Korban kebakaran di kolong tol di daerah Pejagalan, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara, bersikeras tetap mendiami kolong tol. Mereka tetap ogah menempati tenda pengungsian. Pengelola jalan tol pun seolah membolehkan mereka tetap menghuni kolong tol.
Genap 10 hari musibah kebakaran di permukiman kolong tol berlalu. Didin, salah seorang korban memilih tetap mendiami lokasi kebakaran. Bersama beÂberapa orang anggota keluarganya, Didin mendirikan tenda di pojok, sedikit keluar dari areal kolong tol. Sederhana. Tiang-tiangnya terbuat dari bambu. Sedangkan atapnya, terbuat dari terpal dan sprei tempat tidur. Sebagian tak ditutup atap.
Ukurannya sekitar 4 x 2 meter. Di dalamnya, dia meletakkan beberapa barang yang sempat diselamatkan saat kebakaran. Beberapa kursi berukuran kecil. Ada juga kasur, yang dijadikan tempat tidur bersama dengan anggota keluarga yang lain.
Tak cuma satu, ada dua tenda lain yang dibangun. Ukurannya lebih kecil. Cuma dijadikan tempat untuk beristirahat, atau tidur. Katanya, itu untuk anak dan menantunya yang baru saja menikah. Persis di sebelahnya, Didin juga membangun MCK darurat. Tanpa saluran pembuangan. Semuanya langsung menuju kali kecil di tempat itu.
Didin hanya satu, dari puluhan warga yang kembali membangun pemukiman di lokasi kebakaran. Bahkan, beberapa warga lain mendirikan tenda persis di koÂlong tol yang terbakar. Tak jarang tenda-tenda itu tak memiÂliki atap. Hanya dinding-dinding yang terbuat dari terpal. Itu pun tidak tinggi.
Padahal, tanah di sekitar tempat mereka mendirikan tenda sangat becek. Kumuh. Tak cocok dijadikan tempat tinggal. Apalagi untuk anak-anak. Belum lagi puing-puing bangunan yang terbakar, tidak semuanya dibuang. Sebagian masih berserakan di kolong tol yang tampak menghitam.
Selain becek dan kumuh, tenda-tenda yang mereka dirikan, bisa menghambat proses perbaikan tol yang sudah mulai dilakukan. Pantauan Jumat (5/4), kontraktor rekanan pengelola jalan tol, mulai mendirikan perancah-perancah di lokasi. Bahannya dari besi baja. Dengan ketinggian 2-3 meter. Perancah-perancah itu nantinya akan dipakai sebagai tangga untuk pekerja yang melakukan penguatan beton jalan tol.
Perancah-perancah itu didirikan di lokasi seluas sekitar 4 ribu meter persegi. Sama dengan luas lokasi kebakaran. Di bagian terluar, mereka juga mendirikan dinding dari seng, layaknya sebuah proyek pemÂbangunan. Di lokasi, juga ada satu unit alat berat turut memÂbantu proses perbaikan beton jalan tol. Sementara puluhan pekerja terlihat sibuk hilir mudik di lokasi tersebut.
Didin mengaku, enggan pinÂdah dari kolong tol tersebut. Kata dia, kolong tol itu sudah memberikan penghidupan bagÂinya. Makanya, begitu rumahnya ludes dalam kebakaran, Didin dan keluarganya berinisiatif mendiriÂkan tenda sendiri. "Sebelumnya memang enggak ada," kata Didin, saat ngobrol-ngobrol.
Didin mengaku sengaja mendirikan tenda di lokasi kebaÂkaran. Dia juga tahu bahwa akan ada perbaikan jalan tol. Namun, dia menolak tinggal di tenda pengungsian yang berada di luar lokasi kebakaran, karena sempit. Lagipula, kata dia, kontraktor yang akan memperbaiki jalan tol, memberikan akses jalan keÂpadanya. "Dikasih sedikit untuk keluar masuk," terangnya.
