TERKEJUT karena ternyata tarif pesawat terbang domestik mahal! Tentu saja, karena basis moda transportasi ini memang paling mahal dibandingkan pilihan alternatif model transportasi lainnya.
Kelebihan yang ditawarkan adalah kenyamanan dan kecepatan, tentu sebagai faktor keunggulan pembedanya.
Hal itu menjelaskan mengapa bisnis transportasi udara tidak terlalu kompetitif, dalam kajian ekonomi maka kita mengenal halangan masuk industri -barrier to entry yang tinggi di sektor maskapai penerbangan.
Tentu saja karena nilai investasi teknologi yang tinggi, dan syarat perizinan yang rumit terkait dengan kebutuhan keselamatan transportasi.
Lalu kenapa lantas kaget saat harga tiket kursi pesawat, diketahui sedemikian mahalnya? Mekanisme ekonomi alamiah dalam relasi
supply and demand untuk jenis pilihan moda transportasi sekunder, harusnya diberikan sesuai dengan transaksi pasar.
Apakah pesawat bersifat sekunder? Tentu saja, asumsi dasarnya transportasi darat dan laut adalah basis utama, mengingat bentuk kita sebagai negara kepulauan. Kembali ke visi kemaritiman adalah tajuk besar dari narasi pemerintah.
Bukankah pesawat memiliki kemampuan untuk menjangkau titik-titik yang remote dan terluar? Benar, tetapi kita kategorisasikan kebutuhan yang utama agar tidak tergeneralisasi lantas salah dalam mengambil keputusan. Kebutuhan pesawat mendesak bagi daerah dengan keterbatasan sarana transportasi, di luar jangkauan darat dan laut.
Sementara itu, moda transportasi pesawat seringkali diasosiasikan dengan kemajuan teknologi serta masyarakat, khususnya dalam interaksi dengan para pendatang baru mancanegara, mendorong sektor pariwisata dan
multiplier effect terkait.
Sebut saja hotel, restoran, ritel terhidupi melalui tumbuhnya industri pariwisata, selain sektor transportasi udara itu sendiri.
Di sisi lain, kita juga berhadapan dengan abad disrupsi digital, di mana terdapat perubahan perilaku konsumen, diantaranya (a) pertumbuhan ekonomi
leisure -hiburan, wisata dengan kriteria yang paling dasar adalah
selfie untuk
update sosial media, (b)
e-commerce, di mana belanja online mengakibatkan ritel fisik mulai tergerus, pada poin ini ada tambahan multiplier yakni bisnis courier, termasuk kiriman via udara.
Jadi perlukah intervensi pemerintah? Sangat tergantung bagaimana dampak yang terjadi. Hal ini yang harus menjadi indikator terukur, bukan sekedar upaya untuk merebut simpati publik, apalagi ditarik ke jalur politik.
Setidaknya dua hal yang menjadi titik awal pemicu situasi ini, (a) terkait komponen bahan bakar avtur yang menjadi hak monopolistik, dan (b) pengenaan bagasi berbayar dari yang sebelumnya gratis.
Mengapa point (b) dalam kajian tersebut perlu dihitung? Tentu saja karena skema tersebut mengakibatkan
add cost bagi penumpang, serta juga menghadirkan keharusan untuk melakukan penyesuaian biaya kiriman, bagi perusahaan kurir udara.
Situasinya tidak sederhana, dan tentu saja ada rasionalisasi dari mengapa mekanisme tarif maskapai menjadi sedemikian mahal.
Kompetisi dan SustainabilityMeski sudah diterangkan bahwa persaingan di dalam bisnis maskapai dicirikan melalui barrier to entry yang tinggi, sehingga pelakunya nyaris terbatas. Tetapi persaingan di antara mereka tidak kalah sengit.
Format bisnis dengan model
Low Cost Carrier alias LCC yang murah meriah mengandalkan volume, kemudian akan berhadapan dengan FSC
-Full Service Carrier dengan segala jamuan layanan.
Dengan begitu, maskapai juga harus dapat memastikan kemampuan dirinya untuk tumbuh dalam kerangka bisnis.
Salah satu yang perlu dipahami biaya investasi maskapai untuk sewa atau pembelian armada berbasis valuta asing, sementara pemasukan yang dihasilkan bernominasi rupiah.
Situasi tersebut mengakibatkan mismatch, ketidakseimbangan karena fluktuasi nilai tukar. Belum lagi menghitung biaya
maintenance dan suku cadang tentu saja.
Demikian dengan bahan bakar avtur, yang masuk kategori bahan bakar non subsidi, dihitung secara komersial, dengan asumsi penggunanya, dalam hal ini konsumen maskapai udara, memang mereka yang memiliki
ability to pay atas pilihan mode transportasi.
Celakanya, avtur juga berbasis valas. Maka situasinya menjadi makin runyam. Maskapai harus memiliki kemampuan untuk menanggung kemungkinan perubahan. Hal tersebut tentu bermuara kepada penetapan tarif, dan termasuk pengurangan fasilitas alias bagasi yang harus berbayar, dalam upaya menambah pendapatan.
Di titik tersebut harus kembali dievaluasi apakah model intervensi pemerintah menjadi suitable bagi industri yang sudah masuk secara keseluruhan di ranah privat.
Meski memang masih ada
flagship carrier seperti Garuda dan Citilink yang menjadi korporasi milik negara.
Momentum kerjasama Sriwijaya Air untuk bergabung menjadi Citilink sebenarnya sudah menandakan beban berat bisnis maskapai udara.
Di ambang dilema, kekagetan itu semakin menjadi tentu saja karena pengembangan infrastruktur kita juga masuk kepada pilihan investasi bandara udara.
Lapangan terbang yang juga tidak murah biayanya, tentu saja membutuhkan return. Lalu bagaimana bila industri penerbangan tidak bergairah? Jelas memusingkan. Kalau diinstruksikan tiket harus turun, apa bentuk insentifnya bagi maskapai?
Pilihan terberat adalah berlaku untuk
flagship carrier, tetapi tentu bukan tanpa masalah dalam kerangka operasional.
Kali ini harga tiket kursi itu bisa menjadi persoalan tiket bagi kursi kekuasaan, terutama bila tidak terkelola dengan mumpuni. Semoga saja masih ada jalan terbaik!
[***]
Yudhi HertantoProgram Doktoral Ilmu Komunikasi Universitas Sahid