mantan komandan kopassus ini. Benarkah? Atau Prabowo akan menelan ludah kembali?

Sejumlah pendukung mati di laga demonstrasi. Sejumlah elit di lingkaran Prabowo jadi tersangka. Sebagian yang lain sudah ditangkap. Maju terus, tak ada jaminan kalau tak ada lagi jatuh korban.

Soal ini, Prabowo dikenal sensitif. Tak bisa melihat rakyat dikorbankan. Ini kelebihan paslon nomor 02 dalam konteks moral. Tapi, secara politik, ada yang menganggap itu kelemahan. Gak punya ketegaran dan daya tahan. Mudah dipengaruhi, bahkan dipermainkan perasaannya oleh lawan. Terlalu baper dan tak rasional. Mundur? Pasti akan dibilang pengecut. Orang berkomentar: Cemen! Ini tentu dilematis bagi Prabowo.

Sementara, partai pendukung Prabowo mulai ada yang tak tahan godaan. Demokrat balik kanan. Kalau cuma Demokrat, tak masalah. Rakyat juga tahu CV Demokrat. Gak kaget. 2014 abstain. 2019 banyak manuver. Ada yang bilang: partai pengganggu. Ngrecokin saja kerjanya. Tak punya komitmen babar blas. (Sama sekali)

Sementara PAN? Masih tengak-tengok dan lihat kanan-kiri. Dulu, 2014, PAN juga begitu. Habis pilpres, nyebrang ke kubu lawan. Apakah akan diulang di 2019? Beda Amien Rais, beda Zulkifli Hasan (ketua umum PAN). Tarik menarik dua matahari ini terus terjadi di PAN.

Bagaimana dengan PKS? Partai kader ini cenderung setia. Satu-satunya partai yang menemani Gerindra sebagai oposisi. Lima tahun, tak mudah. Susah dan berjuang bersama. PKS teruji kesabaran, kesetiaan dan komitmennya.

Bagaimana kalau jatah Wagub DKI tak jadi diberikan kepada PKS? Bisa jadi ancaman. Pecah kongsi? Koalisi bubar? Sangat mungkin. Cukup! Sabar ada batasnya bro! Kira-kira begitu kata PKS. Cawapres gak dikasih, Wagub mau diambil juga. Stop!

Di internal Partai Gerindra, apakah mereka solid? Belum tentu juga. Kabarnya, ada pihak-pihak tertentu yang coba mendorong rekonsiliasi. Beberapa orang dianggap dekat dan intens berkomunikasi dengan lingkaran istana.

Bagi mereka, lebih menguntungkan jika berkoalisi dengan Jokowi. Artinya mengalah? Ya, dengan syarat. Nego dan tawarannya pasti aduhai. Modal pilpres bisa kembali, di kabinet ada jatah. Mosok begitu? Namanya juga politik bung.

Kabarnya, ada "oknum" yang bekerja untuk melakukan kompromi-kompromi. Deal-deal politik? Kira-kira begitu.

Apakah imbauan Prabowo dan Sandi agar para pendukung tidak berbondong-bondong hadir ke MK adalah tanda sudah ada deal politik? Terperangkap oleh oknum yang sedang melakukan terjadinya kompromi? Atau hanya semata-mata karena Prabowo dan Sandi tak ingin ada korban lagi? Atau karena Prabowo sangat confidence bahwa MK akan memenangkan gugatannya?

Pertanyaan-pertanyaan ini sedang dicari jawabannya oleh publik.

Terdengar kabar tak sedap bahwa ada "oknum" yang mencoba mengganggu kinerja tim hukum yang dipimpin Bambang Widjojanto (BW).

Tim yang dikomandoi mantan pimpinan KPK ini sedang berjuang keras di jalur konstitusional melalui MK. Namanya juga kabar. Siapa oknum itu? Cari aja sendiri!

Hingga saat ini, BW dengan timnya tetap optimis. Gugatan 37 halaman lengkap dengan lampiran 146 halaman siap bertarung di MK. Para ulama dan pendukung Prabowo konsisten mengikhtiarkan kemenangan sampai batas kemampuan terakhir.

Tak akan mundur! Prabowo harus jadi presiden, kata mereka.

Bagaimana dengan Prabowo sendiri? Mirip dengan Jokowi. Berada di dalam dilema. Apakah Prabowo masih tetap Istiqomah dengan perjuangannya? Satu baris dengan para ulama dan pendukungnya? Atau malah justru menyerah?  Sejarah yang akan mencatat.

Apapun keputusan yang akan Prabowo dan Jokowi ambil, rakyat berharap sikap kenegarawanan yang harus dikedepankan.

Perlu dipastikan bahwa bangsa ini masih punya masa depan. Dan sikap kedua capres ini yaitu Prabowo dan Jokowi akan mempengaruhi tidak saja nasib demokrasi Indonesia, tapi juga nasib bangsa ini ke depan.


Tony Rosyid

Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa

Populer

Bangun PIK 2, ASG Setor Pajak 50 Triliun dan Serap 200 Ribu Tenaga Kerja

Senin, 27 Januari 2025 | 02:16

Gara-gara Tertawa di Samping Gus Miftah, KH Usman Ali Kehilangan 40 Job Ceramah

Minggu, 26 Januari 2025 | 10:03

Viral, Kurs Dolar Anjlok ke Rp8.170, Prabowo Effect?

Sabtu, 01 Februari 2025 | 18:05

Besar Kemungkinan Bahlil Diperintah Jokowi Larang Pengecer Jual LPG 3 Kg

Selasa, 04 Februari 2025 | 15:41

Prabowo Harus Ganti Bahlil hingga Satryo Brodjonegoro

Minggu, 26 Januari 2025 | 09:14

Prabowo Harus Pecat Bahlil Imbas Bikin Gaduh LPG 3 Kg

Senin, 03 Februari 2025 | 15:45

Bahlil Gembosi Wibawa Prabowo Lewat Kebijakan LPG

Senin, 03 Februari 2025 | 13:49

UPDATE

Cuma Rebut 1 Gelar dari 4 Turnamen, Ini Catatan PBSI

Rabu, 05 Februari 2025 | 13:37

Anggaran Dipangkas Belasan Triliun, Menag: Jangan Takut!

Rabu, 05 Februari 2025 | 13:31

Ekonomi Indonesia Tumbuh 5,03 Persen Sepanjang 2024

Rabu, 05 Februari 2025 | 13:23

Aset Raib ID Food Ancam Asta Cita Prabowo

Rabu, 05 Februari 2025 | 13:13

Persoalkan Penetapan Tersangka, Tim Hukum Hasto Ungkap Sprindik Bocor

Rabu, 05 Februari 2025 | 13:10

Setelah Identifikasi, Jasa Raharja Pastikan Salurkan Santunan Kecelakaan GTO Ciawi

Rabu, 05 Februari 2025 | 12:59

Truk Pengangkut Galon Kecelakaan, Saham Induk Aqua Anjlok Merosot 1,65 Persen

Rabu, 05 Februari 2025 | 12:57

Komisi V DPR Minta Polisi Investigasi Perusahaan Aqua

Rabu, 05 Februari 2025 | 12:51

Partai Buruh Geruduk Kantor Bahlil Protes LPG 3 Kg Langka

Rabu, 05 Februari 2025 | 12:41

DPR Siap Bikin Panja Imbas Laka Maut Truk Galon Aqua

Rabu, 05 Februari 2025 | 12:30

Selengkapnya