TAFSIR persoalan pendidikan formal yang muncul adalah adanya keinginan, agar tercapai kecocokan antara kompetensi alumni sekolah formal dengan kebutuhan industri.
Untuk itu, lembaga pendidikan diharapkan mengajarkan spesialisasi apa saja yang dibutuhkan oleh dunia industri, bukan untuk menghasilkan para alumni yang berkemampuan generalis.
Misalnya muncullah gagasan membuat program studi media sosial, bukan lagi membuka fakultas komunikasi, fakultas ilmu komputer, ataupun program studi teknologi informatika.
Akan tetapi setelah ditelusuri secara lebih mendalam, diketahui bahwa jumlah pencari kerja terdaftar sebanyak 698.988 orang, sedangkan lowongan kerja terdaftar sebanyak 289.632 orang di Indonesia tahun 2017 (Badan Pusat Statistik, 2018).
Persoalan betapa terasa sulit dalam mencari pekerjaan ternyata terletak pada kurangnya lowongan kerja terdaftar. Demikian pula dengan rendahnya kewirausahaan yang mampu menyediakan lowongan pekerjaan.
Jadi, pangkal persoalan terletak pada sisi kurangnya permintaan tenaga kerja dan kurangnya sisi penawaran kewirausahaan.
Persoalan juga terdapat pada lembaga pendidikan formal. Misalnya jumlah Sekolah Dasar (SD) di bawah otoritas Kemendikbud menurun, karena jumlah murid SD menurun. Persoalan berikutnya adalah jumlah guru-guru SD, Madrasah Ibtidaiyah, SMP, Madrasah Tsanawiyah, SMA, SMK, dan Madrasah Aliyah berkurang dalam periode tahun ajaran 2014/2015 hingga 2016/2017.
Jumlah guru menurun, justru ketika pemerintah memberlakukan Kartu Indonesia Pintar, dana BOS, dan tunjangan sertifikasi guru. Akibatnya adalah rasio jumlah murid terhadap jumlah guru meningkat, yang dapat menurunkan intensitas dan efektivitas guru dalam memonitor kemajuan perkembangan pendidikan murid secara lebih seksama.
Persoalan lainnya di tingkat perguruan tinggi di bawah otoritas Kemenristekdikti dan Kementerian Agama adalah sangat banyaknya jumlah perguruan tinggi swasta dibandingkan negeri, yaitu 25,85 kali dan 12,04 kali tahun ajaran 2016/2017.
Sekalipun terdapat kuota untuk beasiswa mahasiswa dari keluarga pra sejahtera yang pintar, serta mendapat subsidi silang, namun sangat banyaknya jumlah perguruan swasta dan keberadaan perguruan tinggi BHMN, maupun sedikitnya kuota tadi membuat biaya pendidikan terasa sangat mahal untuk masyarakat banyak.
Hanya anak orang kaya dan mahasiswa beasiswa saja yang terkesan dapat melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi. Perguruan tinggi berkualitas tinggi dengan biaya pendidikan terjangkau terasa langka dijumpai. Ada, namun jumlahnya sedikit.
Di samping itu, rasio jumlah mahasiswa terhadap jumlah tenaga edukatif di perguruan tinggi jauh lebih besar dibandingkan rasio jumlah murid terhadap jumlah guru pada pendidikan SD hingga SMA, maupun Madrasah. Besarnya hampir dua kali lipat.
Akibat lanjutannya adalah persoalan penyediaan lowongan kerja yang diharapkan muncul dari semangat kewirausahaan tidak mudah diwujudkan. Produk alumni pencari kerjalah yang lebih mudah diproduksi oleh perguruan tinggi yang seperti itu.
Sugiyono Madelan
Penulis adalah peneliti INDEF dan pengajar Universitas Mercu Buana