Dari pengamatan, tenda pengungsi dari dinas sosial didiriÂkan sedikit di luar lokasi kebaÂkaran. Tepatnya berada di Jalan Pluit Karang Karya 6, Pejagalan. Namun, tenda yang didirikan cuma satu. Ukurannya pun kecil. Tak cukup menampung semua korban kebakaran. Di sampingÂnya memang ada tenda lainnya milik salah satu ormas, namun ukurannya jauh lebih kecil.
Lebih lanjut, Didin mengataÂkan, sehari-hari bekerja sebagai pengumpul barang bekas. Dari pekerjaannya itu, Didin mampu menghidupi keluarga, dan juga menyekolahkan anak-anaknya.
Kini, semua harta benda miÂliknya habis. Termasuk tiga gerobak yang biasa dipakainya bekerja. "Habis semua, mau kerja nggak ada modal," ucapnya.
Bahkan, uang tunai yang diÂkumpulkannya di rumahnya pun ikut terbakar. Didin tak tahu perÂsis jumlahnya. Tapi, dia sudah mengumpulkan uang pecahan Rp 20 ribu per hari selama dua tahun terakhir.
"Kalau hitungan kasar, mungÂkin sudah belasan juta. Habis semua," ungkapnya.
Ningsih, korban lainnya pun menolak pindah. Dia mengaku ingin tetap tinggal di tempat itu karena tak mampu jika harus mengontrak. Ketika ditawari unÂtuk pindah ke rusun, Ningsih pun menolak. Lagipula, pekerjaanÂnya sebagai pengumpul baramg bekas pun dilakukan di tempat tersebut. "Yang dari rusun aja banyak yang balik lagi ke sini," kata Ningsih.
Ningsih mengalami kerugian sekitar Rp 15 juta akibat musibah tersebut. Padahal, rumahnya yang terbakar, baru ditinggali selama tiga bulan terakhir. Dia mencicil membangun rumah itu hingga bisa ditinggali. "Tapi sekarang rata. Tinggal ubinnya saja," terangnya.
Beruntung surat-surat dan dokumen penting bisa dia seÂlamatkan. Sehingga dia tak khawatir jika ada pendataan dan sebagainya. "Alhamdulillah KTP, BPJS, KK, yang penting-penting bisa saya selamatkan kemarin," ucapnya.
Perbaikan Jalan Tol 1-2 Bulan Di tengah upaya korban memÂbangun kembali hunian mereka, puluhan pekerja rekanan penÂgelola tol telah memulai proses perbaikan. Berbagai perlengkaÂpan yang diperlukan untuk perÂbaikan, mulai memasuki lokasi kebakaran.
Salah seorang pekerja yang menolak disebut identitasnya mengatakan, perbaikan harus segera dilakukan. Pasalnya, kualitas bangunan yang terbakar, tentu berbeda dengan sebelumnya. "Pasti lebih bagus sebelum terbakar kan. Nah, ini mau dikembalikan seperti sedia kala," kata pekerja itu.
Dia memprediksi, perbaikan akan memakan waktu selama satu hingga dua bulan. Soalnya, luas area yang terbakar lumayan besar. "Selain itu, keberadaan warga pasti sedikit banyak bisa menghambat," ujarnya.
Terkait langkah merelokasi warga kolong tol, dia mengaku tak mengetahui persis. Katanya, hal itu merupakan urusan penÂgelola jalan tol. Pihaknya hanya ditugasi untuk memperbaiki kualitas jalan tol yang terbakar.
"Ya, kalau menurut saya sih pasti warga pada balik lagi," tukasnya.
Latar Belakang
Berulang Kali Kebakaran, Perlu Solusi Konkret
Sejak Tol Diresmikan
Kebakaran besar terjadi di kolong tol Profesor Sedyatmo, kawasan Pejagalan, Penjarigan, Jakarta Utara. Akibat kebakaran itu, sebanyak 200 lapak hunia warga yang merupakan bangunan semi permanen, ludes. Kebakaran di kolong tol itu bukan yang pertama kali. Hingga perÂistiwa 10 hari lalu, tercatat sudah tiga kali kebakaran terjadi.
