MILENNIAL diperebutkan! Segmen dan kriteria dari kelompok muda ini, kemudian menjadi medan pertarungan politik. Jumlahnya signifikan sebagai pemilih, maka menjadi sangat menggiurkan. Lapis generasi atas basis demografi, menempatkan milenial dengan berbagai kriteria kekinian, selain muda juga melek teknologi, terkategorisasi sebagai digital native.
Klasifikasi milenial tersebut, membuat kemudian berbagai partai politik mencoba masuk dalam logika anak-anak “jaman nowâ€. Termasuk penggunaan sosial media dan cara-cara pendekatan yang lebih “akrabâ€. Sebagian kalangan menyatakan, glorifikasi sebagai bentuk melebih-lebihkan jenis pemilih dalam segmen milenial, adalah sebuah kesia-siaan. Terutama karena komposisi pemilih begitu beragam.
Benar bahwa terdapat bonus demografi, dimana lapis penduduk produktif sering dimaknai sebagai milenial, jangan lupakan generasi pemilih yang ada dilapis berbeda. Berfokus pada satu segmen saja bisa dijadikan sebagai strategi diferensiasi, tetapi belum ada jaminan atas keberhasilan yang akan diperoleh.
Tidak mengherankan bila kemudian, tampilan salah satu partai politik yang menjadi debutan pada Pemilu kali ini, mencoba menyasar anak muda alias milenial tersebut. Tampil dengan sebutan “Bro and Sis†seolah menghadirkan kesederajatan serta kesetaraan khas anak “gaulâ€. Ketika banyak partai menghadirkan tokoh-tokoh sarat pengalaman dan senior di dunia politik, partai penggenggam mawar ini menawarkan wajah dan sosok yang
fresh from the oven.
Tidak hanya muda, terdidik, bahkan banyak diantaranya mendapatkan pendidikan di luar negeri, tentu saja bersemangat menapaki jalur politik sebagai bentuk ekspresi maupun aktualisasi diri, perlu diapresiasi, di tengah situasi yang menyebabkan banyak generasi muda justru sangat apolitis dan pragmatis melihat dunia perpolitikan lokal. Anda tentu dengan mudah menebak partai politik yang hendak kita diskusikan, ya tentu saja PSI!.
Tulisan ini menjadi upaya untuk memahamkan cara berpolitik ala PSI, sebuah partai belia yang diisi sekelompok anak muda, dalam konteks pemasaran segmentasi dan target market sasarannya jelas adalah milenial. Pembedanya, tentu adalah cara pendekatan publik. Layaknya partai baru, PSI yang mengambil makna Solidaritas sebagai titik sentral perjuangannya, lihai menggunakan strategi kehumasan.
Maka, PSI kemudian kerap tampil kemuka dengan membawa issue aktual, melakukan publikasi melalui media massa mainstream atau memanfaatkan kanal sosial media yang dikelolanya. Ekspose dan sorotan publik adalah ekspektasi yang diharapkan timbul melalui aktivitas tersebut, dalam mekanisme komunikasi pemasaran disebut sebagai getok-tular, atau amplifikasi pesan kepada khalayak luas.
Di samping online strategi, pola kampanye offline juga dilakukan, alat peraga kampanye para calon dari partai tersebut, mulai dari spanduk, poster, baliho, kaos maupun stiker berseliweran di ruang publik. Lebih jauh lagi, konferensi pers sebagai alat untuk menciptakan daya tarik dan membangun persuasi publik juga disertai dengan kegiatan yang relatif konvensional, seperti rapat umum partai dengan menghadirkan tokoh nasional, sebuah format simbolik yang nampak old style.
Jelas tidak mudah untuk konsisten, di era penuh disrupsi ini. Politik juga dipengaruhi oleh sentimen psikologis, jauh lebih kompleks dibandingkan sekedar tawaran program kerja yang fundamental semata. Karena itu, cara yang paling kompatibel dalam kerangka
sustainability PSI sebagai partai baru, adalah dengan menempel pada kekuasaan, berada di kubu petahana. Tentu saja diharapkan agar terdapat dampak elektoral, yang mampu membawa partai muda ini, mencapai batas ambang
parliamentary threshold, sebagai syarat keberlanjutan dan keberlangsungan hidupnya di masa mendatang. Sekali lagi, kita dapat membaca hal tersebut sebagai sebuah strategi yang normal dan wajar.
Edukasi Politik Secara Rileks, Efektifkah?Politik itu kotor! mungkin itu yang sering kita dengar, dan karena itu pula kita tidak hendak terlibat pada urusan politik, tentu saja disebabkan kita tidak hendak berkubang dalam kekotoran tersebut.
