Berita

Prabowo Subianto dan Joko Widodo/Net

Politik

Menguji Janji Capres

RABU, 02 JANUARI 2019 | 11:58 WIB

PILPRES adalah ajang kompetisi program. Sebelum program dibuat, para calon akan diuji pengetahuannya tentang bangsa ini. Mulai soal energi, pendidikan, masalah pengangguran, hingga masalah hukum, pendidikan dan HAM.

Lalu, apa program-program jenius yang akan ditawarkan oleh paslon?

Dari dua hal ini rakyat akan menilai. Mana di antara paslon yang paling oke penguasaannya tentang Indonesia dan kemampuannya menawarkan program. Tentu, ini bagi pemilih yang menggunakan otaknya. Mereka adalah para pemilih rasional.


Sayangnya, pemilih rasional nggak banyak jumlahnya. Yang paling banyak itu pemilih emosional.

Pemilih emosional itu cirinya dua. Pertama, memilih berdasarkan pilihan tokoh, kiai dan ormasnya. Pokoke mati urip nderek ormas. Fanatik! Mereka memarkir otaknya dan mengabaikan kecerdasannya. Males mikir. Padahal, elit ormasnya itu rasional.

Siapa yang diprediksi menang, apa kompensasi buat elitnya, dan keuntungan apa yang akan disiapkan untuk ormasnya. Rasionalitas transaksional dan pragmatisme model ini lumrah terjadi pada sejumlah ormas.

Ormas yang mana? Anda pasti sudah paham tanpa harus disebutkan.

Kedua, karena benci sama calon yang lain. Kebencian ini bukan dilatarbelakangi oleh faktor integritas, moral, atau rendahnya kapasitas paslon. Tapi lebih pada persoalan pribadi, atau karena paslon lain didukung oleh tokoh, partai atau ormas yang tak disukainya.

Apalagi kemudian timses mampu menggandakan kebencian itu dengan hoak dan propaganda. Mujarab! Langsung cespleng!

Ingat 2014? Muncul Isu: jika Prabowo kalah, Ahmad Dhani mau potong kemaluannya. Seminggu setelah Pilpres, ada 18 media minta maaf kepada Ahmad Dhani karena telah ikutan men-framing hoax itu. Apakah Pilpres 2019 masih akan ada hoax? Auranya makin parah. Hoax seperti inilah yang jadi hidangan lezat bagi pemilih emosional. Pasukan fanatik yang tak bernalar.

Indonesia akan melahirkan pemimpin yang relatif baik, jika para pemilihnya didominasi dari kalangan rasional. Isu yang diterima, didiskusikan dan meriah di kalangan pemilih rasional terkait dengan program.

Pemilih rasional akan mampu menyangkal pertama, isu-isu hoax (black campign). Kedua, isu-isu murahan seperti alpateka, selamat natal, ziarah kubur dan wudhu (negatif campign). Ketiga, isu yang tak ada relevansinya dengan kepemimpinan, seperti imam shalat, bacaan Alquran dan faktor keturunan.

Di hadapan pemilih rasional, program adalah janji. Setiap paslon dituntut untuk membuat janji terbaiknya. Janji yang baik itu jika pertama, jadi solusi terhadap problem dan kebutuhan rakyat. Kedua, janji itu bisa direalisasikan.

Sebaik dan sehebat apapun program yang dijanjikan, jika tak dapat direalisasikan, itu mah penipuan. Bohong! Nah, para pemilih rasional bisa membaca apakah janji itu logis atau tidak. Jujur atau bohong-bohongan.

Prabowo-Sandi dan Jokowi-Ma'ruf dituntut untuk secara cerdas menawarkan janji-janji dalam program yang menarik hati rakyat. Yaitu, janji yang dirasa rakyat mampu menjadi solusi terhadap problem dan kebutuhan rakyat selama ini.

Yang paling up to date saat ini terkait dengan kedaulatan pangan, kepastian harga pokok yang murah, tersedianya lapangan kerja, subsidi BBM, TDL, dan pupuk, keberpihakan kepada petani, nelayan, buruh dan UMKM sebagai komunitas kelas bawah, juga jaminan dan dukungan usaha, dan seterusnya.

Siapa yang janji politiknya paling oke dan menarik, rakyat akan memutuskan untuk memilih.

Di sini, Jokowi punya masalah. 2014 janji Jokowi mayoritas tak terealisir. Mungkinkah Jokowi akan janji lagi? Sulit! Ada beban bagi kubu Jokowi-Ma'ruf untuk membuat janji. Pasti akan dianggap bohong. Padahal, itu program yang harus ditawarkan kepada dan dinilai oleh rakyat.

Pepatah bilang: jika anda ingin tahu tentang seseorang, lihatlah masa lalunya. Jokowi punya track record buruk soal janji. Ini menyangkut tidak saja soal kapasitas, yaitu ketidakmampuan Jokowi merealisasikan janji, tapi juga integritas. Dianggap tidak memiliki komitmen untuk melaksanakan apa yang sudah diucapkan.