Mamin, Ketua RT 6 RW 16, Pejagalan mengatakan, kejadianakhir pekan lalu, adalah kebakaran besar yang kedua kalinya dalam empat tahun terakhir. "Sebelumnya kira-kira enam bulan lalu. Kecil. Empat rumah yang terbakar," ungkap Mamin.
Kebakaran kali ini, kata Mamin, disebabkan kompor yang lupa dimatikan pemiliknya. Mamin bilang, kompor itu sedang dipakai memasak air oleh pemiliknya. Namun, ditinggal pergi pemiliknya yang saat itu ikut mengantarkan pengantin.
"Sudah nitip ke suaminya, tapi mungkin suaminya lalai akhÂirnya kebakaran," tuturnya.
Berulang kali kebakaran, Mamin jengah. Dia berharap Pemprov DKI memberi solusi agar tidak terjadi lagi kebakaran serupa. Dia juga berharap orang-orang yang tinggal di kolong tol diberi solusi, misalnya dipindah ke rusun. "Kita serahkan ke Pemprov saja," ujarnya.
Menurutnya, permukiman liar di kolong tol Pejagalan yang terbakar, disebut sudah ada sejak 1996. Meski sempat digusur, permukiman liar ini kembali didirikan hingga akhirnya terbakar pagi tadi. "Gubuk lama. Sejak peresmian tol tahun 1996 langÂsung pada nempatin," bebernya.
Sebelumnya, gubuk-gubuk itu pernah dibongkar, dan dibersihkan.Namun, warga selalu kemÂbali ke tempat tersebut. "Dua tahun lalu dirapihin, tapi penuh lagi," jelasnya.
Mamin tak tinggal di kolong tol. Dia mengatakan, orang-orang yang tinggal di gubuk-gubuk liar di kolong tol itu tak pernah melapor kepadanya selaku ketua RT. Akibatnya, dia kesulitan mendata warga ketika terjadi musibah keÂbakaran seperti saat ini. Dia bahkan tidak tahu jumlah warga di lokasi tersebut.
Padahal, Mamin sudah 21 tahun menjadi Ketua RT. Ditambah, dia adalah warga asli wilayah tersebut. Mamin telah tinggal di wilayah itu sejak tahun 1953. Sebelum tol itu dibangun, hingga peresmian tahun 1996. "Belum ada gubuk-gubuk. Yang masuk satu-dua orang," ungkapnya.
Dia menyebut Pemprov DKI juga sudah melarang warga tingÂgal atau mendirikan bangunan di kolong tol. Namun larangan itu tak dipedulikan warga, yang mayoritas pendatang dari luar DKI dan bekerja sebagai pemuÂlung itu. "Mereka itu bandel atau gimana," ujarnya.
Sebelumnya, Budi Aryono, petugas Dinas Penanggulangan Kebakaran dan Penyelamatan Jakarta Utara mengatakan, laporan kebakaran diterima Sabtu (30/3), pukul 09.00 WIB. Kebakaran bisa dipadamkan dipadamkan sekitar pukul 10.45 WIB. Ada 12 unit mobil pemadam yang dikerahkan ke lokasi.
Kebakaran di kolong tol Pluit sebelumnya membuat jalur tol ditutup. Namun usai pemadaman, siang itu juga Tol Dalam Kota ruas Pluit arah Jembatan Tiga sudah bisa dilalui kendaraan.
Sofyan, warga setempat menÂgatakan, api muncul tiba-tiba dari salah satu rumah warga yang tenÂgah ditinggal pergi penghuninya. Api cepat membesar,dan tak bisa dijinakkan. Kata dia, warga langsung berhamburan untuk menyelematkan diri. Banyak dari mereka yang tak sempat menyelamatkan barang-barang dari tempat tinggalnya.
Sofyan mengaku barangnya ludes. Hangus terbakar. Dia tak sempat memyelamatkan barang-barangnya. "Cuma surat-surat penting saja yang terbawa," ujar Sofyan.