Pengunjuk rasa dari Aliansi Pemuda Papua Indonesia (APPI)/Net
. Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diminta hadir ke tanah Papua dan segera meminta maaf kepada masyarakat adat Papua juga kepada Gubernur Papua Lukas Enembe.
Permintaan itu disuarakan pengunjuk rasa dari Aliansi Pemuda Papua Indonesia (APPI) di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta (Selasa, 19/2).
"KPK berupaya melakukan kriminalisasi dan pembunuhan karakter terhadap Gubernur Papua Lukas Enembe dan jajarannya, KPK harus segera minta maaf jika tidak maka menerima konsekuensinya," kata koordinator aksi, Otis Iryo.
Sikap KPK yang diduga kuat hendak mengkriminalisasi Gubernur Lukas Enembe berbuntut panjang. Masyarakat adat Papua yang tergabung dalam Aliansi Rakyat Bersatu Bela Papua menjatuhkan sanksi berupa denda adat kepada KPK sebesar Rp 10 triliun.
Otis Iryo menjelaskan, denda adat masih berlaku di Papua meliputi lima wilayah hukum adat yakni Ahim Ha, Lapago, Meepago, Mamta dan Saeran. Denda adat ini kerap diterapkan masyarakat adat Papua untuk menyelesaikan sejumlah masalah diantara warga mulai dari pencemaran nama baik, perkawinan, perebutan hak hingga perang suku. Secara konstitusi denda adat ini diakui berdasarkan Pasal 18B Ayat (2) UUD 1945 Amandemen keempat.
Dalam aksi mereka, Otis Iryo menyebutkan KPK telah mempermalukan Gubernur Lukas Enembe di mata publik, padahal yang bersangkutan merupakan salah satu kepala suku besar di wilayah hukum adat Papua.
"Rakyat Papua sangat marah, ini menyangkut harkat, martabat dan wibawa pemimpin kami yang telah direndahkan oleh KPK," ucapnya.
Pembunuhan karakter dan pencemaran nama baik bermula dari peristiwa di Hotel Borobodur Jakarta pada 2 Februari 2019. Saat itu, penyelidik KPK diduga berupaya melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap Gubernur Lukas Enembe dan jajarannya yang sedang menggelar rapat evaluasi anggaran bersama DPRD Papua dan Kemendagri.
Namun, dugaan OTT yang dilakukan penyelidik KPK tanpa bukti permulaan yang cukup itu gagal.
Kejadian ini pun berujung pada pelaporan adanya pengeroyokan terhadap penyelidik KPK oleh pegawai Pemprov Papua ke Polda Metro Jaya. Atas pelaporan itu, Pemprov Papua melaporkan balik KPK atas dugaan pencemaran nama baik melalui media elektronik sesuai UU ITE.
Ditambahkan Otis Iryo, peristiwa Borobudur pada 2 Februari lalu menjadi bukti tindakan penyidik KPK grusa-grusa tanpa disertai bukti permulaan yang cukup sehingga terkesan memiliki muatan politis.
"KPK seharusnya bisa betul-betul membuktikan pemberantasan korupsi secara profesional, adil serta tak mengkriminalisasi pihak-pihak tertentu. Kami ingatkan agar KPK jangan jadi corong politik dengan melakukan pembunuhan karakter," ujarnya.
[rus]