Berita

Chusnul Mariyah (kanan)/Net

Politik

500 Lebih Petugas Pemilu Tewas, Chusnul Desak Pemerintah Dan DPR Bersikap

SELASA, 14 MEI 2019 | 18:46 WIB | LAPORAN: TUAHTA ARIEF

. Negara dalam hal ini presiden dan DPR diminta untuk hadir bersikap dalam menyelesaikan masalah banyaknya petugas pelaksana pemilu yang meninggal dunia. Jumlahnya mencapai lebih dari 500 orang.

“Sebab hingga hari ini belum ada penanganan yang baik. Bahkan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) tidak bisa melakukan tindakan apa apa tanpa ada permintaan langsung dari korban atau pemerintah atau DPR untuk menginvestigasi kematian ratusan pekerja pemilu ini,” ujar mantan anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Prof Chusnul Mariyah.

Dosen FISIP Universitas Indonesia (UI) ini meminta negara dalam hal ini presiden dan DPR untuk hadir bersikap dalam menyelesaikan masalah tersebut.


Menurut Chusnul, meningggalnya 500 an petugas pemilu ini merupakan kejadian yang luar biasa dan belum diketahui apa penyebab pastinya.

Chusnul juga masih menaruh harapan tinggi di bulan puasa ini penyelenggara pemilu bisa melaksanakan tugasnya dengan prinsip jujur dan adil.

“Pesan saya kepada pekerja pemilu agar menerapkan prinsip kerja jujur dan adil. Jangan sampai satu pun suara rakyat dipindah-pindahkan,” ujar Chusnul dalam wawancara bersama Bravos Radio.

Mantan anggota KPU ini mengatakan, sebetulnya persoalan KPU itu hampir sama seperti yang pernah dilaporkan dirinya pada tahun 2006 kepada Presiden terpilih Susilo Bambang Yudhoyono.

Dari mulai siklus kerja KPU itu kerap kali mendadak dan mepet waktu. Contohnya seperti KPU di Kaltara dan KPU di Maluku, mereka baru dua minggu dilantik menjelang pencoblosan suara. Begitu juga KPU Jawa Timur juga baru dibentuk bulan Januari-Februari 2019, sedangkan Pemilu digelar 17 April 2019.

“Kalau melihat siklus seperti ini, maka KPU tidak akan menjadi lembaga yang kuat,” ujar dia.

Chusnul mengaku pada tahun 2006 lalu pernah memberikan masukan kepada Presiden saat itu SBY, yakni usulan agar masa tugas anggota KPU diperpanjang hingga 2009. Lalu pada tahun 2010 barulah dilakukan pemilihan anggota KPU yang baru. Sehingga punya waktu 4 tahun untuk menyiapkan pemilu.

“Namun sayangnya usulan itu tidak ada yang mendengar. Jadi kesimpulannya memang tidak ada keinginan dari pemerintah untuk membuat lembaga KPU dibuat kuat,” ujarnya.

Sebab, kata Chusnul, kalau KPU-nya kuat maka KPU tidak bisa dibuat kongkalikong oleh salah satu peserta pemilu. Padahal seharusnya KPU itu lembaga yang mandiri. Tapi melihat proses rekrutmen seperti ini sekarang ini, jelasnya, maka tidak akan terbentuk KPU yang kuat.

Sebab, jelasnya, beda dengan dulu pada tahun 2000 hingga tahun 2002 saat itu zaman Pemerintahan Abdurrahman Wahid (Gus Dur), anggota KPU itu tidak mendaftar, melainkan dibentuk sebuah tim yang kemudian mencari orang orang pilihan yang punya integritas untuk dipilih menjadi anggota KPU.

Berbeda dengan sekarang yang seakan-akan orang mendaftar menjadi anggota KPU, seperti seseorang melamar sebuat pekerjaan.

“Saya yakin orang orang terbaik Indonesia tidak mau ikut melamar mencari pekerjaan menjadi anggota KPU. Akhirnya ya jadi seperti biasanya orang mencari pekerjaan.
Kondisi seperti ini terjadi sama, baik di tingkat nasional, provinsi maupun kabupaten. Hal inilah yang saya sedihkan didalam konteks rekrutmen,” tegas Chusnul.

Setiap 5 tahun, dosen FISIP UI ini mengaku kerap diundang Pansus DPR terkait setiap ada perubahan UU soal KPU. Di Pansus ini dia selalu memberikan masukan bahwa menjadi anggota KPU itu harus memiliki ilmu yang cukup yaitu ilmu politik dan ilmu hukum. Pemilu di Indonesia itu Pemilu paling besar di dunia dan paling kompleks.

“Sebab kalau anggota KPU tidak dibekali dengan ilmu yang cukup, lantas bagaimana bisa menjelaskan tentang demokrasi dan bagaimana menjelaskan  tentang  kedaulatan rakyat,” pungkas Chusnul.

Populer

Masih Sibuk di Jogja, Pimpinan KPK Belum Tahu OTT di Lampung Tengah

Selasa, 09 Desember 2025 | 14:21

Pura Jadi Latar Film Porno, Hey Bali: Respons Aparat Dingin

Selasa, 09 Desember 2025 | 21:58

Kebun Sawit Milik POSCO Lebih dari Dua Kali Luas Singapura

Senin, 08 Desember 2025 | 19:12

Mahfud MD soal Bencana Sumatera: Menyuruh Pejabat Mundur Tidak Relevan

Rabu, 10 Desember 2025 | 05:53

Aliran Bantuan ke Aceh

Sabtu, 06 Desember 2025 | 04:08

Korban Bencana di Jabar Lebih Butuh Perhatian Dedi Mulyadi

Sabtu, 06 Desember 2025 | 04:44

Bangun Jembatan Harapan

Minggu, 07 Desember 2025 | 02:46

UPDATE

UNJ Gelar Diskusi dan Galang Donasi Kemanusiaan untuk Sumatera

Selasa, 16 Desember 2025 | 12:10

Skandal Sertifikasi K3: KPK Panggil Irjen Kemnaker, Total Aliran Dana Rp81 Miliar

Selasa, 16 Desember 2025 | 12:04

KPU Raih Lembaga Terinformatif dari Komisi Informasi

Selasa, 16 Desember 2025 | 11:41

Dipimpin Ferry Juliantono, Kemenkop Masuk 10 Besar Badan Publik Informatif

Selasa, 16 Desember 2025 | 11:13

KPK Janji Usut Anggota Komisi XI DPR Lain dalam Kasus Dana CSR BI-OJK

Selasa, 16 Desember 2025 | 11:12

Harga Minyak Turun Dipicu Melemahnya Data Ekonomi China

Selasa, 16 Desember 2025 | 11:03

Kritik “Wisata Bencana”, Prabowo Tak Ingin Menteri Kabinet Cuma Gemar Bersolek

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:56

Din Syamsuddin Dorong UMJ jadi Universitas Kelas Dunia di Usia 70 Tahun

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:54

Tentang Natal Bersama, Wamenag Ingatkan Itu Perayaan Umat Kristiani Kemenag Bukan Lintas Agama

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:46

Dolar AS Melemah di Tengah Pekan Krusial Bank Sentral

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:33

Selengkapnya