POLEMIK tiket pesawat mahal rupanya masih berlanjut. Mendadak, Presiden Jokowi kaget. Namun bagi yang cermat, gestur pemberitaan di media justru bergeser pada pernyataan Jokowi tentang monopoli avtur oleh Pertamina.
Istana pun sempat memanggil Dirut Pertamina untuk meminta klarifikasi penjualan harga avtur yang dalam beberapa waktu terakhir dikeluhkan pengusaha tersebut. Bahkan, Presiden mengatakan, akan memasukkan kompetitor lain sehingga terjadi kompetisi.
Meski dengan segala label pencitraannya, pemerintah juga baru saja menurunkan harga BBM subsidi dan non subsidi.
Untuk wilayah Jakarta, komposisi harga penyesuaian BBM non subsidi meliputi Pertamax Turbo (dari Rp 12.000 menjadi Rp 11.200 per liter), Pertamax (dari Rp 10.200 menjadi Rp 9.850 per liter), Dexlite (dari Rp 10.300 menjadi Rp 10.200 per liter), Dex (dari Rp 11.750 menjadi Rp 11.700 per liter), dan Pertalite tetap Rp 7.650 per liter.
Selain itu, Pertamina juga menyelaraskan harga Premium di wilayah Jawa, Madura, dan Bali (Jamali) menjadi Rp 6.450 per liter sehingga sama dengan harga di luar Jawa, Madura, Bali. Sebelumnya harga premium di wilayah Jamali sekitar Rp 6.550 per liter.
Di sisi lain, ada berita yang tak terduga namun tak kalah heboh. Yakni, kasus cuitan CEO Bukalapak, Ahmad Zaky, yang juga berujung pada pemanggilan Zaky ke Istana.
Tiga isu ini seolah menyamarkan mata kita semua tentang peluang masuknya pebisnis avtur asing di balik pernyataan “monopoli avturâ€. Bahkan hal ini dengan segera makin tertutupi oleh sentimen nasionalis terhadap kasus Bukalapak, yang CEO-nya ternyata menjadi satu-satunya CEO pribumi di tengah maraknya bisnis marketplace. Dan rezim cukup berhasil.
Pebisnis avtur asing dengan mudah berkelebat mulus, masuk dalam bursa liberalisasi avtur Indonesia. Mereka diberi hak dan wewenang untuk turut menjadi pemain agar Pertamina tidak disebut “memonopoli avturâ€.
Tak terhindarkan, PT AKR Corporindo pun mengumumkan kesiapan untuk jadi pesaing PT Pertamina (Persero) dalam bisnis penjualan bahan bakar pesawat atau avtur.
Untuk bisnis ini, AKR akan menggandeng British Petroleum (BP) dan memulai di Indonesia Timur karena banyak bandara baru, jadi bisa investasi infrastruktur juga, demikian pernyataan Direktur Utama Corporindo Haryanto Adikoesoemo, Rabu (13/2).
Perlu diketahui, AKR sendiri memang memantapkan langkahnya untuk memulai bisnis avtur di tanah air. Pasalnya, perusahaan tersebut telah menandatangani perjanjian kerja sama (joint venture) dengan BP, perusahaan minyak bumi yang bermarkas di London.
Bahkan, AKR-BP belum lama ini telah membuka empat SPBU di BSD, Cibubur, Jababeka, dan Bintaro. Tak hanya itu, perusahaan tersebut juga menargetkan tahun 2019 ini akan memiliki 20 SPBU yang akan dibuka di area Surabaya.
SPBU tersebut bakal dioperasikan oleh PT Aneka Petroindo Raya, perusahaan joint venture BP dan AKR. Untuk perusahaan yang akan mengelola bisnis avtur, dijelaskan Haryanto, nantinya PT-nya akan berbeda dengan yang mengelola bisnis SPBU.
Saat ditanya soal harga avtur yang akan dijual, AKR hanya mengatakan harga akan kompetitif. Menurut Haryanto, semua industri jika ada persaingan harga pasti kompetitif dan pelayanan pasti lebih baik kepada konsumen.
