DALAM lintasan sejarah, jilbab bukan hanya tampil sebagai sebuah fenomena keagamaan biasa sebaÂgai penutup aurat, terutaÂma saat seorang muslimah hendak menunaikan ibaÂdah shalat dalam waktu 5 kali sehari semalam. Dalam kenyataannya jilbab juga sering tampil sebagai fenomena masyarakat tertindas atau terdiskriminasi. Dalam arti fikih, Jilbab bukan lagi fenomena kelompok santri atau kelompok marginal tertentu, tetapi sudah menjadi fenomena seluruh lapisan masyarakat. Tidak sedikit pengguna jilbab bertugas di front office kantor-kantor eksekutif, dan jilbab tidak lagi berkontradiksi dengan tempat dan suasana khusus, seperti tempat hiburan dan pesta. Tidak sedikit jumlah artis dan publik figur menggemari dan menggunakannya. Butik busana muslimah ikut serta menghiasi sudut-sudut ekslusif mal dan lobi-lobi hotel. Konon, jilbab salahsatu koÂmoditi ekspor-impor semakin berkembang.
Apakah fenomena ini sebatas trend yang puÂnya jangka waktu tertentu, atau lahir dari sebuah kesadaran kolektif keagamaan. Murnirnikah itu sebagai sebuah kesadaran agama yang tumÂbuh dari bawah, atau lahir sebagai fenomena paternalistik, banyak kelompok atas dan selebÂriti menggunakannya kemudian menjadi ikuÂtan bagi lainnya. Murnikah sebagai mode atau terselip unsur resistensi atau ideologi sebagai salah satu bentuk reaksi atau perlawanan terÂhadap kekuatan luar, seperti dampak negatif arus globalisasi, westernisasi atau fenomena deislamisasi lainnya.
Populer
Minggu, 19 Mei 2024 | 03:46
Senin, 20 Mei 2024 | 22:19
Sabtu, 18 Mei 2024 | 08:05
Rabu, 22 Mei 2024 | 13:49
Kamis, 23 Mei 2024 | 18:03
Kamis, 16 Mei 2024 | 02:54
Kamis, 16 Mei 2024 | 14:29
UPDATE
Minggu, 26 Mei 2024 | 16:00
Minggu, 26 Mei 2024 | 15:42
Minggu, 26 Mei 2024 | 15:28
Minggu, 26 Mei 2024 | 15:22
Minggu, 26 Mei 2024 | 15:10
Minggu, 26 Mei 2024 | 14:55
Minggu, 26 Mei 2024 | 14:51
Minggu, 26 Mei 2024 | 14:50
Minggu, 26 Mei 2024 | 14:44
Minggu, 26 Mei 2024 | 14:32