Mantan Ketua DPR Setya Novanto meminta izin membangun gazebo atau saung pribadi di dalam Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Sukamiskin.
Dirjen Pemasyarakatan Sri Puguh Budi Utami memanfaatÂkan permintaan itu sebagai nilai tawar untuk mendapat tambahan anggaran lapas. Novanto diangÂgap masih memiliki pengaruh dalam pembahasan anggaran di DPR.
Pada sidang perkara mantan Kepala Lapas Sukamiskin, Wahid Husen di Pengadilan Tipikor Bandung, kemarin, jaksa KPK memperdengarkan rekaman percakapan dengan Utami.
Wahid melapor kepada Utami mengenai Novanto yang meÂminta izin mendirikan gazebo pribadi. "Tapi belum dikasihin gazebo? Jangan dulu lho," perintah Sri.
"Belum," jawab Wahid.
"Biarin aja. Biar kita punya bargaining position (Utami samÂbil tertawa). Oke sukses selalu. Salam buat teman-teman ya," Utami menutup percakapan.
Jaksa Trimulyono Hendradi kemudian mencecar Utami menÂgenai pemberian fasilitas gaÂzebo yang dianggap menyalahi aturan. "Tadi enggak mendengar larangan. Saksi tadi menyampaiÂkan jangan dulu."
Utami berdalih menangguhkan permintaan itu karena Novanto masih tahap pengenalan lingÂkungan sebagai napi baru di Sukamiskin.
Namun saat disinggung mengenai "bargaining position", jawaban Utami jauh panggang dari api. "Sebagai membina dan dibina karena tahu posisÂinya beliau. Karena dari awal nggakbisa menegakkan aturan. Takutnya nggak bisa mengikuti aturan kami."
Hakim pun gregetan dengan elakan Utami. Hakim Marsidin Nawawi kembali menyinggung soal permintaan Novanto memÂbuat gazebo. "Tidak memohon langsung kepada saya, tapi ke Kalapas. Saya bilang, tahan dulu," jawab Utami.
Hakim Masridin kemudian membacakan isi Berita Acara Pemeriksaan (BAP) Utami saat di KPK. "Di BAP, setelah diÂlaporkan, Dirjen memerintahkan tahan dulu jadikan (permohonan) itu sebagai bargaining position. Itu bargaining apa?" tanyanya.
Marsidin melanjutkan membacakan isi BAP. "Ternyata Anda katakan di BAP, itu bargaining soal anggaran lapas karena Setya Novanto masih banyak teman-temannya di Senayan (DPR)," bebernya. Utami pun membisu.
Marsidin lantas mempersoalÂkan wewenang Dirjen dalam pengawasan lapas dan rutan. Kali ini, Utami menjawab. Kata dia, wewenang operasional ada di kepala lapas. Kepala lapas bertanggung jawab kepada Kepala Divisi Pemasyarakatan Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM. "Tapi kami juga punya fungsi pembinaan dan pengawasan," kata Utami.
Masridin pun mendapat "peÂluru" untuk mengkritik Utami. "Nah pembinaan dan pengawasan ini yang jadi permasalahan. Rakyat Indonesia tahu ada fasilitas lapas yang mewah. Artalyta Suryani misalnya, fasilitas di kamarnya begitu mewah sekali. Apakah Dirjen Pas (Pemasyarakatan) ini tidak pernah melakukan pembinaan?"
Utami berdalih baru jadi Dirjen pada Mei 2018. Sebelumnya Sekretaris Ditjen Pemasyakatan. Ia mengakui tak pernah tahu kondisi Sukamiskin.
Menurutnya, operasi tangkap tangan KPK terhadap Wahid menjadi momen untuk bersih-bersih lapas dan rutan.
Jawaban ini memicu Masridin naik pitam.
"Artinya Anda menunggu OTT dulu untuk bersih-bersih setelah semua mendengar soal hingar-bingar lapas," geramnya. Lagi-lagi Utami membisu.
Menangis Dicecar Hakim Masridin juga mencecar soal pemberian tas Luis Vuitton dari terpidana Fahmi Darmawansyah. Fahmi memberikan tas mewah kepada Hendry Rahmat, sopir Wahid. Hendry meneruskan ke Mulyana, sopir Utami.
"Saksi Mulyana mengatakan, dia dilarang Ibu Dirjen menerima barang apapun. Tapi Mulyana ini malah menerima tas itu dengan alasan tidak enak sama pemberi dan menyimpannya di pantry tanpa memberitahukannya kepada Ibu. Tapi tiba-tiba saja, baÂrang yang dititipkan diserahkan ke KPK. Menurut Ibu apakah dia (Mulyana) jujur?" tanya Marsidin.
Lagi-lagi Utami tak bisa menjawab. Ia mulai menangis. Marsidin berhenti mencecar.
Dalam perkara ini, mantan Kepala Lapas Sukamiskin Wahid Husen didakwa melakukan korupsi. Ia memberikan fasiliÂtas mewah kepada narapidana Fahmi Darmawansyah, Tubagus Chaeri Wardhana alias Wawan dan Fuad Amin Imron.
Berupa TV kabel, AC, kulkas kecil, tempat tidur springbed, furnitur dan dekorasi interior High Pressure Laminated (HPL). Napi juga diperbolehkan mengÂgunakan telepon genggam.
Tak hanya itu, Wahid memÂperbolehkan Fahmi membuka usaha "bilik asmara" yang keÂmudian disewakan kepada napi lain untuk menyalurkan hasrat seksual. Tarifnya Rp 650 ribu sekali pakai.
Wahid juga memperbolehkan napi keluar Sukamiskin dengan dalih untuk berobat. Padahal, setÂelah keluar lapas napi menginap di rumah pribadi. Bahkan berkencan di hotel dengan seorang artis.
Sebagai imbalannya, napi memberikan uang, mobil dan barang bermerek kepada Wahid. Wawan memberikan uang Rp 63,9 juta. Fuad Amin Imron Rp 71 juta. Sedangkan Fahmi memberikan mobil Mitsubishi Triton seharga Rp 427 juta, sepatu boot, sandal Kenzo, tas Louis Vuitton, dan uang Rp 39,5 juta. ***