Berita

Salamuddin Daeng/Net

Publika

APBN Terjerat Utang, Pemerintah Bisa "Ngerem Mendadak"

SENIN, 27 MEI 2019 | 23:06 WIB | OLEH: SALAMUDDIN DAENG

“UTANG pemerintah naik 42 persen sepanjang tahun 2014-2019”

Pemerintah Indonesia sekarang sedang terbelit masalah keuangan yang cukup melilit. Pemerintah berkali kali menaikan suku bunga obligasi Negara untuk menarik minat pembeli surat utang Negara.

Kebijakan ini membahayakan keuangan nasional karena bunga surat berharga pemerintah melebihi bunga deposito perbankan. Pemerintah menjebak dirinya dalam kebijakan yang membahayakan keuangan negara dan sekaligus membuat sektor perbankan terpuruk. (Baca link ini)

Tidak hanya itu berbagai langkah diplomasi luar negeri dilakukan pemerintah untuk mendapatkan utang, termasuk menjadi bagian dari proyek One Belt One Road (OBOR).

Kebijakan ini menyimpang dari strategi hubungan luar negeri bebas aktif, akan tetapi hubungan yang didasari oleh keinginan untuk mengemis utang yang justru menyeret negara dalam ketergantungan pada asing.

Kebijakan pemerintah yang bersandar pada utang amatlah membahayakan baik dilihat dari sisi kondisi fiscal maupun sisi makro ekonomi. Penerimaan Negara yang relatif kecil dan pendapatan perkapita masyarakat Indonesia yang relatif rendah, tidak memungkinkan bagi Indonesia untuk mengambil utang seperti Negara Negara berkembang lainnya.

Karena dapat menjadi pukulan balik bagi keuangan Negara dan beban rakyat. Beban bunga dan polok utang akan makin membesar dan untuk menutupinya maka pajak. Sewa. Tarif barang publik akan makin mencekik.

Mengingat utang pemerintah Indonesia sudah cukup besar. Utang pemerintah sampai dengan Maret Tahun 2019 mencapai Rp 5.066 triliun.

Utang pemerintah tersebut terdiri dari Utang Luar Negeri Pemerintah (ULN) senilai Rp 2.644 triliun dan Surat Berharga Negara (SBN) senilai Rp 2.421 triliun. (Diolah dari Data Bank Indonesia, Tahun 2018).

Utang Pemerintah telah bertambah sangat cepat. Antara tahun 2014 hingga Maret 2019 utang pemerintah telah bertambah sekitar Rp 2.140 triliun.

Jumlah tambahan utang tersebut hampir separuh (42 persen) dari jumlah utang pemerintah yang sepanjang sejarah republik ini berdiri.

Tambahan utang pemerintah yang paling besar sepanjang tahun 2014 hingga 2018 berasal dari SBN senilai Rp 1.337 triliun dan sisanya tambahan dari utang bilateral dan multilateral senilai Rp 802 triliun.

Berdasarkan data APBN tambahan utang pemerintah dari SBN saja tahun 2017 senilai Rp 433 triliun dan tahun 2018 senilai Rp 414 triliun.

Penyebab utama bertambahnya utang adalah minimnya sumber penerimaan Negara baik dari penerimaan dari bagi hasil ekploitasi sumber daya alam, maupun penerimaan pajak. Tambahan utang pemerintah setahun mencapai lima kali nilai penerimaan negara dari sumber daya alam.

Utang pemerintah semakin meningkat dan terus berakumulasi. Kejatuhan nilai tukar mata uang rupiah terhadap mata uang asing ikut melipatgandakan jumlah utang, mengingat utang pemerintah sebagian besar dalam mata uang asing. Dengan kondisi pelemahan nilai tukar yang akan terus berlanjut maka nilai utang pemerintah tidak terprediksi dan dapat melompat secara tiba-tiba, sehingga mengancam keselamatan pemerintahan dan keselamatan Negara.

Akibatnya bunga utang pemerintah yang harus dibayar dengan pajak rakyat makin mengkhawatirkan. Setiap tahun pemerintah harus membayar kewajiban bunga utang Rp 238,6 triliun (2018) melebihi satu setengah kali belanja subsidi. Belum lagi jika ditambahkan dengan cicilan pokok utang dan utang jatuh tempo.

Jadi kalau Pemerintahan Jokowi mau menambah utang untuk menambal APBN 2019, maka sebaiknya harus dipikirkan masak masak. Karena itu bisa membahayakan pemerintahan ke mendatang.

Dengan beban utang jatuh tempo 2019 senilai Rp 400 triliun lebih, bisa membuat pemerintahan “ngerem mendadak” karena tidak ada uang.

Perang dagang Amerika Serikat Vs China telah menghantam seluruh harga komoditas, yang merupakan sumber keuangan utama pemerintah Indonesia baik penerimaan pajak SDA maupun PNBP SDA. Bayangkan saja di tengah situasi kewajiban pemerintah membesar. Sementara penerimaan anjlok. Istana Negara bisa disita pemberi utang!

Penulis adalah peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI)

Populer

Besar Kemungkinan Bahlil Diperintah Jokowi Larang Pengecer Jual LPG 3 Kg

Selasa, 04 Februari 2025 | 15:41

Jokowi Kena Karma Mengolok-olok SBY-Hambalang

Jumat, 07 Februari 2025 | 16:45

Viral, Kurs Dolar Anjlok ke Rp8.170, Prabowo Effect?

Sabtu, 01 Februari 2025 | 18:05

Alfiansyah Komeng Harus Dipecat

Jumat, 07 Februari 2025 | 18:05

Prabowo Harus Pecat Bahlil Imbas Bikin Gaduh LPG 3 Kg

Senin, 03 Februari 2025 | 15:45

Bahlil Gembosi Wibawa Prabowo Lewat Kebijakan LPG

Senin, 03 Februari 2025 | 13:49

Pengamat: Bahlil Sengaja Bikin Skenario agar Rakyat Benci Prabowo

Selasa, 04 Februari 2025 | 14:20

UPDATE

Uni Eropa Ancam Balas AS Kalau Terapkan Tarif Baru untuk Baja dan Aluminium

Selasa, 11 Februari 2025 | 19:31

Guyuran Hujan Tak Halangi Prabowo Sambut Erdogan di Halim

Selasa, 11 Februari 2025 | 19:26

Pagar Laut Bekasi Akhirnya Dibongkar

Selasa, 11 Februari 2025 | 19:22

BREN-CUAN Prajogo Rontok Lagi, IHSG Ambruk di 6.531

Selasa, 11 Februari 2025 | 19:21

Ini Alasan Komisi II DPR Gelar Rapat Tertutup dengan DKPP

Selasa, 11 Februari 2025 | 19:13

Dilibas AI, Tingkat Pengangguran di Sektor Teknologi AS Melonjak Drastis

Selasa, 11 Februari 2025 | 18:55

Prabowo Jangan Boros soal Kebijakan Efisiensi Anggaran Sebab Kawannya Setan

Selasa, 11 Februari 2025 | 18:45

Legislator PDIP Heran Baleg Minta Pemerintah Buru-buru Kirim DIM RUU Minerba

Selasa, 11 Februari 2025 | 18:41

Prabowocare Ubah Kebiasaan Lama dalam Pengelolaan Keuangan Negara

Selasa, 11 Februari 2025 | 18:30

Tim U-20 Indonesia Matangkan Game Plan Jelang Hadapi Iran

Selasa, 11 Februari 2025 | 18:25

Selengkapnya