Berita

Dahlan Iskan/Net

Dahlan Iskan

Gila Dan Mabuk

SELASA, 14 MEI 2019 | 03:30 WIB | OLEH: DAHLAN ISKAN

TUMBEN. Kali ini Tiongkok tidak segera melakukan tit-for-tat. Pembalasan setimpal itu. Tumben. Tidak seperti dua kejadian tahun lalu. Setiap kali Presiden Donald Trump menaikkan tarif bea masuk, Tiongkok langsung membalas. Setimpal. Hampir spontan. Hari itu juga.

Ini sudah lima hari berlalu. Sejak Amerika menaikkan bea masuk yang terbaru. Yang gila-gilaan itu. Dari 10 ke 25 persen. Untuk barang dari Tiongkok. Senilai hampir Rp 3.000 triliun. Sampai tadi malam belum ada pengumuman tit-for-tat dari Beijing.

"Bukan itu yang kami inginkan," ujar pimpinan asosiasi petani kedelai Amerika. Seperti yang saya kutip dari media-media di Amerika. Petani kedelai amat sedih melihat kegarangan Trump itu.


Mereka memang yang paling terkena pembalasan Tiongkok nanti. Akibat pembalasan tahun lalu saja petani kedelai sudah rugi sekitar Rp 150.000/ton. Nanti itu kerugian bisa mencapai sekitar Rp 700.000/ton.

Tapi Trump minta petani tidak usah khawatir. "Pemerintah bisa beli kedelai dari petani. Sampai senilai lebih Rp 200 triliun," ujar Trump kepada wartawan akhir pekan lalu. "Dananya diambil dari peningkatan bea masuk barang Tiongkok itu," tambahnya.

Amerika, menurut perhitungan Trump, bisa memperoleh pendapatan baru. Sebesar Rp 3.000 triliun setahun. Dari peningkatan bea masuk tersebut. Kalau yang Rp 200 triliun untuk membeli kedalai toh masih tetap untung.

Tapi di Amerika jalan pikiran seperti itu tidak disukai petani. Tahun lalu saya keliling daerah pertanian di pedalaman Kansas. Diskusi dengan koperasi tani di sana. Jalan pikiran seperti Trump itu dianggap memanjakan petani. Bertentangan dengan jiwa kapitalisme.

"Kami ini sudah lima generasi di pertanian. Kesulitan itu biasa. Selalu ada jalan keluarnya. Tapi kali ini bisa mematikan," kata petani.

"Tidak mudah membangun infrastruktur perdagangan seperti yang kami miliki sekian lama. Sekarang akan hancur," tambahnya.

Pertanyaan lain: untuk dipakai apa kedelai seharga Rp 200 triliun itu? Bukankah Amerika tidak punya Bulog? Akan disimpan di mana?

Trump sudah punya konsep. "Kedelai itu bisa disalurkan untuk bantuan kemanusiaan," katanya. Bisa dikirim ke negara-negara miskin.
Manusiawi sekali. Logis sekali. Dermawan sekali.

Tapi ditertawakan di sana. "Itu akan menghancurkan sistem pertanian di negara miskin," ujar mereka. "Harga kedelai di negara penerima bantuan akan jatuh. Petani kedelai hancur. Ketika bantuan itu tidak ada lagi petani sudah tidak bisa bangkit. Sistem pertaniannya sudah rusak."

Trump masih tetap pede. Khas Amerika. Ia berharap Tiongkok menyerah saja. 'Hukuman' minggu lalu itu sangat berat. Menurut laporan yang diterima Trump ekonomi Tiongkok sangat limbung.

Menyerahlah. Begitu pesan terbesarnya.

"Silakan saja kalau Tiongkok akan menunggu terpilihnya presiden baru dari Demokrat. Dua tahun lagi," ujar Trump. Dengan sinisnya.
"Tapi kalau menunggu itu, dan ternyata saya terpilih lagi, yang akan saya lakukan lebih buruk lagi," ancamnya.

Hemmm.

Sabar... Sabar. Orang Surabaya sering bilang: "yang waras yang harus mengalah". Saat menghadapi orang dengan pikiran gila.

