Berita

Petani tembakau/Net

Bisnis

Indef: Impor Rokok Dipermudah, Petani Tembakau Terkena Imbas

KAMIS, 14 MARET 2019 | 17:08 WIB | LAPORAN: RUSLAN TAMBAK

. Industri rokok besar dengan produksi di atas 2 miliar batang per tahun, kecil kemungkinan menjual produknya dengan harga murah. Pasalnya, mereka terkena aturan cukai dengan tarif lebih tinggi.

Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Enny Sri Hartati mengatakan, kalau ada rokok kretek asing dijual lebih murah dari rokok kretek produk domestik, maka harus dievaluasi.

Enny memberikan tanggapan terkait peluncuran produk rokok kretek dengan 'brand' asing berinisial PM yang dijual di pasar nasional dengan bandrol Rp 12.000 per bungkus isi 12 batang. PM merupakan pemain besar di industri rokok dunia. Di Indonesia saja, angka produksinya di atas 2 miliar batang per tahun.

Sesuai regulasi, PM seharusnya berada di golongan satu dalam tarif cukai. Karena mereka tidak mungkin menjual produk kretek lebih murah dibandingkan kretek menengah ke bawah produksi nasional.

"Kalau hal itu dianggap merugikan, laporkan, karena mungkin ada aturan yang tidak mereka patuhi. Aturannya sudah ada, tinggal bagaimana penegakan hukumnya," ujar Enny dalam keterangannya, Kamis (14/3).

Dia menambahkan, prinsip pertama, pada dasarnya setiap orang boleh berusaha, baik itu domestik maupun asing. Dengan catatan, semua harus mengikuti peraturan yang berlaku di negara tersebut. Prinsip kedua, yang namanya rokok, kalau dilihat struktur biayanya, hampir 80 persen itu untuk regulasi.

"Jadi, dalam satu batang rokok, biaya produksi hanya sekitar 20 persen. Sudah termasuk cukai dan sebagainya," ungkapnya.

Menurut Enny, kalau rokok tersebut diproduksi di luar negeri, lalu masuk ke dalam negeri, maka harus dikenai pajak. Artinya, jika struktur biayanya hampir sama dengan produk dalam negeri, bagaimana mungkin mereka jual lebih murah. Sebab, konten biaya produksinya pasti sama. Sehingga, hitungan ekonominya tidak mungkin lebih murah dibanding produk dalam negeri, karena ada cukai.

Sementara, jika rokok tersebut diproduksi di Indonesia dengan tembakau impor, Enny menyebut ada regulasi dari pemerintah. "Kalau pemerintah mau melindungi petani tembakau dalam negeri, tentu tembakau impor harus dikenai tarif lagi seperti bea masuk, sehingga ekuivalen. Semua ada aturannya, tinggal ditegakkan atau tidak," tegasnya.

Ekonom senior ini menjelaskan, regulasi diperlukan untuk menjaga keseimbangan. Dalam industri rokok, yang memang harus dibatasi produksinya, salah satu instrumen pembatasnya adalah terkait penggunaan tembakau impor. Kalau dikenai tarif bea masuk yang tinggi, maka industri rokok asing ini akan mengutamakan penggunaan tembakau dalam negeri.

"Setiap negara sangat boleh menerapkan 'instrument barrier' untuk mengarahkan asing menggunakan tembakau dalam negeri. Selain itu, industri rokok besar seperti PM lazimnya bermain di dua jenis rokok, sigaret putih mesin dan sigaret kretek mesin. Mereka pasti ada di golongan satu," jelas Enny.

Merespons kekhawatiran pasokan tembakau impor akan merugikan petani dalam negeri, Enny mengatakan, sepanjang tidak ada larangan dari pemerintah, maka sah tembakau impor masuk. Namun, di sini pemerintah seharusnya memiliki dan menerapkan regulasi yang jelas dan berkeadilan.

Konkretnya pemerintah harus melindungi kepentingan domestik dan melindungi seluruh pelaku industri rokok mulai dari skala besar, menengah dan kecil. Kalau sampai produk dalam negeri kalah bersaing karena ada keberpihakan regulasi, misalkan regulasinya lebih pro kepada yang besar sehingga mematikan yang menengah dan kecil, itu baru salah.

"Tembakau impor harus punya tarif lebih mahal agar petani tembakau terlindungi. Kalau impor terlalu dipermudah, yang terkena imbasnya pasti petani, karena harga tembakau jatuh dan tidak bisa bersaing secara bisnis," tutup Enny.

Populer

Pendapatan Telkom Rp9 T dari "Telepon Tidur" Patut Dicurigai

Rabu, 24 April 2024 | 02:12

Polemik Jam Buka Toko Kelontong Madura di Bali

Sabtu, 27 April 2024 | 17:17

Pj Gubernur Ingin Sumedang Kembali jadi Paradijs van Java

Selasa, 23 April 2024 | 12:42

Jurus Anies dan Prabowo Mengunci Kelicikan Jokowi

Rabu, 24 April 2024 | 19:46

Tim Hukum PDIP Minta Penetapan Prabowo-Gibran Ditunda

Selasa, 23 April 2024 | 19:52

Pj Gubernur Jabar Minta Pemkab Garut Perbaiki Rumah Rusak Terdampak Gempa

Senin, 29 April 2024 | 01:56

Bocah Open BO Jadi Eksperimen

Sabtu, 27 April 2024 | 14:54

UPDATE

Samsudin Pembuat Konten Tukar Pasangan Segera Disidang

Kamis, 02 Mei 2024 | 01:57

Tutup Penjaringan Cakada Lamteng, PAN Dapatkan 4 Nama

Kamis, 02 Mei 2024 | 01:45

Gerindra Aceh Optimistis Menangkan Pilkada 2024

Kamis, 02 Mei 2024 | 01:18

Peringatan Hari Buruh Cuma Euforia Tanpa Refleksi

Kamis, 02 Mei 2024 | 00:55

May Day di Jatim Berjalan Aman dan Kondusif, Kapolda: Alhamdulillah

Kamis, 02 Mei 2024 | 00:15

Cak Imin Sebut Negara Bisa Kolaps Kalau Tak Ada Perubahan Skenario Kerja

Rabu, 01 Mei 2024 | 23:39

Kuliah Tamu di LSE, Airlangga: Kami On Track Menuju Indonesia Emas 2045

Rabu, 01 Mei 2024 | 23:16

TKN Fanta Minta Prabowo-Gibran Tetap Gandeng Generasi Muda

Rabu, 01 Mei 2024 | 22:41

Ratusan Pelaku UMKM Diajari Akselerasi Pasar Wirausaha

Rabu, 01 Mei 2024 | 22:36

Pilgub Jakarta Bisa Bikin PDIP Pusing

Rabu, 01 Mei 2024 | 22:22

Selengkapnya