TERPOLITISASI! Ruang diskusi publik kita dipenuhi dengan pembicaraan politik, maklum saja kita tengah berada di tahun penting proses transisi politik elektoral.
Makna dari terpolitisasi, menyebabkan semua hal yang dilakukan di ranah umum menjadi dinilai dan ternilai politis. Ada diksi yang tipikal dari terpolitisasi dan dipolitisasi, yakni pemanfaatan bagi kepentingan kekuasaan. Pembedanya adalah motif atas kesengajaan, atau hanya menjadi dampak ikutan.
Apa yang salah dari hal tersebut? Tentu tidak ada yang salah, melek politik adalah sebagai bagian dari literasi berpolitik, merupakan sebuah kebaikan.
Kungkungan kekuasaan yang hendak melakukan demarkasi antara publik dan politik, adalah bentuk dari keengganan elit untuk berbicara tentang kepentingan riil publik. Jadi ekspresi kebebasan berpendapat termasuk untuk urusan politik, diserahkan melalui mekanisme dialog dan diskusi di ruang publik, secara setara tanpa terkecuali.
Bahwa dalam konteks komunikasi tersebut, perlu dipahami ada batas etika yang harus dijaga. Maka kita perlu melihat periode dalam tahapan sirkulasi elit ini, sebagai sebuah masa investasi terbaik bagi pendidikan politik publik.
Dengan demikian peran para pihak terkait menjadi penting, termasuk elit, partai politik, publik, media dan ilmuwan. Porsi kesetimbangan di antara keseluruhan elemen tersebut menjadi penting untuk ditegakkan.
Jika begitu, bagaimana kita menakar konstruksi komunikasi politik yang terjadi saat ini secara reflektif? Posisinya masih memprihatinkan, perlu ada evaluasi total dan perbaikan ke depan.
Partisipasi publik terjadi, masuk dalam narasi kelompok dan perkubuan, belum mampu membangun kontra narasi serta keluar dari cara berpikir atas apa yang didistribusikan oleh para aktor politik. Masih butuh waktu menciptakan kemandirian, peran civil society pun tidak nampak mengemuka.
Situasi kontestasi politik saat ini, sesungguhnya tidak terlalu menguntungkan bagi publik, terlebih karena kandidat yang diusung hanya terdapat dua saja, maka publik terbelah secara dikotomi.
Padahal jika opsi atas pilihan yang tersedia diperkaya, bukan tidak mungkin tensi serta friksi politik tidak akan terlalu tajam, dikarenakan ada ruang netralisir.
Dalam polarisasi yang semakin mengental, posisi berhadapan terjadi dengan identifikasi kami dan kalian, tidak berbicara dalam kerangka kita sebagai anak bangsa. Konstruksi komunikasi politik ini, tentu perlu diluruskan dalam memahami perbedaan pendapat dan pilihan politik.
Kebenaran ala BuberDiksi kami dan kalian, menempatkan kebenaran secara separatis dengan klaim masing-masing pihak. Realitas kebenaran diperebutkan. Pada filsafat komunikasi, kita mengenal konsepsi Martin Buber dengan pola I-Thou berbanding I-It. Relasi sosial kita seharusnya menuju pada rasionalitas dialogis I and Thou, di mana pihak lain adalah bahagian penyeimbang kehidupan kita secara mutual, bukan dalam logika biner dan zero sum game.
Entitas I-Thou, menempatkan I setara dalam posisi seimbang dengan Thou, terbangun jembatan yang mengatasi jarak diantara keduanya mencapai tujuan yang sama, mereduksi ketegangan atas perbedaan, membangun keseimbangan.
Kondisi ini berbeda dari model I-It, yang memposisikan pihak lain -It, berlaku sebagai objek pasif dalam penguasaan I. Oposisional I-It ada dalam kuasa dominasi dan hegemoni antara subjek dan objek dalam kausalitas sebab-akibat.