Pun kepada Iran. Ternyata maunya Trump seperti itu. Menyerahlah. Ketika Trump tiba-tiba membatalkan perjanjian internasional. Mengenai penghentian program nuklir Iran. Yang ditandatangani Presiden Obama. Bersama negara-negara seperti Inggris, Perancis, Rusia dan Tiongkok. Bahkan Trump menambah lagi dengan sanksi baru. Bulan lalu.

Menyerahlah ke Trump. Ternyata itu maksudnya. Atau akan terus digencet.

Sampai minggu lalu Iran belum juga memberi tanda-tanda menelepon Trump. Karena itu pesawat pembom Amerika dikirim ke Bahrain. Nongkrong di situ. Di seberang halaman depan Iran. Kapal induk Amerika juga mendekat ke Teluk Hormuz. Yang memisahkan Iran dengan negara-negara Arab. Yang menjadi andalan lalu-lintas kapal bermuatan minyak dan gas.

Kini tiga sektor dunia tegang: selat Hormuz, Teluk Korea dan Selat Taiwan. Tiga-tiganya melibatkan angkatan perang Amerika.

Tapi yang paling dag-dig-dug rasanya Boeing. Yang baru terpukul oleh dampak bisnis jatuhnya Boeing 373-800MAX. Tit-for-tat yang akan dilakukan Tiongkok bisa jadi tidak hanya menyangkut kedelai. Tapi juga pembatalan pembelian 100 pesawat Boeing. Yang itu saja sudah bernilai Rp 150 triliun.

Masih harus kita tunggu: adakah jurus panda mabuk akan muncul dari Beijing.

Gila dan mabuk mungkin sedikit saja bedanya.

Populer

Masih Sibuk di Jogja, Pimpinan KPK Belum Tahu OTT di Lampung Tengah

Selasa, 09 Desember 2025 | 14:21

Pura Jadi Latar Film Porno, Hey Bali: Respons Aparat Dingin

Selasa, 09 Desember 2025 | 21:58

Kebun Sawit Milik POSCO Lebih dari Dua Kali Luas Singapura

Senin, 08 Desember 2025 | 19:12

Mahfud MD soal Bencana Sumatera: Menyuruh Pejabat Mundur Tidak Relevan

Rabu, 10 Desember 2025 | 05:53

Aliran Bantuan ke Aceh

Sabtu, 06 Desember 2025 | 04:08

Korban Bencana di Jabar Lebih Butuh Perhatian Dedi Mulyadi

Sabtu, 06 Desember 2025 | 04:44

Bangun Jembatan Harapan

Minggu, 07 Desember 2025 | 02:46

UPDATE

UNJ Gelar Diskusi dan Galang Donasi Kemanusiaan untuk Sumatera

Selasa, 16 Desember 2025 | 12:10

Skandal Sertifikasi K3: KPK Panggil Irjen Kemnaker, Total Aliran Dana Rp81 Miliar

Selasa, 16 Desember 2025 | 12:04

KPU Raih Lembaga Terinformatif dari Komisi Informasi

Selasa, 16 Desember 2025 | 11:41

Dipimpin Ferry Juliantono, Kemenkop Masuk 10 Besar Badan Publik Informatif

Selasa, 16 Desember 2025 | 11:13

KPK Janji Usut Anggota Komisi XI DPR Lain dalam Kasus Dana CSR BI-OJK

Selasa, 16 Desember 2025 | 11:12

Harga Minyak Turun Dipicu Melemahnya Data Ekonomi China

Selasa, 16 Desember 2025 | 11:03

Kritik “Wisata Bencana”, Prabowo Tak Ingin Menteri Kabinet Cuma Gemar Bersolek

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:56

Din Syamsuddin Dorong UMJ jadi Universitas Kelas Dunia di Usia 70 Tahun

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:54

Tentang Natal Bersama, Wamenag Ingatkan Itu Perayaan Umat Kristiani Kemenag Bukan Lintas Agama

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:46

Dolar AS Melemah di Tengah Pekan Krusial Bank Sentral

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:33

Selengkapnya