Berita

Dahlan Iskan/Net

Dahlan Iskan

Kejutan Bukan

RABU, 08 MEI 2019 | 03:33 WIB | OLEH: DAHLAN ISKAN

INI kejutan. Juga bukan. Tiba-tiba saja Presiden Donald Trump unggah twitter. Selasa lalu: segera mengenakan tarif tambahan. Dari 10 persen ke 25 persen. Untuk barang Tiongkok. Yang masuk Amerika. Senilai 200 miliar dolar.

Bukan kejutan karena sudah biasa Trump belok tidak di tikungan seperti itu. Kejutan karena twitter itu hanya sehari sebelum keberangkatan Wakil Perdana Menteri Tiongkok, Liu He, ke Washington. Untuk perundingan terakhir. Menjelang disepakatinya pengakhiran perang dagang kedua negara.

Lalu untuk apa berangkat? Bukankah bunyi twitter itu sama dengan tidak ada gunanya perundingan?
Liu He ternyata memang tidak jadi berangkat hari itu. Lalu dipikir ulang. Tidak boleh ikut emosi. Akhirnya berangkat juga. Tertunda satu hari. Toh masih sempat. Jadwal perundingannya dimulai hari Kamis ini. Sampai Jumat besok. Pas saja. Dari bandara langsung  ke meja perundingan.

Liu He ternyata memang tidak jadi berangkat hari itu. Lalu dipikir ulang. Tidak boleh ikut emosi. Akhirnya berangkat juga. Tertunda satu hari. Toh masih sempat. Jadwal perundingannya dimulai hari Kamis ini. Sampai Jumat besok. Pas saja. Dari bandara langsung  ke meja perundingan.

Hanya saja muncul pertanyaan:  jadi atau tidak. Perundingan kali ini final. Semua sepakat. Seperti yang rumusannya sudah dibuat dalam 12 kali perundingan selama ini.

Tidak jadi pun tidak apa-apa. Liu He sudah beli tiket pulang. Jumat malam. Ia sengaja memperpendek kedatangannya kali ini. Berangkat lebih lambat. Pulang lebih cepat. Sebagai respons atas twitter Trump itu.
Siapa tahu Jumat pagi ada twitter baru dari Trump. Apa pun isinya. Tiongkok sudah lebih siap menerima kenyataan baru: tidak bisa melunakkan hati Trump.

Bocoran yang mengalir ke media: Amerika menghendaki Tiongkok mengubah beberapa UU negaranya. Tiongkok berkeras tidak mau.

Amerika menganggap Tiongkok tidak serius dalam melakukan perubahan. Agar negara itu lebih terbuka. Terutama di bidang perdagangan, investasi, teknologi, hak paten dan moneter. Tiongkok sudah menyanggupi. Hanya saja bertahap. Agar tidak mengguncang stabilitas negara.

Bocoran lain: Amerika menghendaki tidak ada lagi subsidi negara untuk BUMN Tiongkok. Terutama yang terkait dengan program Made In China 2025. Yang, kasarnya, apa pun sudah bisa dibuat Tiongkok di tahun itu.
Sudah tidak perlu lagi Amerika.

Untuk program itu Tiongkok memang memberi biaya 'berapa pun' kepada BUMN yang ditugasi.
Kalau Trump memang patriot cinta Amerika ia pantas menghadang program Made In China 2025. Itulah tonggak baru Tiongkok. Dalam mencapai tahapan baru: mengalahkan Amerika di tahun 2030.

Apakah kenaikan tarif terbaru ini bisa menggagalkan Made In China 2025? Rasanya tidak.

Harus ada lagi seribu jalan dan seribu sabuk untuk menghambat Tiongkok. Mulai dari Huawei sampai pertukaran guru besar. Soal Huawei Anda sudah tahu. Soal pertukaran profesor kini lagi hangat-hangatnya: begitu banyak profesor Tiongkok yang kini tidak bisa dapat visa Amerika.

