Berita

Alwira Fanzary Indragiri/Dok

Publika

NKRI Yang Sekarat

SELASA, 15 JANUARI 2019 | 06:56 WIB

RADIKAL yang terkonsolidasi. Terpancing awalnya tuk menulis khusus tentang ini.

Apatah lagi disebut-sebut nama Riau. Tapi setelah dipikir, ya sudahlah, ini hanya isu receh yang tidak kreatif diumbam secara berkala. Mungkin dengan cara itu dia cari makan di Istana. Dan yang dikasih tahu, saya rasa juga tak paham-paham nian apa yang disampaikan. Intinya, dimaklumi saja.

Awal tahun, refleksi akan eksistensi NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) saya rasa menarik tuk sedikit diulas. Atau lebih tepatnya pada kata Kesatuan.


Bentuk pemerintah Kesatuan yang dipilih awal-awal kemerdekaan tidak ada salahnya untuk direfleksi. Jika bicara refleksi, artinya ada keputusan final yang dikoreksi. Itu boleh dan sah-sah saja. Sebab tidak ada yang final dari hasil pemikiran manusia.

Implikasi dari bentuk pemerintah Kesatuan jelas pada kewenangan pemerintahan pusat terhadap pemerintahan daerah. Bisajadi daerah akan diperlakukan seperti wilayah kolonial. Dan itu sudah terbaca jauh-jauh hari oleh Bung Hatta.

Sang Proklamator dari tanah Sumatera ini meyakini bentuk negara Serikatlah yang paling tepat untuk sebuah negara besar yang baru lahir. Bung Karno berselisih dengan pemikiran ini.

Soekarno menerjemahkan Kesatuan itu kehendak Jakarta. Sehingga semangat pemerataan pembangunan yang diperjuangkan PRRI dijawab sebagai bentuk merongrong negara. Begitu juga dengan Soeharto.

Kesatuan itu diterjemahkannya kepala pemerintahan di daerah harus orang dari pulau Jawa. Heboh lah kemudian seantero negeri saat mencuatnya perlawanan Suko tak Suko Harus Suko dalam pemilihan gubernur Riau. Tiga dekade lalu.

Lalu bagaimana dalam keadaan tronjal-tronjol saat ini Indonesia menerjemahkan Kesatuan? Mungkin masa yang paling memilukan. Jangankan untuk menagih panjang lebar tentang konsep Kesatuan, di mana letak Blok Rokan yang sudah puluhan tahun memberikan minyak bumi terbaik dan terbanyak bagi negara ini saja pemimpinnya baru tahu beberapa pekan terakhir.

Akan berat dia menerjemahkannya. Tapi ya sudah lah, maklumi saja. Sudah nasib negeri. Jangan lagi dia dibebani.

Namun yang pasti, mental feodal masih bersarang. Bisa jadi tambah akut. Contoh: Anggaran yang diberikan Jakarta ke daerah itu disebut sebagai Bantuan Pemerintah Pusat, Kucuran Dana Pusat dan penamaan-penamaan sejenis. Lah, memangnya kami daerah ini miskin? terutama Riau.

Kekayaan daerahlah yang diangkut tanpa henti ke Pusat. Lalu ketika dikembalikan ampasnya ke daerah malah disebut sebagai bantuan pemerintahan pusat. Sungsang logika seperti ini. Dan ampas itu pun kepala daerah harus mengemis-ngemis tuk bisa dapatkannya. Nasib badan.

Kekeliruan, atau kesengajaan salah menerjemahkan bentuk pemerintahan Kesatuan ini lah kemudian direspon daerah beberapa puluh tahun terakhir dalam bentuk perlawanan. Baik itu di wilayah paling Barat atau paling Timur. Juga Riau. Yang dulu dipelopori seorang dokter itu.

Jangan dikira hanya angin lalu. Setiap ditekan, atau tertekan, niscaya pantulannya juga akan kuat. Akui saja bentuk pemerintahan Kesatuan itu sudah gagal. Atau belum masanya. Meski sudah otonomi daerah, secara substansi sebenarnya tak ada yang berubah: Daerah masih saja jadi sapi perah. Kepala daerah juga tak berdaya. Kesejahteraan pada masyarakatnya tak jua singgah.