Ia pun memaparkan untuk bisnis avtur ini perusahaannya sudah menyiapkan infrastruktur karena sudah memiliki beberapa titik penampungan, yakni hingga 16 titik yang terdapat di pelabuhan dan darat.
Padahal, jika benar harga tiket pesawat domestik lebih mahal dibandingkan penerbangan luar negeri regional kawasan seperti ASEAN, dengan alasan tingginya harga avtur oleh Pertamina, maka sebenarnya harga avtur Pertamina masih lebih murah daripada harga avtur di Bandara Changi, Singapura.
Media Communication Manager Pertamina Arya Dwi Paramita menjelaskan, untuk periode kali ini (16 Februari 2019), harga avtur mengalami penurunan dibandingkan periode sebelumnya.
Sebagai contoh harga avtur (published rate) untuk bandara Soekarno Hatta Cengkareng mengalami penurunan dari sebelumnya Rp 8.210 per liter menjadi Rp 7.960 per liter. Harga ini lebih rendah sekitar 26 persen dibandingkan harga avtur (published rate) di Bandara Changi Singapura yang terpantau per tanggal 15 Februari 2019 sekitar Rp 10.769 per liter.
Penyesuaian harga ini dilakukan dengan mempertimbangkan rata-rata harga minyak dunia, nilai tukar rupiah dan faktor lainnya. Pertamina berharap penurunan harga avtur ini juga merupakan bentuk dukungan Pertamina terhadap industri penerbangan nasional, yang diharapkan juga berdampak pada industri lainnya termasuk pariwisata.
Arya juga menambahkan bahwa harga jual avtur untuk setiap maskapai ditetapkan berdasarkan kesepakatan para pihak yakni antara Pertamina sebagai penyedia dan maskapai penerbangan sebagai konsumen.
Pertamina terus berkomitmen untuk memberikan layanan yang terbaik untuk masyarakat dengan menyediakan bahan bakar pesawat udara di 67 bandara yang tersebar di Indonesia. Pertamina pun secara rutin melakukan evaluasi dan penyesuaian harga avtur secara periodik, yaitu sebanyak dua kali dalam sebulan.
Jadi, benarkah harga avtur mahal? Menanggapi hal ini, Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan, avtur menyumbang 24 persen dari total biaya maskapai domestik, artinya jika ada kenaikan avtur, dampaknya sangat signifikan.
Akan tetapi menurut Bhima (Selasa, 12/2), jika digali lebih dalam ternyata akar masalahnya ada di distribusi avtur yang belum efisien. Pertamina dan pemerintah terlambat membangun infrastruktur penyaluran avtur ke bandara di luar Jawa.
Sebagai gambaran, Pertamina menawarkan avtur dengan harga paling murah pada level Rp 8.210/liter di Bandara Soekarno Hatta, Banten. Sebaliknya, harga avtur tertinggi berada di level Rp 10.980/liter untuk Kawasan Indonesia Timur seperti Biak, Papua dan Ambon, Maluku.
Harga avtur yang dinyatakan berlaku sampai dengan 14 Februari tersebut belum memasukkan pajak penambahan nilai (PPn) dan pajak pembelian. Level harganya pun beragam bergantung pada posisi atau lokasi penjualan. Ada setidaknya 13 tingkat harga yang ditawarkan. Jika dirata-rata, maka dapat ditemukan bahwa harga avtur Pertamina tersebut berada di level Rp 9.671/liter.
Untuk membandingkan, harga avtur Jet A rata-rata di Asia Pasifik dibanderol sebesar 77 dolar AS per barel atau setara Rp 6.850 per liter dengan asumsi kurs Rp 14.000 per dolar AS. Disparitas harga yang terlalu lebar membuat maskapai menanggung ongkos yang terlalu mahal.