Kebenaran, harusnya dipahami dalam kerangka kita pada interkoneksi I-Thou. Disini kebenaran tidak bermakna positivistik yang bersifat tunggal, lalu kemudian menjadi klaim salah satu pihak. Terlebih dalam pragmatisme politik, kebenaran kerap dipermainkan dalam kuasa kekuasaan.
Hal ini menjelaskan bahwa kedua belah kubu politik yang seolah nampak berseteru, menegasi keberadaan dan kebenaran pihak lain, padahal keduanya kerap tergelincir dalam kesalahan konsep logika dan rasionalitas. Tetapi mengakui kesalahan adalah kesulitan bagi politisi, karena konsekuensinya untuk menjadi amunisi serangan balik.
Padahal, kedua kelompok yang berkompetisi tidak bisa memastikan untuk dapat berlaku benar sepanjang waktu, maka kebenaran hanya menjadi klaim pengakuan sepihak semata.
Di titik ini, kita perlu mengembalikan posisi kekitaan, yang memiliki perbedaan pada pilihan politik, untuk mengambil dalam frame besar durasi panjang di masa depan. Perbedaan adalah keniscayaan dalam dialektika, sebuah kondisi dinamis kehidupan kita mendorong stimulasi kemajuan, dengan catatan mampu dikelola.
Prinsipnya, “api kecil kawan untuk memasak, sedang api besar lawan karena dapat membumihanguskanâ€. Hal itu sekaligus menandakan bahwa konflik dan perselisihan, dapat dimaknai positif dalam kerangka membangun ketahanan atas situasi berbeda, tetapi dapat pula dipersepsikan negatif karena daya rusak dekonstruktif yang terjadi, bila dibiarkan tanpa penyelesaian lebih lanjut.
Mampukah skema I-Thou dapat diwujudkan?
Inklusi sebagai SolusiFormulasi solusi Buber sesungguhnya sederhana, mencegah terjerumus pada hubungan I-It menjadi I-Thou, dibutuhkan kemampuan memahami, mengerti dan merasakan, atau disebutnya sebagai inklusi yang dimaknai sebagai kemampuan untuk membayangkan realitas sebagaimana yang dipahami oleh pihak lain.
Kemampuan berimajinasi pada sudut pandang berbeda adalah cara terbaik memecah kebuntuan dalam pertentangan yang terpolarisasi.
Model dialogis mengatasi monolog, membangun kesepahaman dengan mengenali perspektif atas realitas yang berbeda, terutama dari sudut pandang yang lain. Termasuk menempatkan prinsip etika, serta memandang I-Thou sebagai prinsip kekitaan dalam kehidupan kebangsaan, sebagai warga negara bukan untuk hari ini tetapi sepanjang masa, melampaui politik praktis dan menempatkan esensi di bandingkan sensasi.
Pada kajian filosofis, kebenaran terdapat di wilayah ontologis sebagai bentuk realitas, harus dapat didekati dengan metodologi yang benar pula pada tataran epistemologi, di mana terdapat maksud serta tujuan yang tidak kalah benarnya sebagai sebuah aksiologi. Bahwa kebenaran, adalah prinsip yang utuh dari kompleksitas tujuan, cara dan realita.
Kebenaran ada sebagai substansi dan bukan personifikasi, sifatnya melekat dinamis. Jadi jangan terperangkap pada pilihan individu, tetapi pada gagasan apa yang hendak dibawa, bukan aspek teknis semata tetapi tentang cita-cita besar bernegara.
Bila hal tersebut dapat dikonstruksikan pada periode kali ini, tentu menjadi pondasi yang sangat baik bagi generasi mendatang. Jika tidak? maka kita butuh waktu untuk memulihkan diri dari keterbelahan kali ini, berpindah dari politisi yang bicara soal kursi kuasa menuju kenegarawanan yang bicara tentang generasi serta masa depan kebangsaan!
[***]Yudhi Hertanto
Program Doktoral Ilmu Komunikasi Universitas Sahid