Berita

Foto: Repro

Kesehatan

Alasan Belum Terakreditasi, Rumah Sakit Stop Kerjasama Dengan BPJS Kesehatan

MINGGU, 06 JANUARI 2019 | 07:46 WIB | LAPORAN:

Persoalan akreditasi hendaknya tidak jadi kendala pelayanan kesehatan masyarakat dalam Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar menerangkan, memasuki tahun keenam pelaksanaan Program JKN, di awal Januari 2019 ini, publik disuguhi oleh publikasi beberapa Rumah Sakit (RS) yang menyatakan tidak lagi bekerja sama dengan BPJS Kesehatan.

"Alasan utama yang mencuat adalah karena sejumlah rumah sakit tersebut belum memiliki sertifikat akreditasi, sehingga tidak bisa bekerja sama dengan BPJS Kesehatan lagi," tutur Timboel dalam keterangannya.

Memang, mengacu pada Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) 99/2015 tentang Perubahan atas Permenkes No. 71 Tahun 2013 tentang Pelayanan Kesehatan pada JKN, akreditasi menjadi syarat wajib untuk bekerjasama. Namun, selama ini RS-RS sudah bekerja sama dengan BPJS Kesehatan, berdasarkan hasil credentialing.

Ada dua hal melatari mau tidaknya RS swasta bekerja sama dengan BPJS Kesehatan.

Pertama, RS bersangkutan tidak mau karena alasan paket Indonesian Case Base Groups (INACBG’s) tidak sesuai hitungan RS.

Kedua, dari BPJS Kesehatan sendiri, setelah dilakukan credentialing dan recredentiling tahunan (penilaian atas kelengkapan) RS bersangkutan tidak memenuhi standar BPJS Kesehatan.

"Yang saat ini ditambah dengan syarat adanya sertifikasi akreditasi. Bagi RS milik pemerintah pusat dan daerah maka wajib hukumnya bekerja sama dengan BPJS walaupun ada kekurangan di RS tersebut," ujar Timboel.

Namun ia menekankan, adanya beberapa RS yang tidak bekerja sama lagi dengan BPJS Kesehatan akan mempengaruhi pelayanan kesehatan bagi peserta JKN. Imbasnya penumpukan pasien di RS.

Pasien JKN akan mengalami kesulitan mendapatkan kamar perawatan, apalagi ruang khusus seperti Neonatal Intensive Care Unit (NICU), Intensive Care Unit (ICU), Pediatric Intensive Care Unit (PICU), High Care Unit (HCU), dan lain sebagainya.

"Demikian juga tingkat waiting list pasien JKN untuk dioperasi akan semakin tinggi," katanya.

Dengan semakin meningkatnya jumlah peserta JKN yang dinyatakan BPJS Kesehatan per 1 Januari 2019 mencapai 207,9 juta orang, dan target Universal Health Coverage (UHC) di 2019 mencapai 95 persen jumlah penduduk Indonesia sekitar 250 juta jiwa, maka dipastikan utilitas JKN akan terus bertambah.

Sisi supply berkurang, namun sisi demand terus bertambah.

"Akibatnya rakyat Indonesia akan mengalami kesulitan mendapatkan pelayanan kesehatan yang layak," tegasnya.

BJPS Watch mencatat, dari sekitar 2.700 RS yang ada, per 31 Oktober 2018 sebanyak 2.432 RS sudah bekerja sama dengan BPJS Kesehatan terdiri dari 49 RS milik kementerian, 107 milik TNI, 42 milik Polri, 138 dari pemerintah provinsi, 579 milik pemerintah kabupaten/kota, 1.471 milik swasta dan 46 RS milik BUMN/D.

"Artinya, ada sekitar 300 RS swasta yang belum bekerja sama, karena dua alasan di atas," sebutnya.

Timboel menekankan, seharusnya pemerintah lebih bijaksana dalam mengimplementasikan sertifikat akreditasi ini sehingga RS-RS tetap bisa bekerja sama dengan BPJS Kesehatan.

Kendati diakuinya memang jumlah RS yang sudah bekerja sama dengan BPJS Kesehataan masih kurang dalam melayani peserta JKN. Oleh karena itu, imbau dia, pemerintah pusat dan daerah hendaknya terus berupaya membangun RS baru sehingga peserta JKN yang semakin meningkat bisa dilayani dengan layak.

Lalu, bagi RS swasta yang enggan kerja sama karena alasan paket biaya INA CBGs yang masih belum masuk ke harga keekonomian mereka, pemerintah dapat memberikan insentif seperti insentif pajak, bea impor dan lain sebagainya. Pemberian insentif ini dibolehkan merujuk UU 44/2009 tentang Rumah Sakit.

"Dengan semakin banyaknya RS yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan maka pelayanan kesehatan kepada peserta JKN akan semakin baik, khususnya ketersediaan ruang perawatan," ujarnya.[wid]

Populer

Pendapatan Telkom Rp9 T dari "Telepon Tidur" Patut Dicurigai

Rabu, 24 April 2024 | 02:12

Polemik Jam Buka Toko Kelontong Madura di Bali

Sabtu, 27 April 2024 | 17:17

Pj Gubernur Ingin Sumedang Kembali jadi Paradijs van Java

Selasa, 23 April 2024 | 12:42

Jurus Anies dan Prabowo Mengunci Kelicikan Jokowi

Rabu, 24 April 2024 | 19:46

Tim Hukum PDIP Minta Penetapan Prabowo-Gibran Ditunda

Selasa, 23 April 2024 | 19:52

Pj Gubernur Jabar Minta Pemkab Garut Perbaiki Rumah Rusak Terdampak Gempa

Senin, 29 April 2024 | 01:56

Bocah Open BO Jadi Eksperimen

Sabtu, 27 April 2024 | 14:54

UPDATE

Pendapatan Garuda Indonesia Melonjak 18 Persen di Kuartal I 2024

Kamis, 02 Mei 2024 | 11:41

Sidang Pendahuluan di PTUN, Tim Hukum PDIP: Pelantikan Prabowo-Gibran Bisa Ditunda

Kamis, 02 Mei 2024 | 11:35

Tak Tahan Melihat Penderitaan Gaza, Kolombia Putus Hubungan Diplomatik dengan Israel

Kamis, 02 Mei 2024 | 11:34

Pakar Indonesia dan Australia Bahas Dekarbonisasi

Kamis, 02 Mei 2024 | 11:29

Soal Usulan Kewarganegaraan Ganda, DPR Dorong Revisi UU 12 Tahun 2006

Kamis, 02 Mei 2024 | 11:25

Momen Hardiknas, Pertamina Siap Hadir di 15 Kampus untuk Hadapi Trilemma Energy

Kamis, 02 Mei 2024 | 11:24

Prabowo-Gibran Diminta Lanjutkan Merdeka Belajar Gagasan Nadiem

Kamis, 02 Mei 2024 | 11:16

Kebijakan Merdeka Belajar Harus Diterapkan dengan Baik di Jakarta

Kamis, 02 Mei 2024 | 11:06

Redmi 13 Disertifikasi SDPPI, Spesifikasi Mirip Poco M6 4G

Kamis, 02 Mei 2024 | 10:59

Prajurit TNI dan Polisi Diserukan Taat Hukum

Kamis, 02 Mei 2024 | 10:58

Selengkapnya