Standpoint PSI justru tegas, melihat wilayah politik sebagai sarana melakukan perubahan dan perbaikan demi kemajuan, sebuah idealisme dalam cita-cita yang mulia.
Meski kita dapat bersepaham dengan hal tersebut, tetapi banyak hal yang masih menjadi pertanyaan yang menggantung bagi partai muda ini? Semisal bagaimana konsepsinya tentang politik generasi “tua� Serta tidak kah sebagian kegiatan yang dilakukan PSI, justru masuk ke dalam perangkap perilaku yang telah dilakukan oleh berbagai partai yang telah memiliki jam terbang sebagai pengalaman politik yang lebih tinggi alias generasi "tua"?.
Kini, media massa terutama layar kaca agak steril dari banyaknya iklan politik. Mungkin adaptasi model kampanye partai-partai berubah di abad digital, selain itu kerangka kampanye pada skema pemilu serentak, membuat partai-partai berkonsentrasi secara internal, dengan mengandalkan improvisasi lapangan para calon yang diajukan. Pilihan beriklan di media massa bukan lagi cara yang diambil oleh mereka, justru aktivitas sosial media dikembangkan secara tertarget, kini mulai bergerak dan dipergunakan.
Menariknya, justru iklan PSI yang tampak dominan di layar kaca. Pilihan beriklan di media mainstream banyak ditinggalkan, disebabkan karena porsi budget iklan yang dikeluarkan tidak sedikit. Lalu bagaimana partai baru selayaknya PSI, mampu mengatur
cashflow mereka? Bagaimana mekanisme funding internal dan eksternalnya? Katakanlah kemudian semua pertanyaan tersebut dapat tuntas dijawab, maka turunan persoalan berikutnya adalah mengapa model kampanye dalam iklan yang dibuat tersebut demikian “recehâ€, untuk menyatakan bahwa bentuknya tampil secara informal, ala anak muda saat ini. Mungkin di situ terletak titik kreatifitasnya dibentuk.
Iklan tidak kurang dari 20 detik itu, menampilkan figur sang Ketua Partai, dengan gaya sederhana, membawakan beberapa bentuk tebak-tebakan khas anak muda yang crunchy, menimbulkan keterbelahan persepsi. Sebagian menyatakan segar dan menghibur, sementara belahan sudut pandang yang lain menyatakan bila pola kampanye dalam iklan tersebut, tidak memberikan dampak kebermanfaatan guna mendorong terjadinya melek politik, menuju partisipasi politik.
Tentu saja soal metode, maka masing-masing partai politik memiliki wilayah kebenaran dari dasar pemikirannya, kebetulan saja iklan PSI tampak lebih sering muncul dan terpapar dalam memori saya, sebagai khalayak dari media massa arus utama. Bisa jadi sasaran utamanya, untuk mencoba mendekonstruksi soal politik itu sebagai hal yang terlalu serius, sehingga perlu relaksasi dan humor di dalamnya. Pada sebagian aspek hal ini dapat dipersetujui.
Menyoal efektifitas iklan dengan jenis seperti itu, maka kita perlu melihat seberapa besar perolehan suara bagi PSI kali ini. Sementara sebagai catatan, humor sebagai upaya relaksasi ketegangan, adalah cara untuk melepas penat, tapi porsinya minor saja dan bukan hal yang mayor, apalagi terlalu dominan. Kita sedang berhadapan dengan hal-hal serius pada persoalan kebangsaan, atau yang disebut sebagai pemaknaan demokrasi substantif pada laman PSI sendiri.
Jadi jangan terlalu banyak bermain-main, karena politik bukan sekedar arena permainan melainkan perjuangan untuk membangun narasi besar kebangsaan, meski ada upaya untuk tetap ceria dan menampilkan senyuman disana. Sekali lagi, dalam prinsip pemasaran
know the audience adalah hal terpenting untuk menciptakan resonansi. Mungkin saja, saya terkategori dinosaurus yang bukan menjadi target dari PSI, tapi semoga saja mereka mampu merumuskan perbaikan format iklan, yang lebih dapat membawa pencerahan serta edukasi politik bagi kaum muda.
Persis seperti ungkapan orator ulung, Founding Father bangsa ini, yakni Soekarno, “Berikan aku 10 Pemuda, Niscaya akan Kuguncangkan Duniaâ€, tentu bukan pemuda-pemudi yang membebek pada budaya ala “ngak ngik ngok†melainkan mereka yang revolusioner tentunya. Perspektif berbeda boleh saja, persis seperti melihat indahnya mawar diantara duri yang tajam. Atau memang sekarang dunia sudah sedemikian berubah? Entahlah, sesungguhnya di pundak pemuda terletak harapan bangsa!
Yudhi HertantoMahasiswa program doktoral Ilmu Komunikasi Universitas Sahid.