Kenapa juga dipertahankan bentuk pemerintahan Kesatuan ini jika berpuluh tahun penguasa menerjemahkannya amatiran. Perubahan bentuk pemerintahan, juga perubahan bentuk negara itu biasa saja. Sebab manusia bepikir. Pastinya mencari formasi yang paling sesuai, dan pemimpinnya punya kapasitas menjalankannya.

Jadi, sangat mungkin sekali Indonesia ini bubar jika ketidakadilan pada daerah terus dipertunjukkan. Bahkan tak perlu harus menunggu 2030 yang dihebohkan itu. Dan tak perlu juga meresponnya dengan teriak-teriak di depan teks: Indonesia tidak akan bubar! Indonesia negara kuat!, kita bukan bangsa pesimis!. Bukan seperti itu caranya bung!. Tapi pikiran yang digunakan.

Negeri Paman Sam saja yang merupakan negara demokrasi terbesar di dunia, berbentuk Serikat. Mereka sadar diri dengan penduduk dan wilayah yang luas. Lalu kenapa berkeras hati juga Republik ini dengan Kesatuan?. Daripada negara ini benar-benar bubar, lebih elok Kesatuan diceraikan dari NKRI. Tabik NFRI (Negara Federal Republik Indonesia). Mungkin. Amiin.[***]


Alwira Fanzary Indragiri
Ketua OKP Lingkar Anak Negeri Riau (LAN-R); Wartawan


Populer

Masih Sibuk di Jogja, Pimpinan KPK Belum Tahu OTT di Lampung Tengah

Selasa, 09 Desember 2025 | 14:21

Pura Jadi Latar Film Porno, Hey Bali: Respons Aparat Dingin

Selasa, 09 Desember 2025 | 21:58

Mahfud MD soal Bencana Sumatera: Menyuruh Pejabat Mundur Tidak Relevan

Rabu, 10 Desember 2025 | 05:53

OTT Beruntun! Giliran Jaksa di Bekasi Ditangkap KPK

Kamis, 18 Desember 2025 | 20:29

Ini Susunan Lengkap Direksi dan Komisaris bank bjb

Selasa, 09 Desember 2025 | 17:12

Bahlil Minta Maaf Usai Prank Presiden Prabowo

Selasa, 09 Desember 2025 | 18:00

Uang yang Diamankan dari Rumah Pribadi SF Hariyanto Diduga Hasil Pemerasan

Rabu, 17 Desember 2025 | 08:37

UPDATE

Pesan Ketum Muhammadiyah: Fokus Tangani Bencana, Jangan Politis!

Jumat, 19 Desember 2025 | 10:13

Amanat Presiden Prabowo di Upacara Hari Bela Negara

Jumat, 19 Desember 2025 | 10:12

Waspada Banjir Susulan, Pemerintah Lakukan Modifikasi Cuaca di Sumatera

Jumat, 19 Desember 2025 | 10:05

Audit Lingkungan Mendesak Usai Bencana di Tiga Provinsi

Jumat, 19 Desember 2025 | 10:04

IHSG Menguat, Rupiah Dibuka ke Rp16.714 Pagi Ini

Jumat, 19 Desember 2025 | 09:59

TikTok Akhirnya Menyerah Jual Aset ke Amerika Serikat

Jumat, 19 Desember 2025 | 09:48

KPK Sita Ratusan Juta Rupiah dalam OTT Kepala Kejari HSU

Jumat, 19 Desember 2025 | 09:28

Bursa Asia Menguat saat Perhatian Investor Tertuju pada BOJ

Jumat, 19 Desember 2025 | 09:19

OTT Kalsel: Kajari HSU dan Kasi Intel Digiring ke Gedung KPK

Jumat, 19 Desember 2025 | 09:05

Mentan Amran: Stok Pangan Melimpah, Tak Ada Alasan Harga Melangit!

Jumat, 19 Desember 2025 | 08:54

Selengkapnya