Berita

Ilustrasi/Net

Muhammad Najib

Membaca Posisi Indonesia Dalam Konflik Saudi Arabia Vs Iran

SABTU, 01 JUNI 2019 | 11:20 WIB | OLEH: DR. MUHAMMAD NAJIB

KONFERENSI Tingkat Tinggi (KTT) ke-14 Organisasi Konferensi Islam (OKI) dimulai Jum'at (31 Mei 2019) di Makkah. OKI  beranggotakan 57 negara, sejumlah kepala negara atau kepala pemerintahan termasuk delegasi dari Indonesia yang diwakili oleh Menlu Retno Marshudi. KTT OKI kali ini diharapkan akan menghasilkan Deklarasi Makkah.

KTT OKI di kota suci Makkah merupakan rangkaian dari kegiatan konferensi tingkat tinggi yang dilakukan oleh tuan rumah Saudi Arabia, sebagai upaya untuk mendapatkan  dukungan dalam konfliknya dengan Iran. KTT lain yang diadakan dalam waktu berdekatan adalah KTT Liga Arab dan KTT Dewan Kerjasama Teluk (GCC) yang memiliki tujuan serupa.

Pada pembukaan KTT Liga Arab, Raja Salman bin Abdul Aziz al-Saud selaku tuan rumah meminta negara-negara Arab untuk melawan Iran, yang dituduhnya telah melakukan tindakan kriminal dengan menyerang berbagai instalasi minyak dan sejumlah kapal tanker pengangkut minyak di kawasan Teluk.

Tuduhan ini persis sama dengan tuduhan penasihat keamanan nasional Amerika John Bolton yang sangat bernafsu untuk menyerang Iran. Sejumlah pejabat di Teheran telah berulangkali membantah tuduhan Bolton yang tidak diikuti oleh bukti meyakinkan.

Bolton hanya merujuk pada sumber intelijen, sementara Saudi Arabia hanya menggunakan serangan yang dilakukan oleh Houthi dari Yaman yang menggunakan drone untuk menyerang berbagai fasilitas fital yang dimilikinya, termasuk instalasi minyak. Saling serang antara pasukan Saudi Arabia dengan Houthi sudah berlangsung bertahun-tahun.

Kehadiran delegasi Indonesia dalam KTT OKI  yang dipimpin oleh Menlu harus dibaca sebagai sebuah pesan, bahwa Indonesia tidak mendukung rencana perang yang diinisiasi oleh Amerika dan sangat mungkin didorong oleh Israel.  Dengan kata lain, perang baru yang akan melibatkan Amerika dan Iran, serta sejumlah negara di Timur Tengah bukan solusi dari berbagai persoalan yang ada.

Secara diplomatik ketidak hadiran Presiden yang merupakan level tertinggi,  atau Wakil Presiden yang merupakan level kedua, menunjukkan hal ini. Jadi Indonesia hanya mengirim delegasi level ketiga atau level terendah,  dari negara-negara peserta yang dapat diterima sebagai peserta KTT.

Sikap Indonesia ini terkonfirmasi dari berbagai pernyataan Menlu Retno sejak berada di Riad saat menghadiri konferensi tingkat mentri  (KTM). Menlu Retno menyatakan bahwa OKI harus bersatu untuk Palestina, dan OKI harus terus mengejar rencana perdamaian antara Israel-Palestina yang bermuara pada kemerdekaan Palestina.

Secara diplomatis sebenarnya Indonesia memandang sejumlah kasus penyerangan tanker pengangkut minyak dan penyerangan instalasi minyak milik Saudi Arabia hanyalah sebagai ekses adanya konflik di Kawasan, sedangkan masalah utamanya adalah persoalan Palestina.

Dengan demikian Indonesia dapat dikatakan mengambil posisi netral atau tidak berpihak dalam masalah konflik Saudi Arabia vs Iran. Bagi Indonesia jika konflik antara Saudi Arabia vs Iran diteruskan, hanya akan membuat perpecahan diantara negara-negara Islam akan semakin parah.