Terkait hal ini, jajaran direksi Pertamina pun merespon dan berencana menurunkan harga avtur. Direktur Pemasaran Ritel Pertamina Mas'ud Khamid memaparkan harga avtur disesuaikan dengan formula baru yang diterbitkan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Keputusan Menteri ESDM Nomor 17 K/10/MEM/2019 tentang Formula Harga Dasar dalam Perhitungan Harga Jual Eceran Jenis BBM Umum Jenis Avtur yang Disalurkan Melalui Depot Pengisian Pesawat Udara.
Sejumlah maskapai pun turut bersuara. Terlebih, maskapai adalah pihak yang bersentuhan langsung dengan konsumen, di mana mereka pula yang menetapkan kenaikan harga tiket pesawat.
Meski pada akhirnya, maskapai besar seperti Garuda Indonesia, menyatakan akan menurunkan harga tiketnya hingga 20 persen. Langkah ini, mau tidak mau memang harus mereka ambil. Belum lagi problem lain, penerapan kebijakan bagasi berbayar oleh beberapa maskapai selain Garuda, di tengah sepinya penumpang.
Kepala Riset PT Koneksi Kapital Indonesia Alfred Nainggolan menilai volatilitas harga avtur tak hanya menjadi satu variabel penentu bisnis penerbangan Tanah Air. Meski faktor kenaikan harga tiket memang dijadikan alasan untuk menutup kenaikan biaya operasional dan kenaikan avtur itu rasional diterima pasar.
Namun menurut Alfred, tidak ada relasi yang cukup kuat yang bisa membuktikan bahwa jika harga avtur turun, pendapatan maskapai penerbangan naik dan meraih untung.
Pada 2017 misalnya, dengan harga minyak mentah dunia masih di level US$ 50 dolar/barrel, PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk (GIAA) masih mencatatkan kerugian bersih senilai Rp 2,88 triliun pada tahun yang sama. Artinya bahwa dalam konteks harga minyak dunia rendah, tidak bisa munculkan optimisme.
Proven-nya belum terlihat, karena perolehan laba belum konsisten. Alfred memang belum bisa menentukan pada level seperti apa emiten maskapai bisa mencatatkan kinerja positif. Mengingat, volatilitas bisnis di industri penerbangan sangat tinggi sehingga relatif sulit menentukan waktu untuk bisa meraih laba.
Jadi, bohong belaka jika dikatakan mahalnya tiket pesawat tersebab sempurna oleh monopoli avtur Pertamina.
Pihak maskapai pun serba salah. Padahal sebab utama dari semua ini adalah upaya makin lebarnya kran liberalisasi avtur sebagaimana liberalisasi BBM. Di antara buktinya, adanya volatilitas tinggi bisnis industri penerbangan. Ini menunjukkan bahwa begitu banyak para pemodal besar yang sangat berkepentingan untuk menancapkan pilar-pilar kapitalnya dalam bisnis avtur ini.
Bagaimana pun, komoditas avtur membuka peluang bisnis menggiurkan. Namun ironisnya, pemerintah berlepas tangan dan malah membuat kebijakan dengan sekedar menyerahkan pada mekanisme pasar.
Akibatnya, perusahaan-perusahaan plat merah terkait seperti Pertamina dan Garuda Indonesia harus pontang-panting sendiri demi tetap mempertahankan laju ekonominya kendati kerugian usaha masih saja mereka terima. Padahal pesawat jelas berbeda dengan angkot (angkutan perkotaan), yang jika harga BBM naik maka tarif angkot juga ikut naik.
Jika sudah begini, alhasil masyarakat grass root yang akan kembali menanggung bebannya. Masyarakat selaku konsumen harus rela dibebani kenaikan harga ini dan itu demi memperoleh pelayanan publik yang memuaskan, kendati layanan tersebut selayaknya disediakan dan diakomodir oleh negara.
Ditambah lagi potensi ancaman fenomena krisis finansial rumah tangga, karena realita kenaikan harga barang dan jasa juga terjadi di berbagai sektor kebutuhan asasi kehidupan.
[***]
Nindira Aryudhani, S.Pi, M.SiKoordinator LENTERA
Kampung Inggris, Pare, Kediri, Jawa Timur
nindira.a@gmail.com