Masih ada sabuk yang lebih menentukan: Taiwan. Mungkin saja Tiongkok bisa dipancing untuk menyerbu Taiwan. Lalu Amerika punya kekuatan hukum untuk menyerang Tiongkok.

Kapal perang Amerika terus saja dikirim. Untuk melewati selat Taiwan. Berbagai keberatan dari Tiongkok diabaikan. Tetap saja kapal perang itu melintas selat Taiwan.

Mulai Jumat besok ganti Tiongkok mengadakan latihan perang. Dengan menggunakan senjata hidup. Menembak beneran. Dengan peluru beneran. Di laut dekat Taipei.

Kawasan itu sudah dinyatakan 'no sail zone'. Tidak boleh ada kapal melintas. Apalagi perahu. Selama seminggu.

UU Dasar Tiongkok memang menyebut Taiwan adalah salah satu propinsinya. Yang harus direbut. Kalau perlu dengan kekerasan.

Berbagai usaha sudah dilakukan. Selama 69 tahun terakhir. Mulai dengan cara berdagang sampai ke penggerogotan diplomasi. Hanya dengan kekerasan yang belum. Tahun depan adalah tahun ke 70 Tiongkok menahan diri.

Amerika tampaknya tinggal tunggu kapan Tiongkok terpancing. Yang akan menguras kekuatannya. Agar tidak jadi mengalahkan Amerika.

Pertanyaannya: bagaimana kalau Tiongkok yang menang?

Populer

Masih Sibuk di Jogja, Pimpinan KPK Belum Tahu OTT di Lampung Tengah

Selasa, 09 Desember 2025 | 14:21

Pura Jadi Latar Film Porno, Hey Bali: Respons Aparat Dingin

Selasa, 09 Desember 2025 | 21:58

Kebun Sawit Milik POSCO Lebih dari Dua Kali Luas Singapura

Senin, 08 Desember 2025 | 19:12

Mahfud MD soal Bencana Sumatera: Menyuruh Pejabat Mundur Tidak Relevan

Rabu, 10 Desember 2025 | 05:53

Bangun Jembatan Harapan

Minggu, 07 Desember 2025 | 02:46

Distribusi Bantuan di Teluk Bayur

Minggu, 07 Desember 2025 | 04:25

Bahlil Minta Maaf Usai Prank Presiden Prabowo

Selasa, 09 Desember 2025 | 18:00

UPDATE

Kreditur Tak Boleh Cuci Tangan: OJK Perketat Aturan Penagihan Utang Pasca Tragedi Kalibata

Rabu, 17 Desember 2025 | 08:15

Dolar Melemah di Tengah Data Tenaga Kerja AS yang Variatif

Rabu, 17 Desember 2025 | 08:00

Penghormatan 75 Tahun Pengabdian: Memori Kolektif Haji dalam Buku Pamungkas Ditjen PHU

Rabu, 17 Desember 2025 | 07:48

Emas Menguat Didorong Data Pengangguran AS dan Prospek Pemangkasan Suku Bunga Fed

Rabu, 17 Desember 2025 | 07:23

Bursa Eropa Tumbang Dihantam Data Ketenagakerjaan AS dan Kecemasan Global

Rabu, 17 Desember 2025 | 07:01

Pembatasan Truk saat Nataru Bisa Picu Kenaikan Biaya Logistik

Rabu, 17 Desember 2025 | 06:46

Dokter Tifa Kecewa Penyidik Perlihatkan Ijazah Jokowi cuma 10 Menit

Rabu, 17 Desember 2025 | 06:35

Lompatan Cara Belajar

Rabu, 17 Desember 2025 | 06:22

Jakarta Hasilkan Bahan Bakar Alternatif dari RDF Plant Rorotan

Rabu, 17 Desember 2025 | 06:11

Dedi Mulyadi Larang Angkot di Puncak Beroperasi selama Nataru

Rabu, 17 Desember 2025 | 05:48

Selengkapnya