Apalagi, hingga hari ini Jokowi belum pernah klarifikasi, lalu minta maaf kepada rakyat atas janji-janjinya yang tidak terealisasikan. Sampai beredar meme: "2019, janji lagi". Saya kira, tak semudah itu.

Berarti, Jokowi gagal? Jika ukurannya janji politik, jawabnya iya. Pemimpin dianggap gagal jika pertama, hasil kerja dan kebijakannya tak sesuai ekspektasi rakyatnya. Kedua, tidak merealisasikan janji-janji politiknya. Saya kira, soal ini semua sepakat.

Apakah berarti Jokowi tidak akan terpilih lagi? Jika pemilihnya mayoritas adalah pemilih rasional, Jokowi sulit untuk terpilih kembali. Fakta surveinya, di kalangan pemilih kelas menengah ke atas dan pemilih perkotaan, suara untuk Jokowi rendah. Di medsos, di mana para penggunanya adalah masyarakat perkotaan dan rasional, suara Jokowi-Ma'ruf jauh di bawah Prabowo-Sandi.

Namun mesti dipahami, bahwa mayoritas pemilih Indonesia adalah pemilih emosional. Preferensi psikologis jauh lebih besar dari preferensi rasional.

Faktor pencitraan dan isu-isu paikologis masih sangat berpengaruh. Rasionalitas program seringkali tak mudah menyentuh komunitas emosional ini. Akibatnya, terjadi proses pembodohan rakyat yang terus menerus. Akhirnya, paslon bertindak pragmatis dengan berebut suara di tokoh dan elit ormas.

Mereka adalah orang-orang  yang sangat berpengaruh dan jadi rujukan bagi para pemilih emosional. Karenanya, tokoh dan elit ormas sering panen saat Pemilu, baik Pileg, Pilkada maupun Pilpres.

Isu yang berkembang di kalangan  para pemilih emosional  tak jauh dari isu alpateka dan imam shalat. Sedih bukan? Tapi, itulah kualitas demokrasi kita. Belum ada tanda-tanda yang menggembirakan.

Tugas elit, media (?) dan para akademisi adalah mendorong masyarakat memilih dengan kesadaran dan kecerdasannya. Yaitu, fokus membaca program yang dijanjikan Paslon sebagai "baiat politik". Program yang dijanjikan bagus tidak? Masuk akal tidak? Jika bagus dan masuk akal, pilih. Jika buruk, atau bagus tapi gak masuk akal, jangan pilih. Apalagi jika janji itu bohong.

Akibat memilih pemimpin yang bohong, bangsa ini akan jadi tumbal keserakahan, bukan hanya lima tahun, tapi berdampak puluhan tahun ke depan. [***]


Tony Rosyid
Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa

Populer

Camat Madiun Minta Maaf Usai Bubarkan Bedah Buku ‘Reset Indonesia’

Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16

Adik Kakak di Bekasi Ketiban Rezeki OTT KPK

Senin, 22 Desember 2025 | 17:57

Ketika Kebenaran Nasib Buruh Migran Dianggap Ancaman

Sabtu, 20 Desember 2025 | 12:33

OTT KPK juga Tangkap Haji Kunang Ayah Bupati Bekasi

Jumat, 19 Desember 2025 | 03:10

Uang yang Diamankan dari Rumah Pribadi SF Hariyanto Diduga Hasil Pemerasan

Rabu, 17 Desember 2025 | 08:37

Kajari Bekasi Eddy Sumarman yang Dikaitkan OTT KPK Tak Punya Rumah dan Kendaraan

Sabtu, 20 Desember 2025 | 14:07

Kejagung Ancam Tak Perpanjang Tugas Jaksa di KPK

Sabtu, 20 Desember 2025 | 16:35

UPDATE

Trump Serang Demokrat dalam Pesan Malam Natal

Kamis, 25 Desember 2025 | 16:04

BUMN Target 500 Rumah Korban Banjir Rampung dalam Seminggu

Kamis, 25 Desember 2025 | 15:20

Mantan Wamenaker Noel Ebenezer Rayakan Natal Bersama Istri di Rutan KPK

Kamis, 25 Desember 2025 | 15:01

Gibran Minta Pendeta dan Romo Terus Menjaga Toleransi

Kamis, 25 Desember 2025 | 14:40

BGN Sebut Tak Paksa Siswa Datang ke Sekolah Ambil MBG, Nanik: Bisa Diwakilkan Orang Tua

Kamis, 25 Desember 2025 | 14:39

Posko Pengungsian Sumut Disulap jadi Gereja demi Rayakan Natal

Kamis, 25 Desember 2025 | 14:20

Banyak Kepala Daerah Diciduk KPK, Kardinal Suharyo Ingatkan Pejabat Harus Tobat

Kamis, 25 Desember 2025 | 14:15

Arsitektur Nalar, Menata Ulang Nurani Pendidikan

Kamis, 25 Desember 2025 | 14:13

Kepala BUMN Temui Seskab di Malam Natal, Bahas Apa?

Kamis, 25 Desember 2025 | 14:03

Harga Bitcoin Naik Terdorong Faktor El Salvador-Musk

Kamis, 25 Desember 2025 | 13:58

Selengkapnya