Bagi Indonesia berbagai konflik diantara negara-negara Arab atau diantara negara-negara Muslim seharusnya diselesaikan dengan damai bukan dengan perang. Jika perang antara Saudi Arabia dengan Yaman saja, telah melahirkan tragedi kemanusiaan yang luar biasa selama bertahun-tahun tahun, dan sampai saat ini belum bisa diselesaikan. Perang antara Saudi Arabia dengan Iran pasti akan lebih dahsyat. Apalagi Amerika dengan mesin perangnya yang luar biasa besar berada di depan dan Israel ikut nimbrung.

Bagi mereka yang memahami situasi di Timur Tengah mutakhir, akan melihat bahwa KTT GCC, Liga Arab, maupun OKI akan sangat menentukan apakah Amerika yang didukung oleh Saudi Arabia, Uni Emirat Arab, Bahrain, dan Israel  akan meneruskan rencananya menyerang Iran atau tidak.

Jika dukungan didapat, maka ia akan menjadi semacam mandat atau  persetujuan dari bangsa Arab dan dunia Islam. Dengan demikian, jika ternyata menimbulkan tragedi kemanusiaan di kemudian hari, bukan hanya Amerika yang dipersalahkan, akan tetapi seluruh negara yang hadir dalam tiga KTT di Saudi Arabia saat ini juga harus ikut bertanggung jawab.

Penulis adalah pengamat politik Islam dan demokrasi.

Populer

Pendapatan Telkom Rp9 T dari "Telepon Tidur" Patut Dicurigai

Rabu, 24 April 2024 | 02:12

Polemik Jam Buka Toko Kelontong Madura di Bali

Sabtu, 27 April 2024 | 17:17

Pj Gubernur Ingin Sumedang Kembali jadi Paradijs van Java

Selasa, 23 April 2024 | 12:42

Jurus Anies dan Prabowo Mengunci Kelicikan Jokowi

Rabu, 24 April 2024 | 19:46

Tim Hukum PDIP Minta Penetapan Prabowo-Gibran Ditunda

Selasa, 23 April 2024 | 19:52

Pj Gubernur Jabar Minta Pemkab Garut Perbaiki Rumah Rusak Terdampak Gempa

Senin, 29 April 2024 | 01:56

Bey Pastikan Kesiapan Pelaksanaan Haji Jawa Barat

Rabu, 01 Mei 2024 | 08:43

UPDATE

Hadiri Halal Bihalal Ansor, Kapolda Jateng Tegaskan Punya Darah NU

Jumat, 03 Mei 2024 | 06:19

Bursa Bacalon Wali Kota Palembang Diramaikan Pengusaha Cantik

Jumat, 03 Mei 2024 | 06:04

KPU Medan Tunda Penetapan Calon Terpilih Pileg 2024

Jumat, 03 Mei 2024 | 05:50

Pensiunan PNS di Lubuklinggau Bingung Statusnya Berubah jadi Warga Negara Malaysia

Jumat, 03 Mei 2024 | 05:35

Partai KIM di Kota Bogor Kembali Rapatkan Barisan Jelang Pilkada

Jumat, 03 Mei 2024 | 05:17

PAN Jaring 17 Kandidat Bakal Calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota Bengkulu

Jumat, 03 Mei 2024 | 04:58

Benny Raharjo Tegaskan Golkar Utamakan Kader untuk Pilkada Lamsel

Jumat, 03 Mei 2024 | 04:41

Pria di Aceh Nekat Langsir 300 Kg Ganja Demi Upah Rp50 Ribu

Jumat, 03 Mei 2024 | 04:21

Alasan Gerindra Pagar Alam Tak Buka Pendaftaran Bacawako

Jumat, 03 Mei 2024 | 03:57

KPU Tubaba Tegaskan Caleg Terpilih Tidak Dilantik Tanpa Serahkan LHKPN

Jumat, 03 Mei 2024 | 03:26

Selengkapnya