DIAM, terus ditindas
Bersuara, siap-siap dipenjara
Marah, diajak berdamai demi persatuan katanya
Bertindak, diancam ditembak
Tapi mereka lupa, bahwa perlawanan adalah keniscyaan sejarah
Karena harga kehormatan melebihi nyawa.
Soekarno pernah berkata, "Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri." Kini ucapan Soekarno menjadi nyata, kita sedang bertarung satu sama lain.
Tapi Soekarno bukan seorang dukun atau paranormal yang melihat persoalan penindasan sesama anak bangsa jauh sebelumnya. Soekarno dan para pendiri bangsa dan NKRI lainnya menyadari sepenuhnya bahwa kekuasaan cenderung korup dan menindas.
Sebelum membentuk format negara, mereka telah memahami ucapan Lord Acton tahun 1887 yang terkenal:
â€Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely.â€Itulah mengapa Indonesia yang terdiri dari banyak suku, adat, agama, pulau-pulau, kemudian membentuk sistem politiknya dengan memberikan ruang bagi kehadiran banyak partai politik agar semua kalangan merasa terwakili. Dengan demikian, kekuasaan yang berpusat di Jawa dan didominasi suku Jawa dapat di kontrol oleh kepentingan-kepentingan yang terwakili.
Dalam konteks Pilpres 2019, sejatinya jauh sebelum pilpres banyak kalangan masyarakat yang menghendaki Presiden Jokowi diganti yang diekspresikan dengan
#2019GantiPresiden. Kita tak perlu membahas rasa benci rakyat kepada Jokowi karena itu merupakan muara emosional dari berbagai persoalan yang tidak diselesaikan pemerintah.
Ada persoalan rasional di balik keinginan mengganti Jokowi, yaitu ketika proses demokrasi macet. Kritik-kritik masyarakat terhadap berbagai kebijakan Jokowi tidak mendapat respon sebagaimana proses demokrasi seharusnya berjalan. Jokowi berkeras bahwa semua kebijakannya bagus dan sukses. Tetapi masyarakat merasakannya berbeda.
Masyarakat yang kritis misalnya punya pandangan berbeda bahwa tidak semua pembangunan infrastruktur dikerjakan secara efisien dan punya dampak bagi roda ekonomi rakyat. Atau ada ancaman nasional di balik kehadiran tenaga kerja China dan investasi asing pada Unicorn lokal. Wajar jika masyarakat menduga ada kepentingan ekonomi segelintir orang di balik itu semua.
Tetapi sekali lagi, kritik dan kecurigaan dianggap musuh pemerintah, dianggap sebagai ungkapan kebencian. Padahal masyarakat telah mengungkapkannya melalui proses yang demokratis.
Maka Pilpres 2019 menjadi upaya konstitusional rakyat yang terakhir untuk mewujudkan pemerintahan baru yang dianggap lebih pro rakyat dan mengedepankan kepentingan nasional.
Ini bukan Pilpres biasa seperti halnya jika pertarungan antar capres ada di antara kriteria yang bagus dan bagus sekali. Jika demikian maka para pendukung calon yang kalah pun akan menerimanya, karena kedua capres sesungguhnya relatif sama-sama bagus. Tetapi di mata rakyat yang menginginkan perubahan ini adalah pertarungan antara capres yang sudah terbukti tidak mampu memimpin dan tidak demokratis melawan Capres yang dipercaya membawa perubahan lebih baik.
Maka ketika upaya konstitusional rakyat untuk perubahan negara menjadi lebih baik dan dikelola secara demokratis melalui pilpres dikhianati dengan kecurangan-kecurangan, ke mana lagi rakyat harus memperjuangkannya?
Mengajukan gugatan atas hasil pilpres ke MK adalah langkah administratif. Tetapi apakah KPU, Bawaslu, MK, DPR dan pemerintah memiliki kepekaan untuk menangkap sinyal-sinyal perubahan yang dikehendaki rakyat? Jika KPU menyatakan Capres 02 kalah dengan angka 43 persen suara itu benar adanya, maka yang 43 persen suara bolehlah dikatakan harus menerima mayoritas rakyat yang masih menghendaki Jokowi.
Tetapi jika keyakinan Capres 02 sesungguhnya memenangkan sampai 60 persen suara artinya pemerintahan Jokowi selanjutnya akan berhadapan dengan 60 persen rakyat yang menghendaki perubahan. Perlu disadari oleh negara, bahwa kecurangan dalam perebutan kursi parlemen dapat dianggap sebagai pertarungan partai politik.
Tetapi jika kecurangan terstruktur sistematis dan masif terjadi dalam arena pilpres maka sesunguhnya itu adalah perbuatan mengadudomba rakyat. Bagaimana mungkin pemerintahan nanti dapat berjalan baik, bahkan saat jaya-jayanya eforia kemenangan Jokowi di 2014, pemrintahan tidak berjalan efektif karena sarat dengan penentangan-penentangan oleh rakyat.
Alhasil Jokowi tidak mampu mengkonsolidasikan semua sumber-sumber bagi pembangunan ekonomi nasional.
Kembali pada Pilpres dan demokrasi, jika upaya rakyat untuk melakukan people power dituduh inkonstitusional sejatinya rakyat lebih memahami konstitusi. Ketika demokrasi macet, ketika upaya konstitusional rakyat mengganti Jokowi melalui pilpres dihianati oleh kecurangan, ini seperti halnya air deras mengalir dalam pipa tersumbat.
Air deras akan mencari sendiri jalannya, meski itu akan menghancurkan pipa betapapun kuatnya. Jika ini terjadi maka konstitusi tidak lagi dilihat sebagai teks yang tertulis, melainkan kekuatan berdasarkan kepala dan kaki, yang berbondong-bondong menuju tempat-tempat di mana konstitusi dapat ditegakkan kembali.
Seperti halnya berbagai peristiwa revolusioner yang pernah terjadi di bumi. Rakyatlah yang akan mendaulat Prabowo sebagai presiden. Bukan lagi koalisi parpol pengusung atau BPN. Terkait hal ini, sangat lucu ketika ada Parpol yang hentikan dukungan kepada Prabowo-Sandi bahkan ada yang terang-terangan menyebrang ke kubu Jokowi demi mendapatkan kursi kabinet.
Mereka lupa bahwa mereka pernah mengatakan mendukung people power jika pilpres berjalan penuh kecurangan. Lebih parah lagi terlalu pagi mereka ingin mengingkari bahwa melalui people power, rakyat lah yang memenangkan Prabowo sebagai presiden, bukan partai politik.
Gde Siriana
Direktur Eksekutif Government and Political Studies (GPS)