Berita

Rumah Kaca

Puisi Dahlan Iskan: Musim Dangkal

SELASA, 12 MARET 2019 | 07:56 WIB | OLEH: DAHLAN ISKAN

MUSIM durian tiba. Yang menyengat tidak hanya aroma. Tapi juga suasana.

Durian kulitnya tajam. Demikian juga lidah manusia. Khususnya di musim hati didudukkan di kursi. Ketika yang dibicarakan hanya kulit-kulitnya. Tapi menusuk sampai dagingnya. Hanya permukaannya. Tapi membekas sampai sanubarinya.

Ketika jarak pandang sangat dekat. Suluk masa depan terselimut kabut.


Inilah musim yang membuat orang seperti Kyai Yusuf tidak mendapat angin. Ketika filsafat tidak dapat tempat. Ketika sufi dianggap sepi.

Siapa yang masih laku untuk bicara esensi. Ketika retorika lebih mengungguli.

Di mana lagi kita bisa bertanya: mengapa posisi Tuhan lebih dekat dari tubuh diri manusia. Bahkan dari urat lehernya.

Di mana sebenarnya Tuhan. Terutama ketika Raja Arab membuka pintu ”bait Allah”. Dan mendapatkan di dalamnya ruang yang kosong.

Di manakah gerangan qalbu. Di saat semua orang hanya bersilat lidah.

Perlukah masa lalu diingat-ingat. Dan masa depan dipercepat. Kalau tidak ada yang fokus untuk jati diri masa kini.

Padahal, padahal, padahal.

Adakah agama yang tidak memperbincangkan ketinggian? Yang tidak mengajarkan cara memanjat ketinggian?

Tapi, tapi, tapi.

Mengapa hati bisa lebih tinggi dari Pagoda di atas tebing. Dari menara masjid yang menuding langit. Dari lonceng gereja di puncak menara.

Di manakah lagi panggung diskusi tentang pencucian hati. Ketika semua trotoar dipenuhi slogan kedudukan.

Siapakah lagi yang masih mengajarkan tata-cara membersihkan hati. Ketika semua debu dilumurkan ke qalbu. Dan hati yang berdebu dianggap sama sexy-nya dengan kelelepon berbalut kelapa parut.

Di manakah ruang diskusi jalan menemukan Tuhan. Ketika semua jalan kebanjiran uang untuk mencari kursi.

Sungai sudah kehilangan kedungnya yang dalam. Yang tersisa hanyalah dasarnya yang kian dangkal.

Tidak ada lagi semedi.

Tidak ada mawas diri.

Tidak ada tempat untuk para sufi.

Inilah musim hati kemrungsung.

Dada membusung.

Perut melembung.

Tenggorokan melengkung.

Ludah menjadi gelembung-gelembung. Penuh racun.

Ke mana Toto Asmara. Setelah lama meninggal dunia.

Zikir sudah minggir.

Pun, pun, pun.

Bersyahabat sudah dianggap sama dengan mengucapkan syahadat.

Bait Allah disamakan dengan bangunan berkubah.

Tidak ada lagi diskusi puisi.

Ketika puisi juga dicabut dari esensi.

Ketika semua dahan dipaku untuk slogan.

Inilah sungai dangkal.

Dengan dewa sekelas Narada.

Dengan urea sosial media.

Esensi dijauhi.

Rating dikejar.

Hati diperdagangkan.

Populer

Bobby dan Raja Juli Paling Bertanggung Jawab terhadap Bencana di Sumut

Senin, 01 Desember 2025 | 02:29

NU dan Muhammadiyah Dikutuk Tambang

Minggu, 30 November 2025 | 02:12

Padang Diterjang Banjir Bandang

Jumat, 28 November 2025 | 00:32

Sergap Kapal Nikel

Kamis, 27 November 2025 | 05:59

Peluncuran Tiga Pusat Studi Baru

Jumat, 28 November 2025 | 02:08

Bersihkan Sisa Bencana

Jumat, 28 November 2025 | 04:14

Evakuasi Banjir Tapsel

Kamis, 27 November 2025 | 03:45

UPDATE

Puan Harap Korban Banjir Sumatera Peroleh Penanganan Baik

Sabtu, 06 Desember 2025 | 02:10

Bantuan Kemensos Telah Terdistribusikan ke Wilayah Aceh

Sabtu, 06 Desember 2025 | 02:00

Prabowo Bantah Rambo Podium

Sabtu, 06 Desember 2025 | 01:59

Pansus Illegal Logging Dibahas Usai Penanganan Bencana Sumatera

Sabtu, 06 Desember 2025 | 01:39

BNN Kirim 2.000 Paket Sembako ke Korban Banjir Sumatera

Sabtu, 06 Desember 2025 | 01:18

Bahlil Sebut Golkar Bakal Dukung Prabowo di 2029

Sabtu, 06 Desember 2025 | 01:03

Banjir Sumatera jadi Alarm Keras Rawannya Kondisi Ekologis

Sabtu, 06 Desember 2025 | 00:56

UEA Berpeluang Ikuti Langkah Indonesia Kirim Pasukan ke Gaza

Sabtu, 06 Desember 2025 | 00:47

Media Diajak Kawal Transformasi DPR Lewat Berita Berimbang

Sabtu, 06 Desember 2025 | 00:18

AMAN Raih Dua Penghargaan di Ajang FIABCI Award 2025

Sabtu, 06 Desember 2025 | 00:15

Selengkapnya